Petugas medis bersiap di ruang perawatan rumah sakit | Republika

Opini

Kesendirian di Tengah Wabah Korona

Badai pasti berlalu. Wabah korona akan sirna. Kami ingin segera bangkit. Keluar rumah menggapai asa.

Oleh Shabahussurur Syamsi

Ketua Takmir Masjid Al-Azhar Jakarta

Pegiat dakwah

 

Bisakah hidup sendiri. Jawabnya tentu tidak bisa. Ada satu aspek yang dimiliki manusia, yaitu aspek sosial. Hilang aspek itu artinya menjadi manusia cacat tidak sempurna. Hilangnya adalah kematian.

Teriakan bayi yang baru lahir mengundang orang untuk melihat. mendekati, mengasuh, dan menyayanginya. Tanpa kehadiran mereka sang bayi akan mati. Ketergantungan kepada orang, lingkungan dan alam sangat besar. Tanpa mereka, dia akan mati. Manusia hanya bisa eksis karena ada yang lain. Kebutuhan kepada orang lain menjadi hakekat hidup. 

Semakin menyendiri dan tidak butuh orang lain, sungguh ia telah mendekati kematian. Ketika kecil membutuhkan orang tua yang mengasuh. Mulai remaja ingin punya pasangan yang mendampingi. Setelah berpasangan ingin anak yang disayang. Kebesaran seseorang ditunjukkan seberapa banyak manusia yang berada dalam pengaruhnya.

Maka manusia bergerak memperbanyak komunikasi, networking, silaturahim demi eksistensi. Sukses mencari harta karena sukses membangun jaringan bisnis. Sukses menguasai ilmu karena sukses menjalin komunikasi dengan banyak guru. Sukses membangun peradaban karena sukses mengikat berbagai kehebatan yang dimiliki banyak orang. Tidak ada kesuksesan karena diri sendiri. Tidak ada kehebatan hasil dari egoisme.

Pada kenyataannya, gerakan untuk kerja sulit dikendalikan. Ingin memperbanyak teman, pengikut, jamaah, rakyat, suara, pengaruh, tidak lagi bisa dibendung. Berebut kursi, bersaing posisi, demi nasi dan posisi, berbangga dengan golongan dan partai, dalam rangka mengagungkan anak istri.

Bergerak untuk terus merekrut, menjaring, mengeksploitasi, dan menguasai menjadi ancaman bagi yang lain. Satu peti emas ingin dua peti. Satu hektare ladang ingin dua hektar. Satu bintang jasa ingin dua bintang. Rakus, tamak, dan serakah. Saling mengancam, menendang, melawan dalam persaingan tak berujung. Pertengkaran, perebutan, peperangan tak terhindarkan.

Saatnya berhenti dari keramaian. Menghindar dari kebisingan. Menyelesaikan pertengkaran dan peperangan, memperebutkan dunia yang tak berkesudahan. Dalam sunyi, sendiri, sepi, damai, mencari jati diri yang telah lama hilang.

Tanyakan kepada hati nurani. Sesungguhnya selama ini pergi ke kantor untuk apa, berdagang di pasar untuk siapa, berkeliling dunia untuk apa, meramaikan masjid dalam rangka apa, pergi ke tanah suci untuk apa, mendidik di sekolah dalam rangka apa, mengumpulkan masa agar apa, membangun negeri untuk siapa. 

Kini tidak lagi ada lagi kantor, pasar, masjid, dan istana. Dulu di kantor dipuja dihormat anak buah. Di pusat perbelanjaan memborong nikmat belanja. Di masjid dielu-elu jamaah. Di restoran bersenda gurau bersama. Di istana mengukir indah tahta dan kuasa.

Kini yang ada hanya rumah. Tinggal di rumah. Sendiri. Sepi. Buat apa semua itu. Temui Tuhan dalam kesendirian. Apa yang salah Ya Tuhan, dengan gerakan, tindakan, dan perbuatan selama ini. Sehingga Tuhan menurunkan bala tentaranya yang super mini, korona, tapi dikdaya kuat perkasa.

Kami tidak bisa hidup sendiri. Sendiri artinya mati. Kami harus bergerak keluar rumah, beraktifitas, bekerja, membangun, mendidik, mengatur, mensejahterakan, dan meramaikan dunia. 

Dalam sendiri kami menata diri, memperkokoh nurani yang lagi rapuh, menata jiwa yang sedang galau, memperkuat iman yang lagi rawan, menyehatkan hati yang berpenyakit, menemukan jati diri yang sudah hilang.

Badai pasti berlalu. Wabah korona akan sirna. Kami ingin segera bangkit. Keluar rumah menggapai asa.

Ciputat, Jumat, 27 Maret 2020, Shabah Syamsi, Mi'raj Fajar.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat