Petugas kepolisian memasang batas garis polisi di area Posko CT Scan Post Mortem, RS Polri Kramat Jati, Jakarta, Minggu (10/1/2021). RS Polri Kramat Jati kembali menerima tiga kantong jenazah korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 yang selanjutnya | ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Gaya Hidup

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga, Kenapa Korban Kejahatan Banyak Disalahkan?

Masyarakat mungkin terdorong untuk menjauhkan diri dari peristiwa yang mengganggu.

Korban kejahatan dari peristiwa negatif, sering kali malah menjadi sasaran disalahkan melalui asumsi orang lain. Bahkan, terkadang publik menghakimi dan menganggap mereka pantas menerima kemalangan akibat kesalahannya.

Misalnya, orang mungkin mengkritik korban penyerangan karena cara mereka berpakaian atau waktu mereka keluar pada malam hari. Padahal sejatinya kecaman harus difokuskan pada tindakan pelaku.

Ada pula yang menyalahkan korban yang mungkin dirasa kurang berhati-hati menjaga diri. Sehingga wajar apabila menjadi korban dari kejahatan yang memang kian merajalela. 

Mengapa orang-orang merespons dengan cara yang tampaknya tidak berperasaan? Penelitian menunjukkan bahwa mungkin ada banyak faktor yang menyebabkan itu dari sisi psikologis, seperti berikut, dikutip dari laman Psychology Today, Rabu (15/11/2023).

 

photo
Anggota Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) melakukan Aksi Kamisan ke-795 di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (16/11/2023). Dalam aksi tersebut mereka juga menyoroti proses persidangan terhadap dua pembela HAM, yaitu Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, yang dikriminalisasi semata-mata karena menyampaikan kritik terhadap pejabat publik. Kriminalitas keduanya secara jelas merupakan pelanggaran terhadap nilai-nila demokrasi dan HAM, yang kian merefleksikan bahwa Indonesia saat ini semakin melencang dari amanat Reformasi. - (Republika/Prayogi)

1. Merasa resah

Melihat orang lain menjadi korban secara tidak adil dapat mengancam rasa aman seseorang. Mereka menganggap jika hal buruk itu terjadi pada orang lain, tentu saja bisa dialami oleh diri sendiri.

Untuk menghindari pemikiran yang meresahkan ini, akhirnya mereka memberi afirmasi kepada diri sendiri bahwa korban pasti telah melakukan kesalahan. Kemudian, selama kita tidak melakukan hal tersebut, kita akan terlindungi.

Cara berpikir seperti ini, yang oleh para peneliti disebut sebagai keyakinan akan dunia yang adil, merupakan mekanisme pertahanan yang muncul dari keinginan untuk merasakan kendali dan prediktabilitas di dunia yang sering kali acak dan tidak adil.

2. Ingin menjauhkan diri secara moral dari korban

Mungkin juga mengasosiasikan korban dengan suatu kejahatan atau perbuatan buruk dapat menimbulkan stigma dan rasa bersalah. Masyarakat mungkin terdorong untuk menjauhkan diri dari peristiwa yang mengganggu tersebut secara keseluruhan, termasuk dari pihak yang tidak bertanggung jawab atas peristiwa tersebut.

Para peneliti telah menemukan bahwa pembatasan jarak ini kemungkinan besar terjadi di antara orang-orang yang lebih mementingkan nilai-nilai kesetiaan, kepatuhan, dan kemurnian. Sebuah rangkaian penelitian menemukan bahwa peserta dengan nilai-nilai ini lebih cenderung percaya bahwa para korban “terkontaminasi” oleh kejahatan perampokan atau kekerasan seksual.

photo
Komplotan begal yang ditembak polisi setelah beraksi dua kali dalam semalam di wilayah Kabupaten Indramayu, Kamis (6/4/2023). - (Lilis Sri Handayani/Republika)

3. Mereka lebih berempati terhadap pelakunya

Menempatkan diri pada posisi korban dan mencoba melihat sudut pandang mereka dapat mengurangi rasa bersalah. Misalnya, kita mungkin bisa lebih memahami alasan mereka tidak melawan atau segera melaporkan suatu kejadian.

Namun, berempati kepada korban tidak selalu merupakan sikap default seseorang. Khususnya, jika mereka mempunyai lebih banyak kesamaan dengan pelaku atau dapat berhubungan dengan mereka dalam beberapa hal.

Dalam sebuah penelitian, peserta yang memiliki jenis kelamin yang sama dengan pelaku dalam skenario hipotetis cenderung merasakan empati dan kasih sayang yang lebih besar terhadap mereka, yang pada gilirannya menyebabkan pemberian tanggung jawab yang lebih besar kepada korban. Temuan serupa terjadi pada latar belakang budaya. Para peneliti yakin hal ini terjadi karena orang-orang termotivasi untuk melihat “kelompok” mereka dan lebih jauh lagi, diri mereka sendiri, secara positif.

 

photo
Petugas kepolisian mengamankan orang yang diduga pencopet saat Aksi Bobotoh Persib Bandung di depan Graha Persib, Jalan Sulanjana, Kota Bandung, Rabu (28/9/2022). Dalam aksi tersebut mereka menuntut manajemen dan ofisial untuk membenahi sistem serta mempermudah penjualan tiket pertandingan. Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

4. Tidak memanusiakan korban

Korban kadang-kadang digambarkan dengan cara yang objektif, dengan gambar dan deskripsi yang berfokus pada penampilan dan pakaian mereka seolah-olah atribut fisik dapat menjelaskan atau membenarkan suatu serangan. Penelitian telah menemukan, penggambaran yang tidak manusiawi seperti ini dapat membuat korban dipandang sebagai orang yang tidak mampu menanggung penderitaan.

Misalnya, dalam sebuah penelitian yang seluruh partisipannya membaca deskripsi yang sama tentang kekerasan seksual ditemukan bahwa mereka yang pertama kali melihat gambar korban perempuan yang mengenakan pakaian renang. Hal ini secara objektif cenderung mengatakan bahwa ia berperilaku ceroboh dan menuntun pelaku dibandingkan mereka yang tidak melihat gambaran yang kurang objektif dari wanita yang sama.

 

5. Punya kepribadian yang gelap

Sebuah studi baru menunjukkan, sekelompok orang tidak hanya cenderung terlibat dalam sikap menyalahkan korban, namun juga tampaknya mendapatkan kesenangan dari tindakan tersebut. Peserta yang mendapat skor lebih tinggi pada ukuran “sadisisme sehari-hari” lebih cenderung melaporkan merasakan emosi positif seperti kegembiraan, kesenangan dan hiburan sebagai respons terhadap berbagai kesulitan hipotetis dan kehidupan nyata.

Misalnya, akibat penyakit dan cedera, kekerasan seksual, dan diskriminasi. Mereka juga kurang termotivasi untuk membantu dan lebih cenderung menyalahkan korban atas kemalangan yang dialami.

 
Melihat orang lain menjadi korban secara tidak adil dapat mengancam rasa aman seseorang.
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Luka Mendalam Para Korban Perundungan

Korban perundungan di Bandung nekat melakukan pembunuhan.

SELENGKAPNYA

Anak-Anak Korban Gagal Ginjal Akut Masih Menanti Janji

Presiden Jokowi telah menyetujui pemberian bantuan berupa uang tunai kepada para korban.

SELENGKAPNYA