ILUSTRASI Aktivitas para intelektual di Bait al-Hikmah, Baghdad. Salah satu proyek terpenting yang ditaja para khalifah Abbasiyah di sana ialah penerjemahan teks-teks ilmu pengetahuan. | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Mengenal Sarjana Kristen Ahli Terjemah di Bait al-Hikmah

Terpilihnya Hunain bin Ishaq menunjukkan, khalifah Abbasiyah memberlakukan meritokrasi dalam mengangkat pejabat.

Era keemasan Kekhalifahan Abbasiyah berlangsung dalam masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) dan putranya, al-Ma'mun (813-833). Mewarisi semangat semangat progresif ayahnya, al-Ma'mun pun terus menjaga reputasi Baghdad. Kota itu dijadikannya bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, tetapi juga mercusuar peradaban dunia.

Jantung aktivitas intelektual di Baghdad ialah Bait al-Hikmah, sebuah lembaga yang tidak jauh berbeda dengan universitas dalam pengertian modern. Di sanalah, khalifah Abbasiyah mencurahkan perhatian dan dukungan untuk kemajuan dunia riset, penerjemahan, dan keilmuan.

Seperti ayahnya, al-Ma’mun berambisi mengukuhkan Bait al-Hikmah sebagai pusat keilmuan skala dunia. Untuk mewujudkannya, ia percaya, lembaga tersebut harus dipimpin seseorang yang bukan hanya kompeten, tetapi juga bervisi global. Pilihannya pun jatuh pada Hunain bin Ishaq al-Ibadi.

Keputusannya ini menunjukkan pandangan kosmopolitan yang melampaui sekat-sekat identitas agama. Pasalnya, Hunain bin Ishaq bukanlah seorang Muslim, melainkan pemeluk Kristen mazhab Nestorian yang taat. Hal itu pun mencerminkan, pertimbangan al-Ma’mun dalam mengangkat seorang pejabat di Abbasiyah adalah meritokrasi.

Hunain bin Ishaq lahir di daerah Kufah—yang pada masanya disebut sebagai Kota al-Hirah—pada 809 M. Keluarganya merupakan bagian dari komunitas Arab Kristen, al-Ibad, yang telah lama tinggal di daerah setempat. Begitu Irak menjadi wilayah kekuasaan daulah Islam, mereka tetap menjalankan sistem sosial dan keagamaannya tanpa terusik penguasa baru.

photo
Hunain bin Ishaq. - (DOK WIKIPEDIA)

Ungkapan “buah jatuh tak jauh dari pohon asal” barangkali tepat menggambarkan sosok Hunain. Ayahnya merupakan seorang ahli farmasi. Hampir selalu kesehariannya diisi dengan membaca buku, meracik obat-obatan, dan menghadiri diskusi ilmiah. Meniru bapaknya, Hunain muda pun menguasai banyak bahasa, termasuk bahasa Suryani atau Suriah Kuno (Syiriac).

Oleh bapaknya, ia lalu dikirim ke Baghdad untuk menimba ilmu di sebuah sekolah kedokteran. Waktu itu, bakatnya yang cemerlang sudah menarik perhatian seorang dokter kenamaan, Yuhanna bin Masawaih. Sama seperti dirinya, tabib yang mempunyai nama Latin Janus Damascenus itu juga beragama Kristen Nestoria.

Pada awal masa kekuasaan al-Ma’mun, Ibnu Masawaih merupakan direktur sebuah rumah sakit besar di Baghdad. Institusi itu merupakan bagian integral dari Sekolah Kedokteran Baghdad. Maka, dokter istana Abbasiyah ini tidak hanya mengurus pasien, tetapi juga mengajar di sekolah yang prestise di sana.

Hubungan Hunain muda dengan Ibnu Masawaih tak selalu mulus. Tidak jarang, ia terlibat dalam perdebatan yang sengit dengan gurunya itu. Dokter yang pernah belajar di Akademi Gundeshapur acap kali menilai, sang murid terlalu banyak bertanya. Puncaknya, Hunain kemudian diusir dari Sekolah Kedokteran Baghdad.

Sempat depresi, Hunain kemudian pergi dari Baghdad. Tujuannya adalah Yunani. Pada waktu itu, dunia mengenal kawasan tersebut sebagai tempat lahirnya ilmu medis. Hippocrates, Rufus Ephesus, Dioscorides, dan Galen adalah segelintir nama-nama besar dalam bidang pengobatan, yakni dalam era kejayaan Yunani Kuno--beberapa ratus tahun sebelum dan sesudah Masehi.

Dalam perjalanannya ke Yunani, Hunain juga singgah di sejumlah kota-tua Bizantium. Para ilmuwan yang tinggal di daerah-daerah tersebut masih mengikuti tradisi intelektual Romawi-Yunani. Ia sempat pula menyambangi Alexandria (Iskandariah) untuk menelaah teks-teks keilmuan.

Di Yunani, Hunain menetap selama dua tahun. Dalam masa itu, ia mempertajam kemampuannya dalam berbahasa Yunani dan Latin. Ia merasa, ada perbedaan signifikan ketika belajar langsung di negeri tempat lahirnya bahasa itu. Pada waktu itulah, kepekaannya juga terasah dalam melakukan penerjemahan.

Sesudah merasa cukup, Hunain pun kembali ke Irak. Sebelum tiba di Baghdad, ia singgah di Basrah untuk mengikuti sekolah linguistik Arab yang digelar Khalil bin Ahmad al-Farahidi. Fase ini terbukti penting dalam menunjang kariernya kelak di Bait al-Hikmah.

Tiba di Baghdad

Hunain bin Ishaq sampai di Baghdad--kota yang dahulu ditinggalkannya--pada 826 M. Pemuda 17 tahun itu lalu kembali berjumpa dengan mantan gurunya, Ibnu Masawaih. Kepadanya, remaja tersebut menunjukkan sejumlah manuskrip yang selama ini menjadi “teman” setia perjalanannya. Mayoritas catatan-catatan itu berisi terjemahan yang dilakukan Hunain sendiri atas berbagai teks ilmu medis yang berbahasa Yunani dan Latin.

Ibnu Masawaih sangat terkejut saat membaca hasil kerja mantan muridnya ini. Teks-teks terjemahan itu dipujinya karena berkualitas amat baik. Bahkan, beberapa karya terjemahan Hunain kemudian dipakainya karena berguna bagi riset-riset yang sedang dilakukannya di Sekolah Kedokteran Baghdad.

Sejak saat itu, nama Hunain menjadi tersohor sebagai penerjemah ulung. Popularitas pemuda Kristen ini lalu sampai ke telinga Jabril bin Bukhtishu. Sama seperti Ibnu Masawaih, Jabril merupakan seorang ahli medis dengan reputasi besar di Baghdad dan bahkan pernah menjadi dokter pribadi sultan Harun al-Rasyid.

 
Dengan takzim, ilmuwan yang dekat dengan kalangan istana Abbasiyah itu memanggilnya (Hunain bin Ishaq) sebagai “guru kami.”

Jabril terkesima dengan kemampuan Hunain dalam mengalihbahasakan teks-teks Latin dan Yunani. Dengan takzim, ilmuwan yang dekat dengan kalangan istana Abbasiyah itu memanggilnya sebagai “guru kami.”

Beberapa hari kemudian, sekelompok dokter memprotes sebutan "guru kami" untuk Hunain. Bagi mereka, pujian Jabril sudah keterlaluan. Sebaliknya, Jabril bersikukuh, pemuda tersebut memang pantas akan julukan itu karena terbukti brilian dalam menerjemahkan teks asing. Bahkan, kualitas terjemahannya dipandang lebih bagus daripada buatan dokter sekaliber Sergius al-Reshaina.

Sergius, seorang dokter yang juga pendeta di Baghdad, pernah mengumumkan hasil terjemahannya atas kitab karya dokter Yunani Kuno, Aelius Galenus (129-210 M). Namun, kebanyakan pembaca justru bingung dengan pemilihan diksi yang dilakukan Sergius untuk menerjemahkan sejumlah kata bahasa Syiriac.

Hunain lalu ditantang para dokter ini untuk menerjemahkan teks yang sama dari Galenus. Produk terjemahannya ternyata berkualitas lebih baik daripada yang dikerjakan Sergius. Maka, makin berkibarlah reputasi anak muda Kristen ini.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ibnu al-Nafis Meluruskan Teori Galenus

Al-Nafis menyimpulkan, darah di dalam bilik kanan jantung mengalir ke bilik kiri melalui paru-paru, bukan via lubang kecil seperti diduga Galenus.

SELENGKAPNYA

Biografi Ibnu al-Nafis, Sang Bapak Fisiologi Sirkulasi

Ia hidup 350 tahun sebelum William Harvey, ilmuwan yang sering diklaim Barat sebagai penemu teori sirkulasi paru-paru dan jantung.

SELENGKAPNYA

Langkah Cermat Sebelum Menjual Ponsel Kita

Simpan semua bukti transaksi jual beli gawai bekas dan beragam data penting yang terkait.

SELENGKAPNYA