
Opini
Tahun Baru Islam, Momen Introspeksi Partai Politik Islam
Tahun Baru Islam seharusnya tak hanya dirayakan secara seremonial
Oleh DR ASWAR HASAN, dosen Fisip Unhas Makassar, komisioner KPI Pusat periode 2019/2022, mantan Sekjen KPPSI (Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam) pertama, Sulawesi Selatan.
Setiap tahun Baru Islam atau 1 Muharram tidak hanya sebagai momen spiritual, melainkan seharusnya juga menjadi momen reflektif bagi umat Islam di Indonesia, dalam mengevaluasi perjalanan kehidupan keumatan dan kebangsaan. Dalam konteks ini, partai politik Islam atau berbasis umat Islam seharusnya memegang peran strategis untuk mengevaluasi partai politik Islam dan kondisi umat karena posisinya sebagai jembatan kepentingan umat dalam pengambilan kebijakan di tingkat negara.
Saat ini, persoalan umat Islam Indonesia masih cukup kompleks dan sering tidak menemukan solusi yang memadai. Dari sudut pandang partai politik, setidaknya terdapat beberapa persoalan mendasar yang perlu dipikirkan bersama, yaitu:
Satu, Problem kepemimpinan partai politik. Persoalan kepemimpinan partai politik Islam di Indonesia menghadapi tantangan besar khususnya dalam menjaga idealisme Islam di tengah realitas politik yang semakin pragmatis. Mereka sering berada di antara tuntutan moral agama dan kompromi demi kekuasaan, misalnya saat berkoalisi dengan pihak yang sesungguhnya tak sejalan secara nilai dan idealisme. Pragmatisme partai Islam tersebut, akhirnya memperlemah kekuatan politik umat.
Fragmentasi di kalangan partai Islam misalnya antara PKS, PPP, dan PAN, memiliki arah dan orientasi yang berbeda meski sama-sama berbasis Islam. Hal ini diperparah oleh regenerasi kepemimpinan yang lambat dan kurang jelas yang mengakibatkan minimnya tokoh muda yang visioner. Ditambah persoalan keterlibatan diantara mereka dalam kasus korupsi, yang mencoreng citra moral Islam.
Terjadi stigmatisasi terhadap partai Islam sebagai komunitas eksklusif atau intoleran, serta tudingan memainkan politik identitas, juga jadi tantangan tersendiri. Sementara itu, banyak pemimpin partai Islam belum mampu mengubah nilai-nilai Islam menjadi kebijakan nyata yang menyentuh kebutuhan rakyat, menyebabkan partai nasionalis lebih dipilih.
Kurangnya inovasi komunikasi politik, khususnya dalam menjangkau generasi muda dan urban, mempersempit ruang gerak partai Islam. Untuk tetap relevan, para pemimpin pemimpin partai harus membenahi partainya secara strategis, memperkuat integritas, dan menyajikan Islam yang solutif dan kontekstual dalam demokrasi Indonesia.
Kedua, Fragmentasi Politik. Salah satu persoalan utama yang mengemuka adalah terjadinya fragmentasi atau perpecahan di antara partai-partai Islam sendiri. Partai-partai yang mengatasnamakan Islam atau memperjuangkan aspirasi umat sering kali tidak bersatu dalam agenda politik yang jelas dan konsisten. Mereka kerap terjebak dalam kepentingan pragmatis jangka pendek seperti koalisi elektoral atau pembagian kursi kekuasaan, alih-alih membangun platform bersama untuk memperjuangkan kepentingan umat Islam secara menyeluruh. Fragmentasi tersebut berujung pada kepemimpinan partai.
Terjadi perbedaan ideologis dan strategi di antara partai-partai tersebut. Seperti, antara partai nasionalis-religius dan partai yang lebih puritan. Akibatnya, membuat suara politik umat Islam tidak solid. Aspirasi umat yang disuarakan menjadi tidak efektif sehingga mudah dikalahkan oleh agenda politik kelompok lain yang lebih terorganisir dan solid.
Ketiga, Masih Marginalnya Isu-isu Umat di tengah hiruk pikuk politik nasional. Isu-isu penting umat Islam sering kali tenggelam dan tidak bunyi, seperti masalah korupsi dan solusinya menurut Islam, persoalan pendidikan Islam yang berkualitas, perlindungan ekonomi umat (UMKM, koperasi syariah), dan penguatan lembaga keagamaan, serta peran masjid dalam pemberdayaan umat, jarang menjadi prioritas utama dalam agenda legislasi maupun eksekutif. Hal ini menunjukkan bahwa partai-partai politik Islam belum cukup berhasil menjadikan isu umat sebagai arus utama (mainstream) dalam pengambilan kebijakan publik.
Keempat, Isu Radikalisme dan Stigma Politik Identitas. Umat Islam di Indonesia juga masih dihadapkan pada persoalan citra dan stigma negatif terkait radikalisme dan politik identitas. Sayangnya, isu ini kadang dimanfaatkan oleh lawan politik untuk mendiskreditkan gerakan Islam atau partai yang memperjuangkan nilai-nilai keislaman. Hal ini membuat sebagian politisi muslim menjadi ragu atau defensif dalam menyuarakan kepentingan Islam karena takut dicap intoleran atau eksklusif.
Dalam mengantisipasinya, partai politik Islam seharusnya tertantang untuk bagaimana agar dapat menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin dalam politik Islam yang inklusif, solutif, dan berorientasi pada keadilan sosial. Mereka harus mampu menjelaskan bahwa memperjuangkan aspirasi umat bukanlah bentuk intoleransi, melainkan bagian dari demokrasi yang sehat.
Kelima, Minimnya regenerasi kader politik muslim yang kuat secara idealisme dan pemikiran.
Bahwa krisis regenerasi kader politik Muslim yang memiliki kapasitas dan integritas telah melanda partai politik Islam. Banyak generasi muda Islam yang enggan terjun ke dunia politik karena menganggap politik kotor dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Stigma tersebut harus bisa segera diatasi. Jika ruang politik Islam terus ditinggalkan, maka akan diisi oleh mereka yang tidak memiliki kepedulian terhadap kepentingan umat. Olehnya itu, partai-partai Islam perlu membina dan membekali kader-kader muda dengan pemahaman politik yang berbasis akhlak, ilmu, dan visi kebangsaan.
Sejatinya, tahun baru Islam kali ini bisa dijadikan momentum untuk membangun institusi kaderisasi politik yang lebih sistematis dan berkelanjutan demi kepentingan umat. Tahun baru Islam seharusnya menjadi momentum bagi partai-partai Islam untuk melakukan evaluasi dan reposisi. Mereka harus lebih fokus memperjuangkan kebutuhan riil umat, terutama dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan perlindungan sosial, agar umat Islam tidak hanya menjadi lumbung suara saat pemilu, tetapi benar-benar diperjuangkan secara substansial.
Tahun Baru Islam seharusnya tak hanya dirayakan secara seremonial, tapi dijadikan titik awal kebangkitan politik umat yang cerdas, santun, dan berorientasi pada perubahan nyata. Partai-partai Islam harus mampu menjadi pelopor, pelindung, penggerak, dan pembela umat secara substantif, bukan hanya simbolik tanpa gerakan nyata. Dengan demikian, diharapkan umat Islam Indonesia akan lebih berdaya dalam menghadapi tantangan zaman dan memainkan peran strategis dalam membangun negeri yang adil, makmur, dan bermartabat. Wallahu a’lam bishawab.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.