
Resonansi
Membedah Otak Para Pendukung Zionis Israel
Mari kita bedah otak atau jalan pikiran para pendukung Zionis Israel.
Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI
Nestapa bangsa Palestina di Gaza sekarang ini tak bisa dilepaskan dari Deklarasi Balfour, yang pada 2 November 2023 lalu persis berusia 106 tahun. Deklarasi berupa janji Menlu Inggis Arthur Balfour kepada komunitas Yahudi waktu itu, dikenal dalam literatur politik dan sejarah sebagai janji ‘mereka yang tidak memiliki kepada mereka yang tidak berhak’.
Janji ini kemudian berujung pada pembentukan dan pendudukan negara Israel atas wilayah Palestina pada 1948. Janji ini pula yang jadi awal petaka berkepanjangan bangsa Palestina.
Deklarasi Balfour tercantum dalam sepucuk surat tertanggal 2 November 1917 dari Menlu Inggris, Arthur Balfour, kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk diberitahukan kepada Federasi Zionis Britania Raya dan Irlandia. Isinya, memberi dukungan dan segala fasilitas bagi pembentukan sebuah 'kediaman (negara) nasional untuk bangsa Yahudi di Palestina'. Waktu itu Palestina adalah bagian dari wilayah Kekhalifahan Utsmaniyah.
Pada Perang Dunia I, Kekhalifaah Utsmaniyah kalah. Wilayahnya yang luas, termasuk Arab, pun dibagi-bagi antara penjajah Inggris dan Prancis (Sekutu). Wilayah Palestina jatuh dalam kekuasaan penjajah Inggris.
Hal inilah yang kemudian mereka manfaatkan untuk memenuhi janji kepada komunitas Zionis. Sejak itu berlangsunglah gelombang migrasi warga Yahudi dari Eropa ke wilayah Palestina.
Hal inilah yang kemudian mereka manfaatkan untuk memenuhi janji kepada komunitas Zionis. Sejak itu berlangsunglah gelombang migrasi warga Yahudi dari Eropa ke wilayah Palestina.
Puncaknya ketika terjadi Holokaus, yakni pembunuhan sistematis (genosida) yang dilancarkan Nazi Jerman pimpinan Adolf Hitler terhadap sekitar 6 juta Yahudi Eropa selama Perang Dunia II. Warga Yahudi yang tersisa pun berbondong-bondong bermigrasi ke Palestina. Ada juga yang ke Amerika Serikat (AS), yang di kemudian hari membentuk gerakan Zionisme untuk mempengaruhi kebijakan penguasa di Gedung Putih.
Jadi, Israel itu sebenarnya negara Yahudi yang sengaja ditanam di jantung Arab, dengan mengusir penduduk asli Palestina. Lihatlah peta Timur Tengah, negara berpenduduk sekitar 7,5 juta jiwa itu benar-benar dikelilingi negara-negara Arab — Lebanon, Suriah, Yordania, dan Mesir. Juga dua wilayah yang menjadi Otoritas Nasional Palestina, Jalur Gaza, dan Tepi Barat.
Perlu dicatat, Otoritas Palestina hanya urusan administratif, yang mengendalikan kekuasaan (keamanan) tetap Israel. Dengan kata lain, seluruh wilayah Palestina kini telah diduduki (dijajah) negara Yahudi itu.
Karena itu, tak aneh bila Israel tampak asing di tengah dunia Arab. Bahasanya berbeda. Budayanya berlainan. Juga agama dan warna kulit. Israel lebih menyerupai Eropa daripada Arab. Pun hubungan dengan negara-negara Arab tetangganya selalu diwarnai ketegangan, jauh dari kata mesra. Apalagi sikap Zionis Israel yang ekspansionis.
Tak aneh bila Israel tampak asing di tengah dunia Arab. Bahasanya berbeda. Budayanya berlainan. Juga agama dan warna kulit. Israel lebih menyerupai Eropa daripada Arab.
Pada 1967, sejumlah wilayah Arab mereka caplok — Sinai (Mesir), Dataran Tinggi Golan (Suriah), Jalur Gaza dan Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur (Palestina). Hanya Sinai yang sudah dikembalikan ke Mesir.
Di wilayah-wilayah pendudukan itu kemudian mereka bangun tembok dan pagar besi yang kokoh sebagai pemisah, yang membuat warga Palestina seperti tinggal di penjara besar.
Di sisi tembok yang lain, Israel membangun ribuan permukiman Yahudi yang mewah, yang diperuntukkan bagi orang-orang Yahudi yang didatangkan dari berbagai belahan dunia. Sawsan Al-Abtah, pengamat politik Timur Tengah, menyebut para pemukim Yahudi tinggal bersebelahan dengan warga Palestina, tapi ogah hidup bersama mereka.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), berbagai permukiman Yahudi itu ilegal, lantaran dibangun di wilayah Palestina. Namun, Israel tak perduli. Mereka tetap cuek bebek seperti biasanya ketika menanggapi resolusi dan kecaman dunia internasional.
Berbagai permukiman Yahudi inilah yang menjadi sasaran serangan Badai al-Aqsa yang dilancarkan Hamas pada 7 Oktober lalu.
Lalu apakah Zionis Israel begitu superkuat, sehingga bisa bertingkah apa saja terhadap negara-negara tetangganya, terutama bangsa Palestina?
Tentu saja tidak. Kekuatan Negara Yahudi lantaran disokong penuh Barat -- Inggris, AS, dan Prancis. Dari sejak Deklarasi Balfour, lalu pembentukannya, hingga sekarang ketika Israel membumihanguskan Gaza.
Yang jadi persoalan, ketiga negara itu — AS, Inggris, dan Prancis — merupakan anggota tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Dua anggota tetap lainnya adalah Cina dan Rusia. Mereka mempunyai hak veto penuh terhadap setiap resolusi yang dirilis DK PBB.
Menurut data PBB, sejak 1972 AS telah memveto 53 resolusi DK PBB yang dianggap merugikan Zionis Israel. Termasuk resolusi terakhir yang menyerukan jeda perang agar bantuan kemanusiaan bisa masuk ke Gaza.
Menurut data PBB, sejak 1972 AS telah memveto 53 resolusi DK PBB yang dianggap merugikan Zionis Israel. Termasuk resolusi terakhir yang menyerukan jeda perang agar bantuan kemanusiaan bisa masuk ke Gaza.
Lalu bagaimana Barat bisa membabi-buta mendukung Israel?
Mari kita bedah otak atau jalan pikiran para pendukung negara Yahudi itu. Terkait dengan Inggris, tiga pakar negara itu memberi pandangannya dalam wawancara dengan media Aljazirah.
Menurut akademisi Inggris Chris Doyle, nestapa bangsa Palestina tidak bisa dilepaskan dari janji pemerintahnya. Janji itu dibuat, lanjut Direktur pusat penelitian Dewan Arab-Inggris di London ini, lantaran Menlu Arthur Balfour waktu itu tidak ingin orang Yahudi dari Eropa Timur datang ke Inggris. Keberadaan mereka dalam jumlah besar bisa menjadi masalah serius. Ia pun menganggap janji itu sebagai solusi.
Doyle menambahkan, Balfour sebenarnya anti-Semit alias anti-Yahudi. Ia tak ingin jumlah orang Yahudi di Inggris bertambah. Ia melihat orang-orang Yahudi mempunyai pengaruh yang semakin besar di Amerika, dan hal yang sama bisa terjadi juga di Inggris. Jadi, lanjut Doyle, menjanjikan kepada orang-orang Yahudi sebuah negara di luar Eropa adalah ide yang sepenuhnya anti-Semit.
Lalu mengapa harus Palestina yang dipilih untuk negara Yahudi?
Afaf Al-Jabri, kepala Program Studi Pascasarjana untuk Pengungsi di Universitas London, menjelaskan, dari sisi hukum Inggris sebagai negara kolonial sebenarnya tidak berhak menempatkan orang-orang Yahudi di Palestina.
Akan tetapi, dari strategi kolonial, Palestina adalah pilihan terbaik. Tujuannya, untuk membuat kawasan Arab terus bergolak, terus berkonflik, sehingga Barat tetap bisa ‘menjajah’, meskipun dalam bentuk lain.
Hal senada disampaikan aktivis hak asasi manusia dan ketua Kampanye Solidaritas Palestina di Inggris, Ibnu Jamal. Menurutnya, Deklarasi Balfour berlatar belakang kolonial Kerajaan Inggris. Yakni menjadikan gerakan Zionis sebagai sekutu potensial di jantung Arab, sekaligus tujuan anti-Semit tercapai dengan memaksa orang Yahudi keluar Inggris.
Bagaimana dengan AS? Dukungan negara adidaya itu mulai berlangsung saat Perang Dingin dengan Uni Soviet (1947-1991). Bagi AS, Timur Tengah adalah wilayah potensial sebab kaya minyak bumi dan gas. Dengan adanya Israel di jantung dunia Arab, maka Barat akan dengan gampang terus ‘menguasai’ kawasan Timur Tengah.
Pun dengan adanya Israel di jantung Arab, akan dengan sendirinya tercipta perlombaan senjata di antara negara-negara di Timur Tengah, buat menyaingi kekuatan militer Negara Yahudi itu. Apalagi bila terus diembuskan tentang bahaya Iran yang, mereka katakan, berupaya memperkuat militernya dengan senjata nuklir.
Dengan adanya Israel di jantung Arab, akan dengan sendirinya tercipta perlombaan senjata di antara negara-negara di Timur Tengah, buat menyaingi kekuatan militer Israel. Apalagi bila terus diembuskan tentang bahaya Iran yang, mereka katakan, berupaya memperkuat militernya dengan senjata nuklir.
Akhirnya, militer Iran dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas keamanan dan politik di kawasan. Maka, kawasan Timur Tengah pun menjadi pasar yang sangat besar buat berbagai persenjataan canggih produksi AS dan negara Barat lainnya.
Besarnya dukungan kepada Israel dibarengi fakta bahwa para warga Yahudi di Amerika adalah konstituen utama dalam kancah politik AS, baik bagi Partai Republik maupun Demokrat. Jadi, dengan mendukung Israel, sebetulnya para pejabat Washington juga mengamankan posisi politik mereka di dalam negeri. Suara kaum Yahudi adalah ceruk potensial yang bisa menjadi mesin pendulang suara saat pemilu.
Salah satu mesin politik bangsa Yahudi adalah American Israel Public Affaris Committee (AIPAC), organisasi kelompok lobi yang mengadvokasi kebijakan pro-Israel ke legislatif dan eksekutif Paman Sam. The New Yorker bahkan menyebut organisasi ini sebagai kelompok lobi terkuat di AS.
Karena itu, bukan hal aneh bila para calon presiden AS berlomba memperlihatkan dukungan yang besar kepada Israel, seperti ketika berlangsung debat lima calon presiden Partai Republik di Miami, Florida, 8 November lalu.
Bagi mereka, termasuk Presiden Joe Biden yang ingin mencalonkan sebagai presiden AS untuk periode kedua, masalah lain boleh berbeda, misalnya soal Cina, perang di Ukraina, dan sebagainya. Namun, kalau menyangkut Israel, pendapat mereka satu: dukungan penuh.
Adapun sikap Prancis, sebagai negara yang dulu berbagi wilayah jajahan dengan Inggris, juga sami mawon. Presiden Emmanuel Macron menyatakan dukungan penuh untuk Israel.
Macron berjanji akan melindungi seluruh warga Yahudi. Bentuk dukungan Prancis juga bisa terlihat ketika menteri dalam negerinya melarang rakyat Prancis berunjuk rasa pro-Palestina.
Ironisnya, Nazi Jerman yang dulu justru pernah melakukan pembunuhan massal atau genosida (Holokaus) terhadap jutaan warga Yahudi. Namun, yang harus menanggung derita justru bangsa Palestina, ketika jutaan warga Yahudi yang selamat bermigrasi ke wilayah mereka (Palestina).
Di luar tiga Anggota Tetap DK PBB, ada juga negara lain yang mendukung penuh tindakan Israel. Jerman misalnya.
Kanselir Jerman Olaf Scholz berkali-kali menyatakan serangan Israel ke Gaza adalah untuk membela diri. Ia juga menyebut gerakan perlawanan nasional Hamas sebagai teroris yang harus dibasmi.
Ironisnya, Nazi Jerman yang dulu justru pernah melakukan pembunuhan massal atau genosida (Holokaus) terhadap jutaan warga Yahudi. Namun, yang harus menanggung derita justru bangsa Palestina, ketika jutaan warga Yahudi yang selamat bermigrasi ke wilayah mereka (Palestina).
Menurut Profesor Kemal Inat, dosen di Universitas Sakarya Turki, dalam artikelnya di Anadolu Agency, Jerman tampaknya berupaya mengubur masa kelam Holokaus dengan berdiri di garis depan dalam mendukung Israel. "Mereka ingin mendorong dunia untuk melupakan Holokaus, sambil berteriak: Israel mempunyai hak untuk membela diri," tulis Prof Inat.
Selain beban masa lalu Holokaus, lanjut Kemal Inat, ada alasan lain yang melatarbelakangi dukungan tanpa syarat Jerman terhadap Israel, yaitu lobi Israel, pengaruh AS, dan koalisi partai yang memerintah Jerman sekarang ini.
Jadi, melindungi Israel sudah menjadi semacam ideologi politik luar negeri Jerman, terlepas dari kebiadaban Israel terhadap bangsa Palestina. Prof Inat menyebut, bangsa Palestina telah menjadi korban pemikiran gila atau keblinger orang-orang Barat.
Yang lebih aneh, ada saja orang per orang, termasuk di Indonesia, yang mengikuti jalan pikiran keblinger ini. Orang-orang semacam ini bisa dipastikan sudah bermental penjajah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Jokowi Desak OKI Tuntut Pertanggungjawaban Kejahatan Israel
Dunia justru seolah-olah tak berdaya menghentikan kekejaman Israel terhadap Palestina.
SELENGKAPNYATokoh NU-Muhammadiyah Dukung Perjuangan Hamas
Eksistensi Hamas justru menjadi sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Palestina
SELENGKAPNYAResolusi KTT Riyadh soal Palestina Hanya Macan Kertas?
Tak ada seruan boikot dan pemutusan hubungan diplomatik dalam resolusi KTT Arab-Islam.
SELENGKAPNYAHamas Masih Melawan, 160 Kendaraan Tempur Penjajah Hancur
Lima prajurit Israel tewas pada Sabtu.
SELENGKAPNYA