Sejumlah warga mengantre saat penyerahan Bantuan Sosial Tunai (BST) di Kantor Pos Bogor, Jawa Barat, Rabu (13/5). | ARIF FIRMANSYAH/ANTARA FOTO

Opini

‘Resiliensi’ Keluarga

Perlindungan sosial terbaik yang kita punya bagaimanapun bergantung pada empati nasional dan kerja sama

 

 

Oleh TAUCHID KOMARA YUDHA, Peneliti Kebijakan Sosial di UGM dan Kaukus Aliansi Kebangsaan

 

Selama krisis ekonomi akibat pandemi, Indonesia menjadi salah satu pusat bagi meningkatnya angka pengangguran terbesar dibandingkan negara lainnya di Asia Tenggara.

 

 Indonesia juga merupakan negara yang hampir 60 persen masyarakatnya menggantungkan hidup di sektor informal. Berkaitan dengan hal itu, penulis berfokus pada efek pandemi terhadap ‘resiliensi’ keluarga.

 

 Istilah ‘resiliensi’ keluarga dipahami sebagai kemampuan keluarga mempertahankan fungsi sosial dan ekonominya di tengah pelbagai ketidakpastian (Walsh, 2011).

 

 Sementara itu, fungsi sosial merujuk pada afeksi dan perawatan (care) bagi kelompok rentan (anak-anak, orang dengan disabilitas, dan lansia). Fungsi ekonomi merujuk pada kemampuannya dalam memberikan kehidupan ekonomi yang layak bagi anggotanya.

 

 Dua fungsi inilah yang kemudian memungkinkan bagi keluarga memainkan peranannya dalam “perlindungan sosial” bagi anggotanya pada masa krisis.

 

Baik itu anggota yang berada dalam struktur keluarga inti maupun beberapa keluarga besar lainnya yang umumnya masih terikat dalam pertalian darah (Papadopaulos & Roumpakis, 2017).

 

 Pada pekerja formal, mungkin efek pandemi tidak melulu berpengaruh terhadap kemampuan finansial yang diperlukan untuk hidup layak. Namun, apakah juga dengan fungsi sosialnya?

 

 Banyak ahli berkomentar, skema work from home (WFH) baik untuk hubungan keluarga, kehidupan kerja yang lebih seimbang, dan meningkatkan produktivitas serta kinerja. Namun, rangkaian studi baru-baru ini (Chung, 2018; Gragagno,2020; Lewis, 2018) menunjukkan hasil sebaliknya. WFH justru menjadikan individu semakin sulit untuk memisahkan pekerjaan dari kehidupan pribadi.

photo
Petugas membagikan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) kepada warga penerima Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) di Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (13/5). - (Destyan Sujarwoko/ANTARA FOTO)

 

Menurut Chung (2019), itu terjadi karena banyak pekerja tidak dapat menggunakan kemudahan yang ditawarkan dalam pekerjaan mereka untuk kehidupan kerja yang lebih seimbang karena khawatir akan dampak dalam pekerjaan dan promosi mereka. Alasan inilah yang kemudian dapat menjelaskan, mengapa mereka akhirnya bekerja lebih lama ketika bekerja secara fleksibel.

 

Laporan terbaru Huffpost (2020) menunjukkan, WFH bagi para pekerja formal terbukti dapat memiliki efek pada kesehatan mental. Sebab, WFH membuat seseorang merasa terisolasi dan depresi. Karena depresi, ancaman KDRT kian besar.

 

Hal tersebut dikonfirmasi dengan hasil review studi Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, sejak kasus Covid-19 meluas, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak meningkat lebih 20 persen di negara maju yang mayoritas penduduknya bekerja pada sektor formal.

 

Sementara itu, bagi para pekerja di sektor informal, potensi melemahnya ‘resiliensi’ keluarga akibat dari adanya disfungsi pencari nafkah sangat besar.

 

Akibatnya, fungsi ekonomi keluarga dalam jangka waktu tertentu juga dapat terdisrupsi karena aliran distribusi kapital yang digunakan sebagai perlindungan sosial bagi keluarga dan kelompok rentan di dalamnya terhambat sementara atau bahkan permanen.

 

Dalam jangka panjang, efek domino akibat melemahnya fungsi ekonomi keluarga adalah instabilitas dalam hubungan keluarga dan merenggangnya ikatan sosial di antara anggotanya, yang selama ini teridentifikasi menjadi penyebab dari kasus-kasus KDRT.

 
Namun pertanyaannya, apakah skema ini efektif dalam mencegah disfungsi dari pencari nafkah utama terhadap anggota keluarganya? 
 
 

Lambat laun, kondisi ini dikhawatirkan membuat anggota keluarga yang masuk kategori rentan, jatuh ke dalam situasi yang jauh lebih mengkhawatirkan. Contohnya, bagi penyandang disabilitas dan lansia, yang rawan mengalami penelantaran. Sedangkan bagi anak-anak, melemahnya ‘resiliensi’ keluarga akan mengakibatkan tekanan-tekanan sosial yang menyulitkannya berkonsentrasi pada aktivitas-aktivitas pendidikannya yang penting untuk masa depannya.

 

Inisiatif dan kritik

 

Berangkat dari pentingnya ‘resiliensi’ keluarga pada masa pandemi, kebijakan sosial alternatif yang berorientasi pada penguatan fungsi sosial-ekonomi keluarga semakin mendesak.

 

Sejauh ini, beberapa inisiatif perlindungan sosial yang diprioritaskan bagi mereka yang menggantungkan nafkah dari sektor informal telah didistribusikan. Misalnya, kartu prakerja untuk pekerja informal dan pemilik usaha kecil.

 

Namun pertanyaannya, apakah skema ini efektif dalam mencegah disfungsi dari pencari nafkah utama terhadap anggota keluarganya? Mengingat paradigma dari manfaat distribusi belum memperhatikan tingkat dependensi rasio per keluarga.

 

Maksudnya, bisa jadi pencari nafkah memiliki tanggungan keluarga dengan jumlah lebih dari ideal, atau disertai dengan kondisi khusus dari anggota keluarga yang menuntut adanya kebutuhan material yang juga khusus.

 

Sementara itu, inisiasi penting lainnya bagi pekerja sektor formal yang bekerja dari rumah adalah layanan konseling keluarga secara daring untuk menekan dan mengatasi kasus-kasus depresi yang berdampak pada KDRT.

 

Akhir kalam, masa pandemi ini adalah momen penuh tantangan. ‘Resiliensi’ keluarga sebagai orientasi dalam formulasi kebijakan perlindungan sosial menjadi sangat penting.

 

Namun, satu hal yang harus kita ingat, perlindungan sosial terbaik yang kita punya bagaimanapun bergantung pada empati nasional dan kerja sama, yang merupakan inti dari gerakan massal dalam menyelamatkan keluarga dari keterpurukan akibat pandemi. n

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat