
Refleksi
The Wandering Who? (Bagian I)
Politik identitas Yahudi mengacaukan peradaban manusia global.
Oleh SYAFII MAARIF
Inilah karya terbaru Gilad Atzmon yang menggegerkan Zionisme global. Judul lengkapnya, The Wandering Who? A Study of Jewish Politics Identity (Siapa Tersesat? Sebuah Kajian tentang Identitas Politik Yahudi). To wander dalam bahasa Inggris dapat berarti “bergerak/mengembara tanpa arah”; dapat pula diartikan “mengeluyur” atau “pergi tersesat.” Saya pilih yang terakhir ini. Karena pengalaman getir selama terpasung dalam lingkaran Zionisme rasis, Gilad merasa sebagai manusia tersesat sampai ia muncul sebagai seorang humanis yang terbangunkan kemudian.
Karya ini direncanakan terbit akhir September 2011 oleh penerbit Zero Books, tetapi karena ancaman demikian hebat agar jangan muncul dalam format cetak, maka sampai saat ini (15 Oktober) saya tidak tahu pasti apakah sudah beredar atau belum. Tetapi, apa isi pokok buku itu sudah beredar di dunia maya sejak Agustus tahun ini. Saya juga sudah baca beberapa resensinya, termasuk dari intelektual Yahudi kelas hiu, seperti Richard A Falk dari Universitas Princeton, Prof Mearsheimer dari Universitas Chicago. Yang terakhir adalah penulis buku The Israel Lobby and US Foreign Policy (2007) bersama Prof Stephen M Walt dari Universitas Harvard. Ketiganya memberi dukungan kepada The Wandering agar segera diterbitkan.
Dalam wawancara panjang dengan wartawati Swiss Silvia Cattori pada akhir September yang lalu, Gilad menjelaskan apa substansi karyanya itu. Terutama dari hasil wawancara ini saya menangkap pemikiran Gilad tentang politik identitas Yahudi yang mengacaukan peradaban manusia global. Selain sumber ini, saya telah mengikuti Gilad sejak lebih dua tahun yang lalu, sebagaimana telah terbaca beberapa kali di ruang resonansi ini.
Dengan demikian, para pembaca tentu tidak asing lagi tentang sosok Gilad Atzmon ini yang kiprah geraknya semakin menggoncangkan Israel dengan risiko maut yang mungkin menyergapnya setiap saat. Saya pernah mengingatkan Gilad agar ekstra hati-hati terhadap serba kemungkinan ini, tetapi tekadnya untuk melawan Zionisme dan membela Palestina sudah tidak mungkin lagi ditawar. Dia sudah sampai pada point of no return(titik berpantang surut). Amat langka penulis yang bersedia berjibaku seperti tokoh kita ini.
Untuk pertanyaan Cattori, “Apa makna di belakang judul yang provokatif ini?,” Gilad memberikan jawaban, “ The Wandering Who? berupaya mencari sebuah pemahaman yang lebih mendalam tentang kultur Yahudi dan identitas politik Yahudi. Di situlah harus dipecahkan beberapa isu yang sebagian besar kita memilih untuk menghindar. Tiga tahun yang lalu sejarawan Israel Shlomo Sand telah menerbitkan karya terobosan penting tentang sejarah Yahudi. Dengan begitu ia telah membongkar cerita sejarah Yahudi yang sarat khayal.
Dalam karya ini, saya mencoba maju selangkah lagi dari pencarian Sand dan mengurai sikap orang Yahudi yang problematik terhadap sejarah, masa silam, dan kekinian pada umumnya. Lima tahun yang lalu, akademisi Amerika Mearsheimer dan Walt telah menerbitkan kajian penting tentang Lobi Yahudi di Amerika Serikat. Lagi saya coba mengisi celah hasil penelitian mereka di mana yang kurang. Saya berusaha menjelaskan mengapa pekerjaan lobi melekat dalam politik dan kultur Yahudi. Dalam The Wandering Who? saya mencoba menggoyang setiap persepsi umum tentang politik identitas Yahudi.”
Artinya, Gilad dengan keberaniannya yang luar biasa telah membongkar segala kepalsuan, kecurangan, dan kejahatan yang telah, sedang, dan akan dilakukan kaum Zionis demi mendemonstrasikan keangkuhan klaimnya sebagai manusia pilihan, unggul, dan tak tertundukkan. Jika The Israel Lobby telah menjadi buku terlaris oleh harian New York Times, karya Gilad ini mungkin akan melebihi itu sebab yang dibongkar adalah akar pokok Zionisme sebagai kanker peradaban yang telah berhasil mengelabui dunia selama lebih enam dasawarsa.
Dukungan yang semakin meluas terhadap The Wandering Who? pasti akan berekor panjang pada persepsi dunia terhadap Zionisme yang kini berlindung di bawah jubah Israel atau Israel di balik jubah Zionisme. Mungkin saatnya sudah mulai tiba di mana umat manusia tidak lagi mau menelan kicauan Israel yang mengaku sebagai satu-satunya negara demokrasi di Asia Barat dan Afrika Utara. Kepalsuan tidak mungkin bertahan selamanya. Ini adalah sebuah aksioma sejarah, di mana pun.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 25 Oktober 2011. Buya Ahmad Syafii Maarif (1935–2022) adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Krisis Gaza dan Boikot Israel
Indonesia dapat melakukan inisiatif strategis di sini, dengan katakan mendirikan central boycott office.
SELENGKAPNYAMenyangkal Mitos-Mitos Buatan Zionis
Banyak mitos propaganda Zionis masih beredar di masyarakat.
SELENGKAPNYAGeopolitik Perdamaian Palestina-Israel
Menjadi pertanyaan adalah apakah generasi pemimpin Israel saat ini mau belajar dari prinsip Shimon Peres?
SELENGKAPNYAMembedah Otak Para Pendukung Zionis Israel
Mari kita bedah otak atau jalan pikiran para pendukung Zionis Israel.
SELENGKAPNYA