Warga antri membeli paket sembako murah yang digelar pemerintah Aceh Besar bekerjasama dengan Perom Bulog di desa Blang Bintang, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Rabu (6/5). | AMPELSA/ANTARA FOTO

Opini

Mengawal Daya Beli  

Daya beli menjadi hal penting karena menyangkut kesejahteraan penduduk sekaligus keberlangsungan ekonomi.

 

Oleh TASMILAH, Statistisi pada BPS Kota Malang

Pandemi Covid-19 telah mengguncang perekonomian Indonesia. Upaya untuk mengendalikan penyebaran virus melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebabkan banyak kegiatan ekonomi terhenti.

 Akibatnya, sebanyak 2,9 juta orang mengalami PHK dan dirumahkan sebagaimana dilaporkan ke Kementerian Tenaga Kerja (1/5). Belum lagi dengan pelaku usaha informal yang mengandalkan penghasilan harian juga mengalami penurunan permintaan barang atau jasa.

Hal tersebut menyebabkan penurunan pendapatan dan daya beli penduduk. Daya beli menjadi hal penting karena menyangkut kesejahteraan penduduk sekaligus keberlangsungan ekonomi.

Ketiadaan pendapatan mengakibatkan kemampuan membeli barang dan jasa berkurang sehingga kebutuhan hidup tak tercukupi. Kenyataan ini berpotensi menambah jumlah penduduk yang jatuh di bawah garis kemiskinan yang saat ini mencapai 24,70 juta orang.

 
Produksi pertanian dan peternakan yang tidak terserap pasar mengakibatkan jatuhnya harga yang membuat kesejahteraan dan daya beli petani dan peternak turun.
 
 

Bersyukur, inflasi April 2020 yang sudah memasuki Ramadhan terkendali, bahkan lebih rendah daripada tahun-tahun sebelumnya. Inflasi yang rendah ini tak menambah beban pengeluaran  penduduk yang pendapatannya berkurang selama pandemi.

Namun, bagi produsen terutama produk pertanian dan peternakan, seperti cabai merah, ayam potong, dan telur ayam ras, penurunan harga komoditas dalam sebulan itu membuatnya rugi besar.

Produksi pertanian dan peternakan yang tidak terserap pasar mengakibatkan jatuhnya harga yang membuat kesejahteraan dan daya beli petani dan peternak turun.

Nilai tukar petani (NTP) yang menggambarkan kesejahteraan petani turun pada April sebesar 1,72 persen. Penurunan ini terjadi di semua subsektor pertanian, mulai dari tanaman pangan hingga perikanan tangkap.

photo
Pedagang mengemasi barang dagangannya di Pasar Simo, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (7/5). Perusahaan Daerah (PD) Pasar Surya Kota Surabaya menutup sementara Pasar Simo dan Pasar Simo Gunung selama 14 hari akibat diduga adanya dua pedagang di pasar tersebut yang terkonfirmasi positif Covid-19. - (Didik Suhartono/ANTARA FOTO)

Ini terjadi karena penurunan indeks harga yang diterima petani pada semua subsektor pertanian. Penurunan indeks yang diterima petani ini karena menurunnya harga komoditas pertanian di tingkat petani.

Kenyataan ini semakin berat manakala petani dituntut meningkatkan produksi pangan, tapi di sisi yang lain kesejahteraan mereka turun. Penurunan daya beli juga ditunjukkan oleh penurunan upah riil buruh tani dan buruh bangunan pada Maret 2020. Upah riil buruh tani turun sebesar 0,04 persen dan upah buruh bangunan turun 0,05 persen.

Penurunan daya beli ini juga terpotret pada perlambatan konsumsi rumah tangga pada triwulan 1 2020 dari 5,02 persen pada tahun sebelumnya menjadi 2,84 persen. Padahal, pandemi baru berjalan satu bulan pada triwulan 1 tersebut.

Selain itu, dalam sebulan pertama penyebaran Covid-19 mengakibatkan perlambatan perekonomian. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 1 2020 hanya 2,97 persen, melambat dibandingkan tahun sebelumnya yang lebih dari 5 persen.

Perekonomian Indonesia ditopang sektor konsumsi rumah tangga dengan kontribusi 58,14 persen. Selama satu tahun 2019, PDB yang berasal dari konsumsi rumah tangga mencapai Rp 8,96 ribu triliun.

Bila diperinci menurut kelompok pengeluaran, berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas, September 2019) 45 persen konsumsi rumah tangga didominasi penduduk 20 persen teratas.

Konsumsi rumah tangga 40 persen kelas menengah sebesar 36,93 persen dan konsumsi rumah tangga 40 persen terbawah hanya menyumbang 17,71 dari seluruh konsumsi rumah tangga di Indonesia.

photo
Sejumlah warga memadati pasar rakyat di Pasar Tengah, Pontianak, Kalimantan Barat, Rabu (6/5). Menteri Perdagangan Agus Suparmanto meminta pasar rakyat harus tetap beroperasi dengan mengedepankan protokol kesehatan yang ditetapkan pemerintah, supaya roda perekonomian masyarakat tetap berjalan di tengah pandemi. - (JESSICA HELENA WUYSANG/ANTARA FOTO)

Bila dikonversi ke PDB pengeluaran, konsumsi penduduk 40 persen terbawah Rp 1,59 ribu triliun dalam setahun. Dengan bantuan sosial yang dianggarkan Rp 110 triliun, menurut perhitungan ekonomi tidak akan mampu menjaga pertumbuhan ekonomi.

Sebab, hanya menyumbang 6,93 persen dari seluruh pengeluaran dari kelompok paling bawah ini. Bantuan sosial ini hanya menjadi bantalan sementara hingga kegiatan ekonomi mampu pulih kembali.

Maka itu, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi dari sisi konsumsi, mendorong kelompok 20 persen ekonomi atas untuk melakukan belanja mutlak diperlukan. Sebab, kelompok ini menyumbang hampir setengah dari pengeluaran rumah tangga di Indonesia.

Namun karena PSBB, dengan pembatasan transportasi dan pusat perbelanjaan, membuat kelompok ekonomi atas ini juga menahan belanjanya.

Ini terbukti dari melambatnya konsumsi untuk restoran dan hotel, pengeluaran transportasi, pakaian, alas kaki, dan perawatan pada sebulan pertama pandemi. Penurunan ini masih akan berlanjut di tengah PSBB di beberapa kota besar di Indonesia.

Untuk menjaga daya beli terutama penduduk kelompok 40 persen terbawah, perlu ada kolaborasi. Demi menjangkau penduduk miskin, rentan miskin, dan hampir miskin yang mencapai 91,45 juta orang, tak bisa hanya mengandalkan bantuan sosial dari pemerintah.

Dengan aneka bentuk bantuan dalam program PKH, BPNT, kartu Prakerja, dan bantuan langsung tunai Rp 600 ribu per keluarga setiap bulan belum mampu mengeluarkan penduduk dari garis kemiskinan.

Sebab, untuk dikategorikan penduduk tidak miskin, pengeluaran harus di atas Rp 440,54 ribu per kapita (Rp 2,02 juta per rumah tangga). Perlu peran serta dunia usaha lewat CSR, lembaga zakat, dan lembaga kemanusiaan lainnya untuk mengurangi beban penduduk.

Potensi zakat di Indonesia, menurut Baznas, mencapai lebih dari Rp 200 triliun, tetapi belum tergali maksimal. Semoga dengan pandemi ini, semakin menggugah kesadaran individu ataupun perusahaan menunaikan zakatnya.

Tak kalah penting, kepedulian penduduk kelas menengah mapan dan kelas ekonomi atas dalam meringankan beban hidup penduduk terdampak. Kepedulian ini selain membantu kebutuhan penduduk terdampak juga akan mengurangi masalah sosial. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat