
Opini
Geopolitik Perdamaian Palestina-Israel
Menjadi pertanyaan adalah apakah generasi pemimpin Israel saat ini mau belajar dari prinsip Shimon Peres?
Oleh ALOYSIUS SELWAS TABORAT, Pemerhati Politik dan Hukum Internasional. Tulisan adalah pandangan pribadi
Shimon Peres tokoh nasional Israel pernah menyampaikan “… moral high ground is also a basis of power” dan “… you do not make peace with your friends”. Kurang lebih arti kedua ungkapan tersebut adalah moralitas yang adiluhung juga merupakan sumber kekuatan suatu bangsa dan bahwa ikhitiar menuju perdamaian tidak dilakukan bersama sekutu, melainkan dengan musuh.
Sikap politik tersebut tentu dibangun dari puluhan tahun pengalamannya terlibat asam garam politik Israel. Termasuk ketika mempertahankan Israel dari berbagai ancaman eksistensial negara-negara sekitarnya. Berbagai episode konflik bersenjata hingga babakan perdamaian Israel dengan negara tetangga yang ia ikuti, tentu melandasi keyakinan Shimon Peres atas prinsip-prinsip tersebut.
Menjadi pertanyaan adalah apakah generasi pemimpin Israel saat ini mau belajar dari prinsip Shimon Peres? Hingga kini, invasi darat Israel terus merangsek jauh ke Jalur Gaza. Layaknya tsunami kekerasan yang tidak terbendung dan menghantam apapun yang berada di jalurnya. Tidak terkecuali wanita dan anak-anak tidak bersalah. Hampir 11 (sebelas) ribu lebih orang telah terbunuh, termasuk lebih dari 4.500 (empat ribu lima ratus) anak-anak. Terlepas dari suku, agama, ras, dan golongan, perasaan keadilan masyarakat dunia tercabik dan moralitas mereka tergerak menyaksikan konflik di Gaza.
Pepatah klasik militer menyatakan “you may win the battle, but not the war”. Jika-pun Israel memenangkan pertempuran (battle) dengan Hamas, belum tentu Israel dapat memenangkan peperangan (war) untuk mencapai keamanan nasionalnya yang sejati. Karena kesejatian tersebut hanya dapat dicapai apabila Israel bersikap ksatria dengan menjawab dorongan moral dan pesan damai yang bergema di seluruh dunia saat ini.
Israel perlu melakukan negosiasi perdamaian dengan segenap kekuatan politik di Palestina, termasuk dengan Hamas. Tanpa hal tersebut, siklus kekerasan dan kekhawatiran akan terus menghantui Israel. Sejarah membuktikan bahwa perdamaian dengan Mesir (1979) dan Jordan (1994) masih turut menjamin stabilitas dan perdamaian relatif (relative peace) antara Israel dengan keduanya.
Shimon Peres-pun telah menunjukan laku atas prinsipnya tersebut, ketika ia dan Yitzhak Rabin menggalang kekuatan politik Israel untuk melakukan negosiasi langsung dengan Palestine Liberation Organization (PLO) pimpinan Yasser Arafat. Kebijakan tersebut bukan keputusan mudah dan populer karena PLO telah dicap sebagai organisasi teroris, bukan saja oleh Israel melainkan juga oleh Amerika Serikat, sekutu terbesar Israel. Terlebih, keputusan tersebut digagas pasca terjadinya Intifada I. Namun sejarah membuktikan bahwa sikap prinsipil Amerika dan Israel yang tidak akan ‘bernegosiasi dengan teroris’ ternyata dapat dibelokkan untuk memenuhi tujuan strategis perdamaian dengan Palestina.
Keputusan tersebut akhirnya menghasilkan Oslo Accords (1993). Walaupun kerap dinilai gagal, sumbangan terbesar Oslo Accords adalah terbentuknya Palestinian National Authority (Palestinian Authority) yang memberikan platform dan legitimasi politik bagi kekuatan nasional Palestina. Selain itu, untuk pertama kali-nya kedua negara melakukan negosiasi politik secara langsung. Dinamika yang kini terjadi antara faksi-faksi kekuatan di Palestina perlu dimaknai sebagai ikhtiar untuk terus mengkonsolidasikan segenap kekuatan nasional Palestina.
Jalur terjal skenario perdamaian Palestina-Israel pasca konflik Gaza dapat ditempuh dengan tetap memperhitungkan aspek geopolitik. Historisitas Timur Tengah menunjukan bahwa konflik dan perdamaian di kawasan tersebut sangatlah dipengaruhi oleh tatanan geopolitik kawasan dan global. Mulai dari runtuhnya Imperium Ottoman, dekolonisasi Asia dan Afrika, Pan-Arabisme, Perang Dingin, disolusi Uni Soviet, hingga bangkitnya kembali nasionalisme.
Tatanan geopolitik Timur Tengah dan global menunjukan bahwa keputusan maju-mundurnya atau hidup-matinya suatu negara-bangsa dipegang sepenuhnya oleh negara-bangsa tersebut. Tidak lagi semata-mata dipengaruhi oleh campur tangan mutlak kekuatan besar dunia (superpowers) sebagaimana dahulu terjadi ketika dunia dihadapkan pada perimbangan kekuatan (Balance of Power) antara Amerika dan Uni Soviet. Kecakapan di bidang industri ekstraktif, secara khusus telah meningkatkan kapasitas fiskal dan ekonomi negara-negara di kawasan Timur Tengah.
Disolusi Uni Soviet dan menurunnya intensitas pertarungan hegemoni di Timur Tengah turut mendongkrak kemandirian dan kepercayaan diri politik negara-negara di kawasan tersebut. Amerika-pun mulai meninggalkan Perang Global Melawan Terorisme dan tengah menata diri mengkonsentrasikan kekuatan nasionalnya dalam menyongsong percaturan politik kekuatan besar (Great Power Politics) di kawasan Indo-Pasifik.
Fenomena ini turut membangkitkan kembali nasionalisme negara-negara Arab. Namun tidak seperti ketika terbentuknya Liga Arab pada 1945 ataupun seperti Pan Arabisme Gamal Abdel Nasser. Identitas nasionalisme negara Arab saat ini bersifat lokal, yakni kepentingan nasional di atas segala-galanya. Buyarnya sekat-sekat identitas kolektif mulai terlihat ketika terjadinya Perang Teluk dan memuncak ketika beberapa negara Arab memutuskan untuk mengakui Israel.
Ahli strategi Imperium Amerika cepat menangkap perubahan zaman tersebut dan memberikan konsesi pada negara yang mengakui Israel. Contoh, tidak aneh bila Pemerintah Amerika mengakui Western Sahara sebagai milik Maroko ketika negara tersebut membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Situasi geopolitik inilah yang membayangi setiap ikhtiar perdamaian Palestina–Israel.
Profesor Juwono Sudarsono pernah menyatakan “… sudah menjadi hukum besi dalam politik internasional, suatu persetujuan yang dicapai di meja perundingan amat bergantung pada perimbangan kekuatan militer yang ada di lapangan”. Di Gaza, perimbangan militer kedua belah pihak sudah sangat kontras. Sejarah menunjukan bahwa kerap kali dalam skema perdamaian pasca konflik yang justru terjadi adalah Victor’s Peace atau perdamaian yang terms and conditions-nya (kesepakatannya) dipaksakan oleh pemenang perang. Seperti Amerika terhadap Jepang pasca Perang Dunia ke-II. Resiko ini harus dihindari dalam setiap ikhtiar perdamaian Palestina – Israel kedepannya.
Generasi pemimpin Israel saat ini harus kembali merenungkan pernyataan Shimon Peres di atas. Berkaca dari keputusan generasi pemimpin mereka terdahulu, pengalaman Israel justru memberikan tempat yang bermartabat bagi Mesir maupun Yordan yang akhirnya sepakat membangun hubungan dengan Israel. Terlepas dari fakta bahwa Mesir selalu memerangi Israel semenjak 1948, 1967, dan 1973.
Ikhtiar perdamaian antara Palestina dan Israel tidak lagi sepenuhnya ditentukan di Washington DC, Moskow, London, Paris, ataupun Beijing. Melainkan oleh segenap generasi pemimpin nasional Palestina dan Israel. Pemimpin Israel harus menjawab gema dorongan moral dan keadilan di berbagai belahan dunia. Karena moralitas juga merupakan sumber hakiki kekuatan suatu bangsa.
Sangat penting agar setiap upaya internasional saat ini tidak diarahkan untuk meruncingkan konflik yang tengah berkecamuk, melainkan mendorong kondisi yang kondusif bagi perdamaian Palestina dan Israel. Babakan kelam perlu diakhiri dengan babakan perdamaian. Siapapun yang hendak menjadi juru damai akan dihadapkan dengan realita geopolitik tersebut. Bukankah tertulis segera berdamailah dengan musuhmu sebelum teradili oleh hukum keadilan abadi yang mengakibatkan jatuh-bangunnya bangsa-bangsa.
Sudah saatnya Palestina memperoleh kemerdekaannya yang hakiki dan waktunya adalah kini bukan nanti.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Saat Negara Arab Tinggalkan Perjuangan Palestina
Banyak negara yang menormalisasi hubungan dengan Israel, termasuk Uni Emirat Arab dan Bahrain pada 2020.
SELENGKAPNYADari Washington Hingga Jakarta: 'Palestina Harus Merdeka!'
Palestina menjadi fokus utama pejuang keadilan di seluruh dunia.
SELENGKAPNYA