
Sastra
Kang Samin Lupa Tanya Apa
Cerpen Mas Alamil Huda
Oleh MAS ALAMIL HUDA
Punggung Kang Samin berkilat-kilat disiram hangat matahari sore. Peluh keringatnya mengalir di tubuh kurus namun liat yang membentuk garis-garis tegas. Nyaris tak ada lemak yang terlipat dari ujung kaki sampai wajah meski usianya sudah menyentuh enam dasawarsa. Legam kulit Kang Samin, menambah kesan paripurna tentang jalan yang kini ia istiqomahi.
Dengan posisi berjongkok di pematang, Kang Samin ditemani ember plastik berwarna hijau lumut yang sudah memudar. Kepalanya terlekat caping anyaman bambu dan terkait rapat di dagu oleh potongan ban dalam bekas. Ember berukuran sedang itu berisi yuyu bakar yang telah dirobek cangkangnya dan ditetesi racun tikus cair warna merah. Kang Samin sudah membuktikan, tak satupun merek lain mampu menandingi obat pembunuh tikus yang bungkusnya bertuliskan huruf Mandarin itu. Kadar mematikannya sempurna. Bahkan, tak akan ada bau bangkai karena tikus mengering cepat hanya beberapa jam setelah menenggak umpan.
Racun kepiting sawah bakar yang sudah disiapkan di ember diletakkan Kang Samin di antara pematang dan padi yang tertanam di sisi paling luar. Jarak satu yuyu dan yuyu berikutnya kurang lebih satu depa. Aroma sangitnya menguar bercampur bau kimia dari racun cair. Mungkin paduan itu menggoda bagi tikus-tikus malam nanti. Umpan-umpan yuyu dengan cangkang terbuka yang mengelilingi sawah Kang Samin kini tergeletak dua hingga tiga ekor di tiap titik menunggu pemangsa. Dan tanah basah tanpa genangan air di sawah menjadi sebuah fase penanda padi sudah menua.
Sore itu, Padi di sepetak kecil sawah Kang Samin menari-nari tertiup angin kemarau dari timur. Bulir-bulir padi yang menjuntai dari ujung tangkai mengayun lembut bersama daun-daun padi yang kuning merata. Desir suara ritmisnya memanjakan telinga saat semuanya bergesekan dikipas sang bayu. Langit yang biru dan bersih menyempurnakan panorama Desa Pucakwangi, persis seperti lukisan pemandangan alam bergaya klasik di dinding-dinding rumah gedongan.
Yuyu beracun di dalam ember rapuh tanpa tali itu kini hampir tandas. Dari kejauhan, terdengar lamat-lamat suara motor memelankan lajunya. Sawah Kang Samin berbatasan langsung dengan jalan utama menuju desa yang lebarnya tak lebih dari tiga meter. Tapi jalan itu sudah berbeton sejak tujuh tahun lalu. Kanan-kiri jalan tersisa setengah meter tanah yang ditumbuhi rumput dan perdu. Di antara sawah dan jalan dipisah kali irigasi.
“Laut, Kang.”
Suara seseorang yang masih duduk di atas motor di tepi jalan membuyarkan kekhusyuan Kang Samin pada harapan matinya tikus-tikus perusak padi esok pagi. 'Laut' biasa dipakai orang-orang Pucakwangi untuk mengajak sejawatnya merampungkan segala aktivitas ketika matahari sudah tergelincir jauh. Seloroh-seloroh sederhana semacam itu sebenarnya sekadar abang-abang lambe, tapi bisa menjadi perantara ampuh merajut keakraban.
Kang Samin seketika berdiri dengan masih menenteng ember di tangan kiri dan menoleh setengah membalikkan badan. Ia segera membetulkan celana goni lusuh setinggi sejengkal di atas mata kaki. Ember diletakkan dan ditariknya tali kain pengencang pinggang membentuk ikatan wangsul seperti pita kado.
“Eh, Pak Duan. Pas banget selesai ini, Pak.”
“Mari rokok dulu, Pak. Masih siang ini,” lanjut Kang Samin setengah mendongak ke arah barat.
Pak Duan mematikan kunci motornya. Standar samping yang tak sempurna mengharuskannya mencari batu untuk mengganjal Honda Supra agar tak jatuh karena kelewat miring. Lelaki paruh baya bertopi laken cokelat tua itu turun dari motor dan berjalan menuju Kang Samin. Ia lewati titian dua bambu utuh berjajar rapat sepanjang satu setengah meter yang melintangi kali irigasi. Kali itu juga sudah diplengseng rapi menggunakan batu kali yang disusun dan disemen kokoh di kanan dan kiri. Satu sisi bagian yang berbatasan dengan sawah Kang Samin, ada pematang besar selebar kurang lebih satu meter dan memanjang sejauh aliran air kali yang berbatasan dengan sawah penduduk. Di sanalah biasanya, Kang Samin, Pak Duan, dan para petani lainnya duduk santai dan bercengkerama. Atau sekadar menunggu langit mulai menjingga sebelum pulang.
“Padimu papak, rapat, dan gemuk-gemuk bulirnya, Kang.” Pak Duan melepas sandal Lily biru dan meletakkannya untuk bantalan duduk.
“Alhamdulillah, Pak. Mudah-mudahan panen kali ini bagus.” Kang Samin mengamini dan mulai mengenakan kaos putih tipis menerawang berlogo Partai Gagak yang ia sampirkan di tunas pohon pisang tak jauh dari tempatnya duduk bersama Pak Duan. Pantang bagi Kang Samin bicara dengan Pak Duan tanpa sehelai kain di tubuhnya.
Meski lebih muda beberapa tahun, tapi bagi Kang Samin dan orang-orang Pucakwangi, Pak Duan ‘dituakan’. Ia mantan kepala desa. Seandainya tidak dibatasi aturan, barangkali ia terus terpilih, mungkin pula sampai saat ini. Masa remaja Pak Duan yang dihabiskan di pesantren jadi alasan bagi warga untuk mendapuknya sebagai imam shalat sekaligus ketua ta’mir Masjid Al-Falah. Di usia 55 tahun lewat beberapa bulan, ia tetap bersahaja meski pernah menjadi orang nomor satu di desa. Celana training navy dan kaus putih tebal berkerah menguatkan kesan wibawa Pak Duan.
“Kulihat tadi Kang Samin meletakkan sesuatu di tepian pematang situ.”
“Ya, bismillah, Pak. Tikusnya sepekan terakhir ini nggak karu-karuan. Burung pipitnya kalau pagi dan sore begini juga, haduh. Tapi lumayan aman sejak saya pasang jaring di atas itu.”
“Sama, punya saya juga, Kang.”
“Pakai yuyu bakar juga?”
“Tidak.”
“Jangan pakai setrum loh, Pak. Saya masih ingat tiga pendak lalu.”
“Tadi sudah saya bilang sama mereka, malam ini kalian kalau mau makan secukupnya di pinggir-pinggir saja. Jangan rusak yang di tengah.”
Kang Samin terkekeh renyah melengkapi cerah sore lanskap desa dan segala kehidupannya.
Jebakan setrum yang terdengar modern sebagai pengendali hama tikus tak lagi dipakai para petani di Pucakwangi. Musababnya, delapan tahun lalu Mbah Pardi ditemukan tertelungkup di tepian sawah ketika pagi belum sepenuhnya terang. Ia kehilangan nyawa di tanah sawah yang menjadi sumber penghidupan turun temurun. Kisah Mbah Pardi menjadi tragedi yang lekat dalam ingatan masyarakat.
Sejurus kemudian Kang Samin mengeluarkan kantung hitam dari saku samping celana goni. Buntalan sekepal tangan itu berisi korek bensol dan tembakau rajang dibungkus plastik transparan, lengkap dengan kulit jagung kering berwarna putih gading.
“Tanganmu, Kang.”
“Oh, iya.”
Dengan segera Kang Samin turun ke kali irigasi. Ia membolak-balik tangan di dalam air dan menggosoknya dengan rumput kering beberapa kali. Dibilasnya berulang-ulang hingga bau amis yuyu bakar benar-benar hilang dan berharap sisa racun ikut luruh. Tak lama, ia kembali duduk di dekat Pak Duan. Kang Samin menjumput tembakau dan menatanya memanjang pada klobot yang sudah disiapkan. Tangannya cekatan menggulung membentuk kerucut dengan lubang lebih kecil untuk bagian yang akan dihisap. Korek bensolnya memercik api dari batu pemantik. Sreekk. Ia membakar ujung klobot. Dihisapnya dalam-dalam hingga mengeluarkan bunyi menggeretek yang khas. Asap pun mengepung kepala Kang Samin.
Pak Duan sudah lebih dulu melolos sebatang rokok dari bungkusnya saat Kang Samin mencuci tangan. Rokok berwarna cokelat gelap itu dimasukkan pada lubang di ujung pipa yang terbuat dari kayu gaharu. Pak Duan menikmati isap demi isap rokok cokelat.
“Gabah gimana, Pak?” ujar Kang Samin memecah suasana setelah beberapa menit hening menikmati rokok masing-masing.
“Gimana bagaimana, Kang?”
“Harga gabah, Pak. Ini kan paling sepekan lagi panen. Biasanya pas panen kan ada saja itu. Gabah masih basah, apa lah, itu lah.”
Pak Duan merasakan betul kegelisahan Kang Samin dan sebagian besar warga di kampungnya. Tak pernah ada pilihan bagi petani-petani kecil di pelosok desa seperti Kang Samin ketika harga jual gabah seolah dipermainkan, entah oleh siapa. Situasi demikian terjadi sekian lama dan terus menghimpit hati yang tak pernah tahu harus bagaimana selain pasrah. Maka, kekhawatiran selalu datang bersama dengan menguningnya pucuk padi, lantas muncul sekelebat bayangan ketidakberdayaan melintasi pikiran orang-orang seperti Kang Samin.
Periode awal menjadi kades di pengujung 90-an, Pak Duan untuk pertama kalinya merasa sadar sedang terjebak dalam kubangan keanehan. Harga beras di pasar tinggi menjulang, tapi harga jual gabah kering panen tak masuk akal. Lagi-lagi orang-orang kecil seperti Kang Samin dipaksa hanya diizinkan meratapi dan menerima keadaan. Sebagian besar orang-orang desa memaknainya sebagai bagian dari kersaning Pengeran. Tapi bagi Pak Kades Duan yang belum genap 30 tahun, itu semua amat tidak adil. Ia meyakini ada yang tidak beres dalam tata kelola rantai pasok beras. Mengapa petani seolah tak boleh menikmati jerih payahnya? Siapa penikmat kesenjangan harga gabah dari petani di desa hingga masuk di mulut orang-orang kota? Siapa penjahatnya? Siapa? Siapa? Jawabannya tak pernah ia temukan pasti, meski sebendel laporan terhadap tengkulak nakal pernah ia layangkan ke polisi. Hasilnya nihil, sampai Pak Duan tak lagi duduk di kursi kades.
“Ramai-ramai sekarang di Jakarta yang di tivi itu apa bisa mempengaruhi harga gabah ya, Pak?”
“Nggak cuma di Jakarta, Kang.”
“Tapi di Jakarta memang sedang ada apa, Pak, kok bakar-bakaran kayak zaman Repormasi dulu?”
Pak Duan melihat keluguan pada sorot mata cekung itu. Jakarta dari layar televisi selalu menjadi angan tentang kehidupan mapan bagi masyarakat desa, meski dia belum pernah adil kepada orang-orang seperti Kang Samin. Dan pertanyaan terakhir Kang Samin menyeret ingatan Pak Duan pada Hasan.
***
17 Mei 1998 pagi buta, Kades Duan naik bus ekonomi Semarang-Surabaya setelah menerima secarik surat pemberitahuan di balai desa, kemarin. Ia belum genap setahun menjabat. Setiba di Rumah Sakit Karangrusa, matahari siang Surabaya menyengat sekujur tubuh. Tapi ia tak peduli apapun kecuali mencari nama Hasan di daftar pasien yang ditulis tangan di kertas karton yang dipampang di pintu rumah sakit. Matanya hampir tak berkedip membaca barisan nama-nama di sana.
Hasan Jatmika, 23 Tahun, Ketua BEM Institut Teknologi Pahlawan. Mata Duan terbelalak dan segera dengan setengah berlari menuju meja resepsionis.
“Bapak siapanya?” tanya seorang perempuan muda berkacamata.
“Saya Ridwan Syafi’i sepupu Hasan.” Jawaban itu meluncur bersama dengan laminating KTP dan selembar surat dalam amplop cokelat muda.
Sejenak perempuan berbaju serba putih itu membaca kertas berkop kepolisian yang disodorkan kepadanya dan segera mencari daftar nama di monitor komputer. Ia cocokkan data-data yang ada. Perempuan itu menjemba gagang telepon di sisi kiri tempatnya duduk. Ia memencet beberapa angka. Tersambung. Tapi ia berbicara dengan nada berbisik, mendekatkan mulut pada gagang telepon bagian bawah dan menutupnya dengan telapak tangan kanan.
“Silahkan, pasien di Ruang Cempaka Lantai 5.”
Dipandu satpam rumah sakit Kades Duan menaiki lift ke lantai tujuan. Ia tekan tombol berangka 5 di dinding lift, menyala biru. Ada perasaan yang membekap bersamaan dengan naiknya kotak lift rumah sakit terbesar di Kota Pahlawan itu. Sebagai anak laki-laki pertama, Hasan adalah kebanggaan sekaligus harapan keluarga petani kecil di pelosok kampung yang hidup dengan segala keterbatasan. Bapak dan Emboknya tak pernah lepas bermunajat setiap malam untuk sang sulung meski mereka tak pernah tahu apa itu Teknik Material dan Metalurgi, jurusan yang diambil Hasan. Mereka hanya ingin kelak jalan hidup Hasan lebih aji, tak seperti orang tuanya yang lemah dan selalu kalah. Dan Kades Duan sadar dengan konsekuensi yang menyertai, tentang status adik sepupunya sebagai orang pertama di Desa Pucakwangi yang bisa duduk sampai bangku kuliah.
Hasan tergolek lemas di salah satu bangsal. Selimut putih-hitam bergaris menutupi kaki sampai bagian dadanya.
“Ada enam jahitan,” ujar perempuan manis berkulit langsat menjawab pertanyaan Kades Duan tentang perban di pelipis Hasan.
“Apakah ada luka lain selain di wajahnya?”
“Alhamdulillah tidak. Cuma dia masih muntah-muntah. Pagi tadi Mas Hasan sudah dirontgen di kepala tapi hasilnya belum keluar.”
“Kapan?”
“Katanya sore ini.”
“Eh iya maaf, siapa namamu?”
“Saya Santi. Kebetulan saya sekretarisnya Mas Hasan di BEM. Saya dan teman-teman bergantian menjaga Mas Hasan dua hari ini. Siang ini kebetulan kebagian saya,” ujar Santi menjelaskan sebelum Pak Duan melanjutkan pertanyaan lebih jauh.
Benar, Pak Kades muda itu tak melanjutkan pertanyaannya. Otaknya mudah mencerna sedikit penjelasan Santi. Ia memijat ringan kaki Hasan dan menatapnya nanar. Hatinya masygul melihat wajah sepupunya penuh lebam dan mata kiri bengkak kebiruan. Pikirannya mengembara. Duan tahu persis watak adik sepupunya itu sejak belia. Usai Hasan hanya lima tahun lebih muda dari Duan.
Pernah di awal 90-an Hasan tak terima diharuskan membayar Rp 20 ribu untuk selembar KTP, 60 kali lipat lebih dari harga gabah kering panen saat itu, Rp 320. Hasan yang masih mengenakan seragam putih abu-abu mengancam akan melaporkan kepala desa ke polisi. Baginya tak masuk akal jika kewajiban negara dalam mengadministrasi penduduk, justru memungut dari rakyat. Duan lah yang meredam amarah Hasan saat remaja itu mencak-mencak di kantor desa suatu siang.
“Mas Duan.” Terdengar suara Hasan lirih.
“San. Kamu baik-baik saja?” ujar Duan mendekati wajah Hasan.
“Mas Duan tahu dari mana saya di sini?”
“Itu urusanku, San.”
“Bapak di rumah tahu, Mas?”
“Itu juga urusanku.”
Hasan kembali memejamkan mata. Kepalanya terasa masih tak karuan. Duan membiarkannya untuk beristirahat. Ia duduk di kursi plastik hijau di samping kiri Hasan. Dan Santi di sisi kanan bangsal. Dari Santi lah, Duan mendapat banyak cerita tentang aktivitas Hasan di kampus dan apa yang terjadi hingga sampai sepupunya itu tergolek lemah di Rumah Sakit Karangrusa.
***
Pak Duan kaget ketika Fajar tiba-tiba menyodorkan tangannya dari arah belakang. Petani muda berperawakan gagah dan kekar itu menyalami dan mencium tangan Pak Duan. Begitu juga dilakukannya kepada Kang Samin. Fajar yang melihat Pak Duan dan Kang Samin menikmati rokok di tepi kali irigasi ikut nimbrung. Selain ingin srawung, pengantin baru itu sesungguhnya punya sedikit gawe ke Pak Duan.
“Isap dulu rokokmu, Jar. Yang enak, Yang tenang,” seloroh Kang Samin.
Fajar tersenyum ramah dan beberapa detik kemudian ia merogoh sebungkus Sampoerna Hijau dan korek Tokai merah dari saku celana pendeknya. Kang Samin yang sedang menikmati klobot ketiganya tertawa dan seketika membuat asap lari ke segala arah.
“Pemuda kok rokoknya kretek begitu kamu, Jar,” ledek Kang Samin.
“Keadaan, Pakde,” Fajar menjawab sekenanya sembari cengar-cengir.
“Anu, Pak Duan. Saya kemarin ngurus KK di balai desa, kok diminta Rp 450 ribu ya, Pak? Apa harganya memang semahal itu, Pak?” Fajar melanjutkan tak ada basa-basi.
“Eh, Jar, kamu tahu mengapa Pak Duan bisa 18 tahun jadi kades? Dari 1997 sampai 2015. Kita semua ngurus apa-apa gratis. Jadi kalau sekarang begitu, ya bukan urusan Pak Duan. Bukan begitu, Pak?” Kang Samin nyerocos melempar bola ke Pak Duan.
“Wah, 1997 saya belum lahir, 2015 saya belum kawin, Pakde,” canda Fajar menimpali sembari menikmati isapan ketiga di sebatang rokoknya.
Pak Duan dan Kang Samin tertawa bersama.
“Lagipula Pak Duan belum menjawab pertanyaanku.”
“Yang mana, Kang?” Pak Duan yang dari tadi hanya mendengarkan Fajar dan Kang Samin bertanya balik.
“Bakar-bakaran, Pak. Beritanya di tivi ada provokator dan dalangnya.”
Pak Duan tersenyum kecil dan melepas laken dari mustaka kemudian meletakkannya di atas rumput. Rambut putih yang mendominasi hitam ia sisir pakai jari. Pak Duan menghela napas. Ia tak yakin Kang Samin benar-benar serius menanyakan itu semua. Jika pun serius dan pada akhirnya tahu, Kang Samin untung apa? Semenjak mewarisi sawah bapaknya 27 tahun lalu, kehidupan Kang Samin sebagai petani gurem tak banyak berubah. Dalam belahan emosi yang lain, Pak Duan didera perasaan gagal. Tak banyak yang bisa dia perbuat selama mengepalai Desa Pucakwangi.
Tentang pujian Kang Samin? Pak Duan pada akhirnya menyadari, masyarakat kecil seperti Kang Samin dan Fajar tidak pernah punya keinginan muluk-muluk. Mereka tidak kecewa bila tidak dibantu, asalkan jangan pernah dipersulit dan diimpit atas nama kuasa. Dengan kesederhanaan yang paripurna itu, Kang Samin sebenarnya tak butuh tahu siapa provokator, dalang, atau apa pun tentang ribut-ribut belakangan.
“Siapa juga yang bisa menggerakkan ratusan ribu massa atau bahkan jutaan orang di berbagai daerah dalam waktu hampir bersamaan? Jika memang ada, dia atau mereka itu menguasai perangkat sebesar, selengkap, dan sekuat bagaimana?” Pak Duan tak mungkin melontarkan isi kepalanya itu kepada Kang Samin atau Fajar. Mereka berdua dan warga Desa Pucakwangi butuh sekadar kenyang, kebutuhan dasar tercukupi dengan harga-harga tak kelewat tinggi, tidak ada pungutan berlebihan dari negara, dan harga panen gabah pantas. Tak pernah lebih.
Dan Pak Duan kembali teringat Hasan muda. Segala idealisme anak pamannya itu ditumpahkan di jalan dalam demonstrasi mahasiswa 1998. Keinginannya jelas dan lugas, tuntutannya murni: Soeharto berhenti dan Reformasi. Siapa yang memprovokasi Hasan? Nuraninya. Bahwa ada segelintir yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan pribadi dalam sebuah pergolakan besar, itu sangat mungkin dan biasa. Toh, waktu tak pernah ingkar janji untuk menjawab semuanya dalam diam, pasti, dan perlahan.
Hasan kini amat jarang mudik ke Pucakwangi. Pak Duan yakin dia banyak tahu gejolak yang terjadi belakangan. Sebagai petinggi di salah satu media nasional, Hasan tentu banyak teman. Akses informasinya mumpuni. Tak jarang, setidaknya setiap kali lebaran, sisa atau malah inti sebuah peristiwa diceritakan Hasan kepadanya yang justru tak pernah tertulis dalam publikasi resmi. Tapi, sepeninggal bapaknya, Hasan seperti kehilangan jujukan. Ya, Mbah Pardi telah kembali ke Yang Maha Punya sewindu lalu, menyusul Mbok Pardi yang lebih dulu setahun sebelumnya. Saat lebaran, Hasan dan istrinya serta kedua anaknya kini lebih lebih banyak ke rumah mertuanya di Yogyakarta, bapak/ibunya Santi.
“Bawa rokokku, Kang,” kata Pak Duan memecah keheningan sambil berdiri dan memakai kembali lakennya.
“Ah, terima kasih, Pak. Tapi klobot saya masih banyak.” Kang Samin pun seolah lupa dengan pertanyaan terakhirnya kepada Pak Duan.
Pak Duan tersenyum. “Bawa saja.”
“Rokokmu masih ada, Jar?”
“Masih, Pakde. Lagian rokokku Sampoerna Hijau, bukan Djarum Cokelat.”
“Halah, kalau lagi nggak ada, klobotku juga kamu hajar kan.”
Pak Duan menyunggingkan senyum. Pertikaian warna rokok itu membuat lupa Kang Samin tentang pertanyaan reformasi, dalang, provokasi. Mereka tenggelam dalam keakraban sejati tentang dua anak manusia beda zaman yang dipaksa selalu kalah. Dalam pemaknaan lain, sikap demikian bagian dari ajaran adiluhung yang selalu diugemi orang-orang Puncakwangi, nerimo ing pandum.
Ketiganya mulai beranjak. Pak Duan bergegas karena harus mengejar waktu untuk mengimami Maghrib di masjid desa. Untuk kali terakhir sebelum berganti hari, sorot mata Kang Samin berbinar dengan wajah semringah memandangi padi tua yang bulir-bulirnya menggantung tersenyum kepada tuannya. Dan yuyu-yuyu bakar yang mengelilingi sawah Kang Samin menjadi laku tirakat dan kepasrahan yang nyawiji terhadap Sang Empu.
Fajar membonceng Kang Samin pada motor tua tak berbaju saat lingkaran matahari telah memerah sempurna membentuk siluet gubuk bambu di arah barat. Langit dan kehidupan di Pucakwangi selalu menampilkan pesonanya menjelang sandikala. Sayup-sayup Syi’ir Tanpo Waton terdengar dari TOA Masjid Al-Falah dan menyentuh lembut telinga.
Kelawan Allah Kang Moho Suci
Kudu rangkulan rino lan wengi
Ditirakati diriyadhoi
Dzikir lan suluk jo nganti lali
Mas Alamil Huda lahir di Lamongan dan kini berdiam di Jakarta. Ia menulis cerpen di sela kesibukan sebagai jurnalis di Republika.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.