Pedagang menimbang dagangannya di Pasar Senen, Jakarta, Senin (4/5/2020). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada bulan April 2020 sebesar 0,08 persen atau melambat dari bulan Maret 2020 sebesar 0,10 persen yang disebabkan permintaan barang dan | Akbar Nugroho GumayANTARA FOTO

Opini

Inflasi dan Ramadhan

Pemerintah perlu melindungi daya beli masyarakat pendapatan terbawah agar tak kian terpuruk dengan skema perlindungan sosial.

Oleh KHUDORI, Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-Sekarang)

Ramadhan yang sudah menginjak pekan ketiga tahun ini terasa tidak biasa. Kaum Muslim yang biasa menyambut gembira dan gegap gempita bulan penyucian diri ini justru tengah berduka. Seperti umat agama lain, umat Islam kini tengah melawan pandemi Covid-19.

Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat anyak kegiatan berkumpul berhenti (dihentikan).  Bukan hanya sekolah, ibadah, dan kerja dari rumah, ajang silaturahim dengan keluarga besar di kampung lewat mudik juga dilarang.

Perbedaan lain, biasanya kegembiraan Ramadhan sering kali disertai kecemasan akibat lompatan harga barang dan jasa, terutama harga pangan, yang sulit dikendalikan. Kali ini tidak terjadi. Ini tecermin dari inflasi April 2020 yang hanya 0,08 persen.

Inflasi Ramadhan yang rendah merupakan sesuatu yang tak biasa. Inflasi Ramadhan 2019, 2018, 2017, dan 2016 yang jatuh pada Juni masing-masing 0,68 persen, 0,59 persen, 0,69 persen, dan 0,66 persen.

Catatan lebih panjang, inflasi Ramadhan dari 2005-2015 selalu tinggi, tak pernah di bawah 0,7 persen. Pada 2005, inflasi saat Ramadhan mencapai rekor: 8,7 persen. Inflasi Ramadhan sebagian besar bersumber dari harga-harga pangan.

Mengapa? Saat Ramadhan biasanya ada kenaikan permintaan pangan sekitar 20 persen. Sesuai hukum supply-demand, saat ada tekanan di sisi permintaan dengan pasokan tetap, harga akan terpantik tinggi dan bergerak bagai roller coaster.

Sebelum Ramadhan, harga bawang putih dan bombai sempat naik tinggi, juga gula pasir. Saat Ramadhan, hanya gula pasir yang harganya bertahan tinggi.

Berdasarkan jenis komoditasnya, inflasi April dipicu kenaikan harga bawang merah dengan andil 0,08 persen, gula pasir 0,02 persen, dan emas perhiasan 0,06 persen. Inflasi pangan saat Ramadhan kali ini amat kecil karena sejumlah komoditas saling meniadakan.

photo
Pedagang sayuran melayani pembeli di Pasar Kosambi, Kota Bandung, Selasa (28/4). - (Edi Yusuf/Republika)

Inflasi inti yang biasanya tinggi saat Ramadhan karena kenaikan permintaan barang dan jasa, April kali ini melemah (hanya 0,17 persen), lebih kecil dari Maret (0,29 persen).

“Penyimpangan” inflasi saat Ramadhan dari pola normal ini terjadi karena tiga hal. Pertama, terjaganya pasokan pangan karena antisipasi pemerintah yang baik dalam menyiapkan ketersediaan pangan sehingga harga stabil dan pasokan mencukupi.

Kedua, terjadi penurunan permintaan barang dan jasa dari masyarakat karena menurunnya aktivitas sosial akibat kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Ketiga, angka inflasi yang rendah ini mencerminkan penurunan daya beli rumah tangga.

Hal ini juga tecermin dari inflasi inti yang menurun drastis. Tren inflasi rendah diperkirakan berlanjut pada Juni. Inflasi Ramadhan yang menyimpang dari pola normal ini harus dibaca saksama.

Karena inflasi yang rendah mengindikasikan permintaan (barang dan jasa) yang menurun yang didorong penurunan daya beli masyarakat. Ini bisa dipahami karena selama pandemi Covid-19, penghasilan masyarakat menurun.

Bahkan, ada yang kehilangan mata pencarian sehingga daya beli anjlok, terutama masyarakat kelas menengah ke bawah. Saat ini, permintaan bahan pangan masih sedikit tertolong karena dorongan Ramadhan.

Namun, dorongan itu tidak cukup signifikan karena daya beli yang melemah. Permintaan bahan pangan yang anjlok ini dipastikan akan diikuti penurunan lebih tajam pada pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier.

Anjloknya permintaan (barang dan jasa) perlu diwaspadai karena berimbas pada produksi, yakni terjadi penurunan pesanan yang akan memukul sektor bisnis. Perputaran uang dan pertumbuhan ekonomi bisa mengalami kontraksi bila ini tidak diantisipasi dengan baik.

Bagi sektor pangan, kontraksi produksi akan jauh mengancam dan lebih berbahaya karena potensial membuat krisis pangan meledak. Padahal, sejarah mengajarkan, krisis pangan biasanya berkelindan dengan krisis politik.

Dampak sosial-politik krisis pangan sulit dikendalikan. Karena itu, dalam jangka pendek perlu antisipasi. Pertama, pemerintah perlu melindungi daya beli 40 persen masyarakat pendapatan terbawah agar tak kian terpuruk dengan skema perlindungan sosial.

 
Pemerintah perlu melindungi daya beli 40 persen masyarakat pendapatan terbawah agar tak kian terpuruk dengan skema perlindungan sosial.
 
 

Sebanyak 40 persen penduduk dengan penghasilan terbawah terancam minus konsumsi jika daya beli tergerus. Dikhawatirkan merembet ke masyarakat menengah ke bawah yang rentan miskin. Suntikan daya beli diharapkan bisa menjaga konsumsi rumah tangga.

Kedua, petani harus dipastikan tetap bisa berproduksi. Pandemi dan PSBB juga harus menjamin proses produksi di lahan tidak terganggu. Selain penerapan protokol, petani harus dijamin aksesnya terhadap input produksi, baik bibit, pupuk, air, maupun modal.

Ketiga, rantai pasok produk dari desa, terutama pangan, harus berjalan baik. Bagi petani dan warga desa, ini akan menjamin produksi mereka terserap yang berarti pendapatan mereka terjaga.

Rantai pasok yang baik akan menutup peluang spekulasi, panic buying, dan eskalasi kenaikan harga. Terakhir, langkah melibatkan berbagai platform daring untuk memesan makanan, barang, atau sekadar sebagai kurir dapat dimobilisasi pemerintah.

Tujuannya, menjaga keseimbangan permintaan dan produksi pada tingkat minimum. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat