Sejumlah warga sipil menaiki bus milik PT Freeport Indonesia saat evakuasi di perkampungan Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, Jumat (6/3/2020). | Sevianto Pakiding/Antara

Kabar Utama

Empat Kampung Kosong

Warga khawatir menjadi korban salah sasaran aparat-KKSB.

TIMIKA -- Empat kampung di distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, telah kosong ditinggalkan warganya sejak pekan lalu. Wakil Bupati Mimika, Johannes Rettob, mengatakan, seluruh warga di empat kampung itu dievakuasi ke Kota Timika lantaran kampung mereka dimasuki kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB).

"Di Waa, Banti (1 dan 2), Opitawak, dan Kimbeli sudah tidak ada orang lagi. Semua penduduk asli Amungme yang tinggal di sana, termasuk warga yang mendulang di Kali Kabur, seluruhnya telah diturunkan ke Timika karena situasi di sana tidak nyaman," kata Johannes, Kamis (12/3).

Mantan kepala Dishubkominfo Mimika itu mengungkapkan, dalam kondisi tidak nyaman itu, warga tidak bisa bertahan. Untuk pergi membeli bahan kebutuhan pokok di Tembagapura saja, mereka kesulitan karena situasi yang tidak memungkinkan. 

Gembong evakuasi warga Mimika terjadi sejak Sabtu (7/3) lalu. Hingga Selasa (10/3), sudah 1.572 warga dari empat kampung itu yang mengungsi ke Timika. Sementara, KKSB terus melakukan serangan terhadap aparat keamanan. Kejadian terakhir penembakan Pos TNI di distrik Jila, Tembagapura, yang menewaskan Babinsa Jila, Serka Anumerta La Ongge.

Menurut Johannes, tidak ada penampungan khusus bagi warga yang dievakuasi dari Distrik Tembagapura itu. Setiba di Timika, mereka langsung diantar ke rumah kerabat mereka di beberapa titik, seperti Kwamki Lama, SP12, SP13, SP9, SP2, SP3, Irigasi, dan sebagian lagi tersebar di Kota Timika.

Pada Kamis, Dinas Sosial Mimika mencatat jumlah warga Tembagapura yang dievakuasi sudah mencapai 1.662 orang, sebagian besar merupakan ibu dan anak-anak. Johannes mengatakan, para warga Tembagapura meminta Pemkab Mimika bersama TNI-Polri dan PT Freeport Indonesia memfasilitasi mereka untuk kembali ke Tembagapura jika situasi keamanan sudah kondusif.

"Mereka tidak mau tinggal berlama-lama di Timika, katanya cukup satu pekan karena mereka punya rumah, ternak, dan lain-lain ditinggal begitu saja. Tapi, itu semua tergantung dengan situasi dan kondisi keamanan di sekitaran Tembagapura," ujar Johannes menjelaskan.

Beberapa pengungsi yang ditemui di kompleks Gereja Kingmi Jemaat Rehobot mengakui hampir seluruh penduduk di empat kampung mereka telah dievakuasi ke Timika. "Yang sekarang tersisa di sana hanya satu orang mono (tuna rungu), dia lari kembali ke kampung saat masyarakat naik bus untuk turun ke Timika," ujar warga Tembagapura.

Mereka terpaksa meninggalkan semua harta benda dan ternak lantaran tidak ingin menjadi korban saat aparat keamanan terlibat kontak tembak dengan KKSB. "Kami kasih tinggal semua rumah, barang-barang, ternak. Ada warga yang punya ternak babi 18 sampai 20 ekor ditinggal begitu saja. Habis mau bagaimana lagi, situasinya memang tidak memungkinkan untuk kami bertahan di Banti," ujar warga Banti yang tetap enggan menyebutkan identitasnya.

Laporan HAM

Sementara itu, Sekretaris II Dewan Adat Papua John Gobay melaporkan dugaan pelanggaran HAM yang terjadi dalam operasi penegakan hukum di Kabupaten Intan Jaya dan Paniai ke Komisi Nasional HAM. Dia meminta Komnas HAM membentuk tim pemantauan dan penyelidikan terhadap operasi penegakan hukum di Intan Jaya dan Paniai.

Gobay menjelaskan, kontak tembak antara pasukan TNI/Polri dan KKSB menyebabkan beberapa orang tertembak mati. Mereka yang diduga merupakan korban salah sasaran, di antaranya Alex Kobogau yang tertembak mati pada 28 Januari 2020 serta Kayus Sani dan Melky Tipagau yang tertembak mati pada 18 Februari 2020.

Gobay mengatakan, mereka merupakan masyarakat sipil dan bukan bagian dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). "Menurut laporan dari lapangan kepada pimpinan TNI/Polri, mereka ini OPM, sementara yang kami dapatkan laporan dan telah kami verifikasi, ternyata mereka ini bukan TPN/OPM, mereka ini adalah masyarakat sipil," ujar Gobay.

Gobay juga menyebut terdapat sejumlah masyarakat sipil yang mengalami luka-luka. Di antaranya seorang anak laki-laki berusia delapan tahun bernama Jeckson Sondegau yang terkena luka tembak, serta dua perempuan, Elepina Sani dan dan Malopina Sani.

"Dengan fakta ini kami menyimpulkan bahwa telah terjadi dugaan pelanggaran HAM pada operasi penegakan hukum yang terjadi Desember 2019 sampai Maret masih terjadi, masih ada mereka di sana," kata Gobay.

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengaku akan segera menindaklanjuti laporan tersebut. "Kami juga sudah punya tim Papua yang memang salah satu tugasnya merespons setiap ada kejadian dugaan pelanggaran, seperti yang Pak John adukan sekarang ini," ujar Beka.

Menurut dia, saat ini Komnas HAM sedang mencari keterangan kepada kepolisian, khususnya kepada Kepala Polda Papua Irjen Paulus Waterpauw. Kemudian, nantinya akan mencari keterangan ke Pangdam TNI. 

Ia juga meminta pemerintah pusat mengevaluasi pendekatan keamanan di Papua. "Peristiwa penembakan yang mengakibatkan ada warga atau aparat meninggal ini bukan kali ini saja, tapi sudah seringkali terjadi. Saya kira pemerintah pusat, Presiden harus mulai benar-benar mengevaluasi soal pendekatan keamanan yang ada di Papua," kata Beka. n 

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat