Tim medis mengevakuasi warga diduga terserang Korona di Chengdeu Korea Selatan | AP

Opini

Korona, Amerika Serikat, Cina, dan Eropa

Pandemi korona memperlihatkan pergeseran dominasi kepemimpinan global dari Barat ke Timur atau dari AS ke Cina.

Oleh Djoko Santoso

Guru Besar FK Universitas Airlangga

 

Penanggulangan pandemi Covid-19  memunculkan tanda perubahan tatanan geopolitik  global. Wabah ini awalnya menghantam Cina, tetapi dalam waktu empat bulan mereka mempropagandakan sudah memenangkan perang melawan Covid-19.

Angka penambahan pasien harian sudah di bawah 100 sejak dua pekan lalu dengan posisi total 81 ribuan kasus positif Covid-19. Lalu, secara simbolis Cina mengirim dokter dan peranti pengobatan ke Italia yang sedang tersuruk "dimangsa" Covid-19.  

Saat Cina merasa terbebas dari Covid-19, mayoritas negara dunia dan lebih khusus negara Barat, justru sedang parah-parahnya. Di sekujur Eropa Barat dan Timur plus AS dan Kanada, virus dari Wuhan ini sedang mengamuk hebat.

Cina dengan sangat kentara memanfaatkan posisinya yang sudah merasa tinggal finishing dalam mengatasi Covid-19, yakni menantang keadidayaan AS. Seakan ini sekuel baru dari perang dagang.

Kita ingat, sebelum Covid-19 merusak banyak kalkulasi ekonomi dan politik, Cina dan AS terlibat perang dagang yang sengit. Dan, saat gencatan, dengan klaim kedua pihak memenangkan perang itu, mengganaslah Covid-19.  

 

 

Keadaan jadi mendebarkan. Kita ingat, sebelum ditantang terbuka oleh Cina, AS menjadi satu-satunya pemimpin global setelah Soviet runtuh. Dan saat kepemimpinan Presiden Donald Trump, AS menjadi unilateralis, proteksionis, menarik diri dari berbagai kerja sama global.

 

 
 

Kecenderungan unilareralis ini berlanjut saat dunia dilanda wabah Covid-19. Dalam situasi darurat pandemi ini, AS belum terlihat mengulurkan tangannya ke negara Eropa sekutu tradisionalnya. Italia, Spanyol, Inggris dibiarkan menderita.

Namun, justru Cina dan Kuba merangkul mereka. Cina mengirimkan satu rombongan pakar medis dari Provinsi Zhejiang ke Semenanjung Apeninne, Italia (17/3). Rombongan ini terdiri atas pakar pernapasan, penyakit menular, perawatan intensif, dan pengobatan tradisional.

Cina juga membawa kontainer berisi peralatan medis serta 60 ribu cairan reagen untuk pengujian. Ini kiriman kedua. Total, Cina telah mengirim 35,4 ton pasokan medis ke Italia. Sepekan kemudian (23/3) datang rombongan lain.

Kali ini, 36 dokter dan 15 perawat dari Kuba mendarat di Roma dan mendapat sambutan hangat. “Kami datang sebagai solidaritas kepada masyarakat Italia,” kata salah satu dokter. Kuba mengirim dokter dan perawat ke Italia dan Serbia.

 

 

Covid-19 menggoyahkan sistem kesehatan dan ekonomi global serta dampaknya sangat masif. Maka itu, wajar kalau The WHO Strategic and Technical Advisory Group for Infectius Hazard mengeluarkan beberapa rekomendasi untuk menghadapi pandemi ini.

 

 
 

Rekomendasinya menarik dicermati karena bisa untuk menebak arah kebijakan global. Salah satunya, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah yang terdampak Covid-19 dan minta dukungan WHO harus didukung penuh secara teknis dan finansial.

Dukungan keuangan harus dicari bersama oleh negara yang bersangkutan dan WHO termasuk menggunakan  pendanaan darurat pandemi Bank Dunia dan mekanisme lainnya. WHO menyerukan perlunya komitmen politik dan koordinasi di tingkat global.

Lebih spesifiknya, WHO meminta pemimpin negara kelompok G-20 (termasuk Indonesia) segera bekerja sama meningkatkan produksi peralatan pelindung, menghindari larangan ekspor, dan memastikan pemerataan distribusinya.

Namun, WHO perlu pendukung riil untuk merealisasikan hal ini. Siapakah pendukung yang dimaksud? Perlu dilihat pihak mana saja yang aktif mendukung operasional WHO. Cina sebagai pengekspor terbesar di dunia, aktif membantu organ kesehatan PBB itu.

Artinya, Cina makin bergerak sebagai penyeimbang blok Barat yang didominasi AS, setidaknya dua dekade belakangan ini. Di luar Cina, yang terlihat serius aktif merespons sejak awal Covid-19 adalah beberapa negara Asia, seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura.

Korea Selatan dan Jepang merupakan kekuatan ekonomi besar yang  menguasai teknologi maju, etos kerja tinggi, dan budaya disiplin. Singapura adalah negara kota sebagai salah satu pusat bisnis dan keuangan terpenting di Asia, dengan budaya disiplin yang juga tinggi.

Bahkan, bersama WHO, Singapura membuat rencana kesiapsiagaan menghambat penularan wabah ini. Dengan modal itulah ketiga negara ini sejak dini siap menghadapi serbuan Covid-19. Dengan disiplin tinggi,  warganya patuh saat diminta mengisolasi diri.

Melihat perkembangan demikian, bisa dikatakan, merebaknya pandemi Covid-19 ini telah memperlihatkan pergeseran dominasi kepemimpinan global dari Barat ke Timur atau dari AS ke Cina.

Cina memanfaatkan momentum dengan tepat, ketika AS ternyata juga makin kewalahan di dalam negeri. Seperti pejabat kita, saat Covid-19 memuncak di Cina, Trump meremehkan. Merasa virus ini seenteng flu. Dengan jumlah kasus positif makin besar, AS mulai panik.

Kepemimpinan Trump yang chauvinistik, sikapnya yang abai merespons pandemi membuat AS kurang mendukung kerja koalisi organisasi internasional melawan Covid-19. AS tidak memberikan informasi lebih banyak dan lebih awal yang bisa digunakan sebagai panduan  bagi banyak negara dunia.

Dengan demikian, tampaknya kepemimpinan AS dalam tata kelola kesehatan global mulai surut. Perlahan mulai digantikan Cina, yang didampingi Korea Selatan dan Jepang.  Bisa jadi, inilah awal menuju era kepemimpinan Asia.

Yang mengutamakan kelancaran perdagangan, serta less expansionist (tidak gemar mengirim tentara ke negara lain). Senjata utama Cina adalah komoditas, teknologi, kekuatan finansial, dan rasa percaya diri yang begitu kuat, bukan gertakan kekuatan militer.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat