KH Ahmad Dahlan | DOK Wikipedia

Kisah

Langkah Tenang KH Ahmad Dahlan

Menghadapi caci maki dari sesama Muslim dan tekanan pemerintah kolonial, Kiai Dahlan tak gentar.

Perkembangan Muhammadiyah yang telah mencapai usia 111 tahun kini bermula dari perjuangan KH Ahmad Dahlan. Ulama yang lahir dengan nama Muhammad Darwisy itu mengambil inspirasi dari modernisme Islam, wacana dan gagasan yang dimotori tokoh-tokoh Jamaluddin al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Muhammad Abduh. Saat menuntut ilmu di Tanah Suci, lelaki kelahiran Yogyakarta itu membaca dan menyelami pemikiran ketiganya.

Darwisy muda sudah menekuni ilmu-ilmu agama Islam sejak belum akil baligh. Bahkan, saat masih berusia 15 tahun, ia telah melaksanakan ibadah haji. Dan, rihlahnya ke Tanah Suci tidak hanya dimanfaatkan untuk mengerjakan rukun Islam kelima itu, melainkan juga memperdalam pengetahuan agama.

Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta. Organisasi ini didirikan untuk mencapai cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Kiai Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut agama Islam. Dia ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup seiring dengan tuntunan Alquran dan Sunnah Rasulullah SAW.

Suami dari Nyai Walidah ini menghendaki Muhammadiyah untuk mewujudkan semboyan “Sedikit bicara, banyak bekerja". Dan, moto itu pun tecermin pada laku pribadinya, seperti tersirat dalam kisah berikut. Dinukil dari buku Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (1992, hlm. 44-46).

Dalam sebuah upaya untuk memperkenalkan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan mendapatkan penghinaan keras. Sepulang dari menyiarkan Islam di Banyuwangi, sebuah surat sampai kepadanya.

 

Tertulis di dalamnya kata-kata yang amat tendensius: “Hai ulama palsu yang busuk! Datanglah kemari sekali lagi, kalau memang benar ajakanmu itu. Kami akan menyambut kedatanganmu dengan belati tajam dan golok besar, biar engkau pulang menjadi bangkai. Bawalah istrimu sekali supaya dapat kami selesaikan pula!”

Setelah selesai membaca surat itu, KH Ahmad Dahlan bersiap-siap bersama istrinya pergi ke kota tersebut. Keputusan sang kiai segera menimbulkan kecemasan di kalangan sanak kerabat.

Dengan tenang, KH Ahmad Dahlan berpesan: “Kalau orang yang durhaka telah berani bertindak begitu, kenapa kami yang membawa kebenaran dan hendak menyiarkan agama yang haq (benar) harus takut kepada mereka? Kami harus berangkat sekarang juga untuk mengajar dan mendidik mereka.”

Namun, sesampainya KH Ahmad Dahlan dan istri di Banyuwangi, ancaman yang dialamatkan kepada mereka tidak terjadi. Jangankan ada orang yang mengganggu. Sepatah kata pun tidak ada yang bermakna permusuhan ditujukan kepada KH Ahmad Dahlan.

Bahkan, sesudah sang kiai melakukan tabligh selama beberapa hari, sebuah cabang Muhammadiyah berdiri di Banyuwangi. Pendekatan dakwah dan keberanian sang pendiri Persyarikatan berhasil mengatasi isu-isu yang berpotensi kekerasan.

 
Bahkan, sesudah sang kiai melakukan tabligh selama beberapa hari, sebuah cabang Muhammadiyah berdiri.
   

Kisah lainnya, yakni ketika KH Ahmad Dahlan berada di Tosari Keresidenan Pasuruan, Jawa Timur. Kala itu, Kiai Dahlan dalam kondisi sakit keras, sehingga memerlukan menghentikan sejenak aktivitas dakwah.

Namun, dalam waktu istirahat itu, KH Ahmad Dahlan tetap menyampaikan pelajaran Islam kepada para pegawai rumah pesanggrahan. Bahkan, ia menyempatkan diri ikut memperbaiki surau tempat para jamaah shalat dan berkumpul. Dalam kondisi demikian, semangat tablighnya justru semakin bertambah.

KH Ahmad Dahlan khawatir bila ajalnya tiba, sedangkan tugas syiar Islam dalam keadaan terlantar. Semangat sang kiai untuk menyesuaikan antara dakwah lisan dan perbuatan. Inilah yang dilanjutkan para pengikut dan murid-muridnya bertahun-tahun kemudian. Surath ash-Shaf ayat kedua dan ketiga menjadi pemicunya.

“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar murka Allah kepada engkau yang mengajak dan menyerukan sesuatu sedang engkau sendiri tidak mau mengerjakan."

Siasat sang kiai

Sepak terjang KH Ahmad Dahlan hingga akhirnya mendirikan Muhammadiyah pada 18 November 1912 menimbulkan kekhawatiran di kalangan rezim Hindia Belanda. Pemerintah kolonial membatasi setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan Persyarikatan.

Belanda hanya mengizinkan Muhammadiyah melakukan kegiatannya di Yogyakarta saja. Maka keluarlah surat ketetapan nomor 81 tanggal 22 Agustus 1914. Namun, gerakan dakwah Persyarikatan tak terbendung.

photo
ILUSTRASI Batik Muhammadiyah dan 'Aisyiyah. - (ANTARA FOTO/Maulana Surya)

Tokoh dan masyarakat di beberapa wilayah kemudian mendirikan cabang Muhammadiyah. Kedati demikian, mereka menggunakan nama samaran. Tujuannya untuk mengelabui pemerintah Belanda.

“KH Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fatonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadyah,” demikian dikutip dalam buku KH Ahmad Dahlan yang diterbitkan Museum Kebangkitan Nasional.

Sementara di dalam kota Yogyakarta, Ahmad Dahlan juga menganjurkan adanya jamaah dan perkumpulan untuk menyelenggarakan pengajian dan kegiatan dakwah Islam lainnya. Di antara perkumpulan-perkumpulan yang mendapat bimibingan dari Muhammadiyah pada waktu itu yakni Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Jamiyatul Muslimin, Syaharatul Mubtadi dan beberapa lainnya.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

GIP 111, Ikhtiar Jangka Panjang Muhammadiyah untuk Pendidikan

GIP 111 menjadi langkah awal bagi Muhammadiyah mendirikan

SELENGKAPNYA

Tiga Pj Bupati Diduga Melanggar Netralitas

Bawaslu sedang mengusut tiga kasus dugaan pelanggaran netralitas penjabat (pj) bupati.

SELENGKAPNYA

Kejakgung 'Lepas' Kajari Bondowoso yang Ditangkap KPK

Secara formal, pemecatan kedua oknum jaksa menunggu ketetapan hukum.

SELENGKAPNYA