Sehat | Republika

Sehat

Mencegah Infeksi pada Luka Operasi

Tindakan pencegahan infeksi luka operasi adalah dengan mempersiapkan kulit pasien agar terbebas dari kuman.

Beberapa penyakit membu tuhkan tindakan berupa operasi, baik dalam pembedahan mayor (operasi besar)
mau pun minor (operasi kecil). Dengan perkembangan teknologi yang ada, para dokter bedah menggunakan tindakan operasi dengan sayatan yang minimal (minimal invasive).

Meski begitu, beberapa kasus masih tetap membutuhkan sayatan yang cukup besar, seperti operasi bypass jantung dan sejenisnya.

Tindakan operasi seperti itu tentunya mengandung risiko yang perlu diantisipasi oleh para dokter spesialis bedah. Selain masalah teknis tindakannya sendiri, juga perlu diperhatikan soal dampak lainnya akibat sayatan dan luka operasi, yaitu infeksi.

Kasus yang dapat muncul pascaoperasi adalah infeksi pada luka operasi atau Surgical Site Infection(SSI).

Karena itu, luka operasi perlu dirawat dengan baik untuk mencegah masuknya bakteri atau kuman yang mengakibatkan infeksi pada luka operasi.

Tak sedikit kasus akibat infeksi pada luka operasi ini terjadi dan berisiko terhadap hasil operasi itu sendiri. Tak jarang infeksi ini cukup fatal dan berisiko terhadap jiwa pasien.

photo


SSI memang menjadi masalah ter sendiri dalam prosedur penyembuh an pasien pascaoperasi. Sebenarnya definisi kasus SSI atau ILO ini mulai pertama kali dikenalkan pada 1964. Sementara itu, gerakan SSI (infeksi luka operasiILO) di Indonesia baru dimulai sejak tahun 2017 oleh Per kumpulan Pengendalian Infeksi In donesia (Perdalin). Mereka bertuju an memantau dan mengontrol SSI.

Perhatian soal pengontrolan SSI memang perlu menjadi pengetahuan yang harus dipahami dan dikuasai oleh para pekerja kesehatan dan rumah sakit. Menurut Country Leader of Communication and Public Affairs Johnson & Johnson Devy Yheanne, kelompok ILO dan perusahaannya bergerak memberikan informasi terkait SSI ini.

Kami berharap, edukasi yang telah kami lakukan secara ber ke lanjutan terkait pence gahan SSI dapat dilakukan secara merata di Indonesia dan memberikan pemahaman lebih mendalam terkait pencegahan SSI terhadap ma syarakat umum maupun tenaga ke sehatan, jelasnya, di RS Fatmawati, Jakarta, belum lama ini.

Kasus-kasus SSI di Indonesia, kata dia, memang memprihatinkan.

Terlebih lagi, tenaga kesehatan pun belum memahaminya dengan baik, apalagi masyarakat luas. Dengan peha maman yang baik, diharapkannya SSI di Indonesia dapat menurun kasusnya.

Salah seorang pendiri dan mantan Presiden SSI di Eropa, serta Ketua dari NICE Guideline Development Group of SSI Prof David John Leaper DSc MD ChM FRCS FACS FLS mengatakan, semua pihak perlu memahami SSI ini dan mengetahui cara pencegahannya. "SSI ini masalah serius dan tidak boleh dianggap enteng," ujarnya.

SSI merupakan infeksi akibat masuknya bakteri atau kuman pada sayatan operasi. Luka seperti ini ada tiga, yaitu Superficial(permukaan), Deep(Dalam), dan Organ Space (Ruang Organ). Infeksi yang terjadi pada SSI kebanyakan disebabkan oleh bakteri, seperti infeksi bakteri oleh Extended Spectrum Beta-Lactamase(ESBls) dan Carbapenemase-Producing Enterobacteriaceae (CPEs) yang dapat menyebabkan infeksi saluran kencing (urinary tract infections).

Dampak dari SSI ini dapat berujung pada banyak masalah. Menurut Leaper, masalahnya dimulai dari yang dialami pasien sendiri, seperti komplikasi, penyakit lanjutan, dan bahkan kematian. Kalau kena SSI, itu merupakan berita yang sangat buruk dan masalah yang cukup panjang dialami oleh pasien.

Ada aspek lainnya dari dampak SSI yang dirasakan, yaitu ekonomi pasien dan juga rumah sakit. Di Eropa, kata dia, pengobatan SSI dapat menelan dana 2.000 sampai 4.000 euro (sekitar 30 juta rupiah) untuk sekali pengobatan.

"Biaya ini juga banyak merugikan pihak rumah sakit karena kebutuhan obat-obatan dan peralatan. Jika rumah sakit dapat mengurangi terjadinya SSI, bisa ditekan pengeluarannya hingga 30 persen dan dananya dapat untuk kebutuhan medis lainnya," ujar dia.

Mulainya SSI
Masuknya bakteri pada luka operasi dimulai saat tindakan itu berlangsung atau bahkan sebelum nya.

Karena itu, berbagai upaya untuk mencegah keberadaan bakteri sebelum operasi tergolong tindakan yang penting.

Dalam proses operasi dapat terjadi empat hal yang terkait dengan SSI, yaitu Clean(bersih), Clean Contamination(Kontaminasi Bersih), Contaminated(Terkontaminasi), dan Dirty(Kotor). Menurut Leaper, kemungkinan terjadinya SSI ada pada operasi dalam keempat bentuk tadi. Kontaminasi yang terjadi dapat berasal dari keadaan ruang operasi, peralatan yang digunakan, bahkan dari pasien sendiri.

Langkah seperti hair removal (menghilangkan bulu tubuh) dapat mengurangi kemungkinan kontaminasi. Rambut dan kulit di tubuh juga membawa banyak bakteri, jelas dia soal sumber kontaminasi dari pasien.

photo


Langkah hair removaljuga perlu dilakukan dengan perhatian yang berkala. Menghilangkan bulu badan dengan alat cukur juga lebih meningkatkan persentase masuknya kontaminasi. Ini mungkin terjadi luka dari alat cukur yang digunakan.

Selain itu, dia juga menjelaskan, keadaan pasien harus sesuai pada suhu normal untuk menghindari pen darahan berlebih dan kontaminasi lainnya. Suhu tubuh yang rendah memungkinkan bakteri ada dan membuat kontaminasi dapat terjadi.

Sehingga, lebih baik suhu tubuh pasien adalah suhu normal, jawabnya, sambil memberikan gambaran pada kemungkinan-kemungkinan yang ada pada proses operasi.

Dia juga memperkenalkan alat yang digunakan dalam ruang operasi yang berfungsi untuk menaikkan suhu tubuh pasien. Alat ini disebut juga dengan nama Bear-Hugger atau pelukan beruang. Alat tersebut berbentuk tabung yang menutupi pasien dan mirip dengan tabung-tabung yang digunakan untuk sauna.

Selain alat tersebut, Leaper juga sangat menyarankan ruang operasi yang bersih dan dingin sesuai dengan panduan dari Global Guidelines for the Prevention of Surgical Infection yang dikeluarkan oleh World Health Orga nization (WHO) pada November 2016. Panduan ini terdiri atas 29 jenis rekomendasi yang meliputi 23 topik pencegahan SSI sebelum, selama, dan setelah operasi.

Indonesia juga sudah berkem bang dalam menangani SSI sendiri. Pencegah an dan pengendalian infeksi diatur dalam Peraturan Menteri Ke se hatan (Permenkes) Nomor 27 Ta hun 2017.

Salah satau isinya adalah merekomendasikan surgical bundlesebagai pedoman untuk dikerjakan di setiap prosedur pembedahan yang harus dipertimbangkan oleh tenaga kesehatan.

Dalam hal ini, Leaper menegaskan, salah satau cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan risiko SSI adalah berpanduan pada WHO dan NICE. Salah satunya adalah dengan mempersiapkan kulit pasien sebelum melakukan prosedur operasi pada lokasi bedah. Persiapannya adalah dengan menggunakan preparat alkohol yang mengandung klorheksidin.

"Guidelineyang sama juga mereko mendasikan untuk menggu nakan benang antimikroba yang dilapisi oleh triclosan antiseptic. Sudah ada bukti Level 1 A bahwa benang antimi kro ba secara signifikan dapat mengurangi risiko SSI, ujar Leaper. (widyadhana mufida ed: dewi mardiani)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat