Relawan Dompet Dhuafa Aceh melakukan penyemprotan disinfektan di Posko Jurnalis Peliput korona, Banda Aceh, Aceh, Rabu (25/3/2020). | ANTARA FOTO

Opini

Mengantisipasi Gelombang Kedua Pandemi Korona

Potensi gelombang kedua wabah korona datang dapat diprediksi karena sifat virus ini yang mudah menular. 

Oleh Hadiki Habib

Anggota Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam (PAPDI) Jakarta Siaga Bencana dan Relawan MER-C

 

Pandemi Covid-19 mengguncang sistem kesehatan nasional. Tidak tanggung-tanggung, Ibu Kota Indonesia, Jakarta, menjadi episentrum wabah paling tinggi angka infeksi dan mortalitasnya.

Terkait pandemi ini, meski terlambat, pemerintah telah menetapkan wabah Covid-19 sebagai bencana nasional pada 14 maret 2020. Berdasarkan kondisi di negara yang lebih dahulu terdampak Covid-19, seperti Cina, Korea Selatan, dan Italia, kita dapat mengambil pelajaran. Yakni, bencana ini perlahan, tetapi terus meningkat intensitasnya di satu daerah dan cenderung meluas mengikuti pola pergerakan masyarakat urban. Sehingga, fase respons bencana akan memanjang dan petugas kesehatan perlu menjaga ‘napas’ menghadapi maraton pandemi.

 

 

Tak pernah layanan kesehatan Indonesia yang masih gamang dengan jaminan kesehatan nasional, menghadapi disrupsi sehebat ini.

 

Di Jakarta, Jabar, Jateng, Surabaya, Makassar, Medan terjadi kerja keras besar-besaran sistem layanan rujukan untuk merancang alur terpisah antara pasien Covid-19 dan non-Covid-19.

Dimulai dari triase demam di unit rawat jalan dan unit gawat darurat, ruang isolasi di unit gawat darurat, ruang rawat isolasi terpisah untuk Covid-19, dan ruang isolasi intensif terpisah untuk Covid-19. Pemisahan alur layanan ini bertujuan melindungi tiga pihak.

Pihak pertama, pasien yang berpotensi terinfeksi Covid-19, mereka perlu dideteksi dini dan dilindungi keluarga dekatnya agar tidak tertular.

Pihak kedua, petugas kesehatan yang menangani pasien sehingga mampu melaksanakan  kewaspadaan diri sesuai standar saat mengelola pasien suspek. Pihak ketiga, pasien yang datang ke fasilitas kesehatan karena penyakit lain sehingga mereka terhindar dari infeksi nosokomial.

Perlu disadari, ketika Covid-19 mewabah, Indonesia sudah memiliki ‘modal’, yaitu banyak penduduk dengan penyakit kronis, seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit ginjal kronik, penyakit paru obstruktif kronis, jantung koroner, penyakit serebrovaskular, dan kanker.

Kondisi ini tidak bisa diabaikan karena perburukan penyakit kronik akan memberikan gelombang bencana kedua di sistem kesehatan Indonesia. Gelombang kedua terjadi bila dalam pengelolaan Covid-19 ini, kita hanya fokus pada sumber daya untuk menghadapi wabah.

Kita harus ingat, penyakit kronis berpotensi memburuk bila tak dikelola berkesinambungan. Gula darah dan tekanan darah pasien bisa meningkat tak terkontrol bila obat rutin tertunda, jadwal cuci darah pasien sakit ginjal  terhambat, atau pasien kanker tertunda kemoterapi.

Potensi gelombang kedua datang dapat diprediksi karena sifat virus ini yang mudah menular. Hal ini membuat banyak organisasi profesi kedokteran berusaha melindungi anggotanya yang rentan, seperti yang berusia tua untuk menghindari memberikan pelayanan kesehatan sebagai konsekuensi logis dari etika kedokteran, yaitu menjaga diri sendiri.

Petugas medis juga banyak terpapar dan sakit, atau tidak bisa praktik karena tidak memiliki alat pelindung diri yang memadai. Ini akan menurunkan kapasitas pengelolaan pasien-pasien kronis di rumah sakit dan layanan primer.

Dokter dan perawat yang sakit atau dirumahkan menyebabkan banyak poliklinik tutup, kapasitas ruang rawat dibatasi, frekuensi melakukan operasi menurun, dan tindakan medis rutin tertunda. Dampaknya, kontinuitas pengobatan pasien kronis terganggu dan berpotensi terhenti.

Pasien yang butuh perawatan, akan kesulitan mendapatkan ruang rawat inap karena banyak unit rawat yang ditutup akibat keterbatasan tenaga dan unit gawat darurat akan penuh sesak karena kesulitan merujuk pasien.

 
Gelombang kedua tidak bisa dihindari, tetapi bisa dikurangi dampaknya.
 

Caranya, sejak awal semua profesi kesehatan yang mengelola pasien kronis dilibatkan dalam perencanaan alur layanan sehari-hari pada masa wabah, membantu dan mengapresiasi usaha semua profesi dalam menjaga kestabilan sistem kesehatan dengan tetap mengelola pasien-pasien kronis non-Covid-19.

Rumah sakit isolasi harus ditingkatkan kapasitas perawatannya. Jika rumah sakit isolasi tidak bisa menerapkan standar maksimal ruang isolasi, standar minimal seperti ruang terpisah atau berjarak mesti diterapkan. 

Rumah sakit isolasi diharapkan memiliki integrasi yang baik dengan sistem layanan primer agar dapat mengikuti perkembangan pasien-pasien suspek Covid-19 secara kohort prospektif di komunitas.

Indonesia harus menghindari dalam memperbanyak rumah sakit yang mengelola penderita Covid-19.  Alur rujukan harus dikelola dengan benar dan diserahkan kepada praktisi kesehatan yang memahami dan rutin berkecimpung dalam layanan komunikasi medis dan pra-rumah sakit. 

Di situasi wabah ini, layanan kesehatan primer harus menunjukkan jati dirinya dalam mengelola kesehatan komunitas. Harus ada kreativitas besar-besaran agar kerumunan pasien di puskesmas bisa dikurangi. Biasanya kerumunan terbentuk saat awal mendaftar, menunggu bertemu dokter, dan menunggu obat.

 

 

Perlu dipertimbangkan metode pendaftaran daring, penjadwalan temu muka dengan dokter pada jam-jam khusus, dan mekanisme pengantaran obat kronis ke rumah-rumah.

 

Frekuensi kunjungan ke puskemas juga perlu dikurangi dengan cara memberikan resep obat kronis dalam jumlah yang cukup sampai dua hingga tiga bulan untuk pasien-pasien yang kondisi kesehatannya terkendali. Wabah korona sepertinya tidak cepat berlalu, jadi kita yang harus semakin siap.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat