Puluhan massa yang terdiri dari remaja dan aktivis lingkungan mengangkat poster pada aksi Global Climate Strike 2023, di Taman Cikapayang, Jalan Ir H Djuanda, Kota Bandung, Ahad (17/9/2023). Aksi tersebut sebagai upaya mengajak masyarakat untuk perduli te | Edi Yusuf/Republika

Sains

Harmonisasi Teknologi dan Kearifan Lokal Atasi Krisis Air

Kerugian ekonomi dunia dari kejadian ekstrem cuaca, iklim, dan air terbukti meningkat pesat.

Perpaduan teknologi dan kearifan lokal (local wisdom) menjadi jurus ampuh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk mengatasi kesenjangan kapasitas negara dalam mengatasi krisis air akibat perubahan iklim. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.

Menurut dia, saat ini terjadi kesenjangan yang lebar antarnegara maju dengan negara berkembang, negara kepulauan, dan negara miskin dalam hal kapasitas sosial-ekonomi dan teknologi. Hal ini sangat berpengaruh dalam mewujudkan ketangguhan bangsa-bangsa di negara tersebut.

Kesenjangan ini berimbas pula pada ketangguhan suatu negara dalam beradaptasi dan memitigasi dampak perubahan iklim, terutama terkait dampak terhadap ketersediaan air, pangan, dan energi. Melalui siaran pers yang ada di laman resmi BMKG, yang ditulis Republika, Selasa (17/10/2023), Dwikorita dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, Senin (16/10/2023) menyebut, Indonesia sendiri relatif memiliki kemampuan teknologi yang cukup baik.

Ditambah berbagai kearifan lokal budaya masyarakat yang dapat menutup kesenjangan tersebut. Dia mengatakan, berdasarkan laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), 60 persen kerugian bencana di negara maju akibat perubahan iklim.

Namun, dampak terhadap produk domestik bruto (PDB) negara tersebut hanya sekitar 0,1 persen. Lain halnya dengan negara berkembang, dia melanjutkan, di mana tujuh persen dari bencana bisa menyebabkan hantaman kuat hingga lima sampai 30 persen terhadap PDB mereka.

Sementara bagi negara kepulauan, 20 persen dari bencana dapat berakibat kerugian 50 persen bagi PDB mereka. Bagi beberapa negara, Dwikorita menambahkan, bahkan bisa mengakibatkan kerugian hingga 100 persen PDB.

Situasi ini, kata dia, akan semakin memperparah kesenjangan ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan dan ketangguhan masyarakat dalam beradaptasi dan memitigasi perubahan iklim. Berdasarkan data WMO, kerugian ekonomi dunia dari kejadian ekstrem cuaca, iklim, dan air terbukti meningkat pesat.

photo
Warga mengecek kondisi air dalam sumur di Pedukuhan Klegung, Patuk, Gunungkidul, Yogyakarta, Selasa (3/10/2023). Kemarau panjang pada tahun ini terasa bagi warga Klegung, sumur sumber air bersih turun drastis debitnya dan tidak bisa lagi dipompa keluar. Warga harus menunggu hingga airnya naik dan ditimba secara manual. Sumur bor yang ada di sini belum bisa dipergunakan karena masih dalam proses perbaikan. Kemarau di Gunungkidul membuat krisis air bersih yang berdampak pada 118 ribu jiwa di 16 kecamatan. BPBD Gunungkidul juga memperpanjang status siaga darurat kekeringan hingga 30 November 2023. - (Republika/Wihdan Hidayat)

Selama periode 2010-2019, kerugiannya mencapai 1.476,2 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Angka tersebut melonjak signifikan dibandingkan dengan dekade 2000-2009 yang tercatat sebesar 997,9 miliar dolar AS. Sementara dalam kurun waktu 1990-1999, kerugian yang terjadi berkisar 906,4 miliar dolar AS dan dekade 1980-1989 hanya sebesar 305,5 miliar dolar AS.

“Negara-negara maju mungkin menganggap persoalan ini adalah persoalan sepele, tapi bagi negara berkembang, kepulauan, dan miskin persoalan ini dampaknya bisa sangat parah ke mana-mana karena ketidakberdayaan mereka,” ujar Dwikorita.

Optimalisasi Teknologi 

photo
Petugas Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menunjukkan lokasi penyemaian garam ke awan dalam operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC) yang menggunakan pesawat CN 295 di sekitar wilayah perairan Selat Sunda, Jumat (3/1/2020). Operasi tersebut bertujuan untuk mengurangi curah hujan di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek) sebagai upaya penanggulangan banjir. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/pd - (Aprillio Akbar/ANTARA FOTO)

Dia menegaskan, kepemilikan teknologi yang mumpuni dapat meminimalisasi risiko bencana akibat perubahan iklim yang dihadapi. Dwikorita memberikan contoh, yaitu bagaimana BMKG berperan sebagai penyedia informasi serta data cuaca dan iklim.

Melalui data dan informasi tersebut, daerah-daerah bisa melakukan berbagai langkah pencegahan, mitigasi, ataupun pengurangan risiko bencana, sebelum bencana terjadi. Maka dari itu, dia menegaskan bahwa World Water Forum (WWF) yang akan dilangsungkan di Bali pada 18-24 Mei 2024 dapat menjadi momentum kolaborasi dalam upaya untuk menutup kesenjangan antarbangsa.

Termasuk untuk lebih dini dalam mengantisipasi krisis iklim dan krisis air, baik secara global ataupun regional dan lokal. Menurut Dwikorita, untuk mengantisipasi krisis air yang akan terjadi, butuh keterlibatan berbagai pihak, di antaranya pihak pemerintah, akademisi/ilmuwan, swasta, masyarakat, dan media.

photo
Sejumlah warga melindungi badannya dari air hujan dikawasan Monas, Jakarta, Jumat (10/1). Menurut Kepala Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca dari Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) beserta BMKG memprediksi akan terjadi intensitas hujan lebat di Jakarta disertai petir dan angin kencang pada 11 Januari 2020 dengan hujan rata-rata 50 hingga 100 mm dan berpotensi genangan air hingga banjir di beberapa titik. - (Thoudy Badai_Republika)

Selain itu, Dwikorita juga menerangkan bahwa WWF menjadi satu-satunya forum air global terbesar di dunia yang membahas isu air global melalui tiga proses yang terintegrasi, yaitu proses tematik (berbasis sains), proses regional (yang memperhatikan berbagai faktor atau keunikan lokal dan regional), serta proses politik yang sangat penting dalam mewujudkan kebijakan publik yang mengikat secara hukum.

WWF mengeksplorasi enam proses tematik penting, yakni water security and prosperity, water for human and nature, disaster risk reduction and management, governance, cooperation, and hydro-diplomacy, sustainable water finance, dan knowledge and innovation.

Pada proses regional nantinya akan membahas mengenai pengelolaan air berdasarkan kebutuhan kawasan yang meliputi kawasan Mediterania, Asia Pasifik, Afrika, dan Amerika. Sedangkan, pada proses politik akan berdiskusi mengenai permasalahan air global dengan para pemimpin dari berbagai level mulai dari kepala negara, menteri, anggota parlemen, otoritas wilayah sungai, hingga otoritas lokal.

Dwikorita menyampaikan harapannya, dalam forum WWF nanti, Indonesia dapat mendorong peningkatan kesetaraan, keadilan antarseluruh negara di dunia dalam menghadapi krisis akibat perubahan iklim. Salah satunya adalah melalui kolaborasi penguatan kapasitas berbasis sains dan teknologi yang terintegrasi dengan kearifan lokal. 

 

 
Teknologi yang mumpuni dapat meminimalisasi risiko bencana akibat perubahan iklim yang dihadapi.
 
DWIKORITA KARNAWATI, Kepala BMKG. 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Musim Penghujan di Jabodetabek Datang Terlambat

Jabodetabek akan memasuki musim hujan pada periode pertengahan hingga akhir November.

SELENGKAPNYA

Modifikasi Cuaca, Bukan Membuat Hujan

Meski orang mengenal dengan hujan buatan, tetapi BRIN tidak bisa membuat hujan.

SELENGKAPNYA

Kapan Musim Hujan Tiba di Jabodetabek? Jangan Lupa Bawa Payung 

BMKG juga mengimbau agar masyarakat lebih siap dan antisipatif terhadap bencana hidrometeorologi.

SELENGKAPNYA