
Tokoh
Duski Samad, Sang Ketua Masyumi Sumatra Tengah
Duski melenggang ke kursi Konstituante sebagai bagian dari hasil Pemilu 1955.
Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN, periset dan pengajar sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne Australia
Duski Samad – namanya tiba-tiba mencuat pasca Pemilu 1955. Ia terpilih sebagai satu dari sekian anggota Konstituante dari Fraksi Masyumi –hasil pesta demokrasi pertama di Indonesia tersebut. Apakah namanya hanya terpelanting di pentas nasional di masa kemerdekaan saja?
Bila ditelisik lebih jauh, kiprahnya di dunia pergerakan bisa telusuri di masa Hindia Belanda. Ia adalah adik kandung dari Ketua Pengurus Besar (PB) Muhammadiyah Ahmad Rasjid gelar Sutan Mansur–atau dalam literasi sejarah sering dikenang dengan sebutan Buya Sutan Mansur.
Putra Maninjau dan Pengajar di Sumatra Thawalib
Duski Samad – demikian nama lengkapnya. Ia terlahir 23 Agustus 1905 di tepian Danau Maninjau Afdeling Oud Agam (Arsip Konstituante no. 287, 1957: 123). Duski adalah anak dari pasangan Syekh Abdul Samad Al-Kisai–seorang mufti Tarekat Naqsyabandiyah. Ibunya bernama Siti Abbasiyah–atau dalam ingatan orang Maninjau dikenang dengan nama Uncu Aua.
Duski adalah anak ke-4 dari enam orang bersaudara, masing-masing Ahmad Rasjid gelar Sutan Mansur, Abdul Wahab Samad, Abdul Azis Samad, Abdurrazaq Samad, dan Fatimah Samad (Departemen Sosial, 1986: 2). Narasi pendidikannya dimulai dari Tweede Klass School–atau sekolah kelas dua Maninjau pada 1913. Setamat dari sekolah rendahan yang memakai bahasa daerah sebagai pengantar proses pembelajaran, Duski pun melanjutkan pendidikan ke Sumatra Thawalib Padang Panjang (Arsip Konstituante no. 287, 1957: 123). Ia memasuki Thawalib ketika pengaruh Kuminih tengah menguat di sekolah rintisan dari Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul).
Mengapa tiba-tiba ia memilih Thawalib? Tentu menarik untuk disimak. Kakak tertuanya Sutan Mansur merupakan murid terbaik dari Haji Rasul di Surau Jembatan Besi Padang Panjang. Pasca berdirinya Thawalib pada 1918, Haji Rasul merekrut kakaknya itu sebagai tenaga pengajar di sekolah tersebut. Diduga kuat, pilihan Duski tentu dipengaruhi oleh Sutan Mansur–yang kemudian menikahi anak Haji Rasul, Fatimah Amrullah.
Dalam beberapa catatan arsip dan surat kabar di masa Kolonial Belanda, menunjukkan keterlibatannya dalam gerakan propagandis Kuminih – pasca ditangkapnya Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin. Duski pernah menjadi bagian dari gerakannya Haji Muh Nur Ibrahim – yang menggantikan posisi Haji Datuk Batuah selaku leader Sarekat Rakyat dan Pemrednya Pemandangan Islam. Sinyalemen ini pun dikuatkan oleh Hamka (1984), meskipun ia mengungkap bahwa Duski sedikit Kuminih dalam karyanya.
Pasca kegagalan peristiwa Silungkang 1927, Duski Samad pun segera disadarkan oleh saudara tuanya, yakni A.R Sutan Mansur. Tidak hanya Duski, kawannya yang pernah bergerak di Kuminih pun disadarkan oleh iparnya Hamka tersebut, di antaranya Abdullah Kamil, Zain Djambek, A Malik Siddik, dan Hitam Sutan Mudo (iparnya Hamka/adik Siti Raham). Oleh Sutan Mansur, Duski pun segera direkrut dan aktif dalam barisan Muhammadiyah Cabang Padang Panjang (Sufyan, 2022).
Menikahi Rasuna Said dan Menghidupi PERMI
Setahun pasca aktif di Muhammadiyah, Duski melayangkan lamarannya untuk mengajar di Sumatra Thawalib. Sebelum meletusnya peristiwa Silungkang, selaku alumnus Duski pernah terlibat aktif menjadi guru bantu agama di Thawalib. Pasca 1927, ia kembali diterima oleh engku mudo Abdul Hamid Hakim. Jadi, maka jadilah sampai tahun 1930, putra kelahiran Maninjau itu mulai mengajar di Thawalib (Arsip Konstituante no. 287, 1957: 123).
Setahun setelah menjadi guru, nasib pun mempertemukan dirinya dengan seorang perempuan cerdas asal Maninjau bernama Rasuna Said. Duski masih berusia 24 tahun – seorang guru muda di Thawalib dan Rasuna berusia 19 tahun – seorang eks guru di Madrasatu lil Banaat (kini: Diniyah Putri Padang Panjang). Cinta yang bersemi pun berlanjut ke jenjang rumah tangga. Meskipun sempat terkendala karena keluarga Rasuna memandang Duski, bukanlah jodoh yang sepadan untuknya.
Duski memang cerdas dan terpandang sebagai guru Thawalib dan aktivis Muhammadiyah, namun ia miskin. Berbanding terbalik dengan kondisi keluarga Rasuna yang kaya. Namun, Rasuna tetap bersikeras menikah dengan Duski. Ia berontak dengan tradisi di Maninjau dan keluarganya yang menolak pilihannya. Jadi, maka jadilah. Pernikahan mereka digelar dengan amat sederhana di tepian Danau Maninjau (Burhanuddin, 2022).
Duski dan Rasuna makin bersemai namanya, tatkala Persatuan Muslimin Indonesia berdiri di Thawalib pada 1930. Bermula berakronim PMI, setahun kemudian dalam Kongres kedua pada 9-10 Maret 1931 di Padang Panjang, berubah menjadi PERMI. Dalam putusannya PERMI menegaskan sebagai partai yang nonkooperatif terhadap Kolonial Belanda. Posisi ketua didapuk oleh Haji Djalaluddin Thaib.
Hasil dari Konferensi II yang patut dicatat adalah hak otonom diberikan pada perempuan yang bergerak di PERMI. Mereka dikukuhkan dengan nama PERMI Puteri –diketuai oleh istri Duski Samad, yakni Rasuna Said. Selanjutnya lini PEMI Putri turut diisi oleh Ratna Sari (Wakil Ketua), serta dibantu oleh Fatimah Hatta, Chasjiah, dan Tinur M Nur (ibu Taufiq Ismail). Sedangkan Rasimah Ismail (etek Taufiq Ismail) ditunjuk untuk memimpin PERMI Puteri di gemeente Padang (Datuk Palimo Kayo, 1980).
Posisi dari Duski masa itu adalah anggota PERMI dari periode 1930 sampai dibubarkannya partai lokal Sumatra Westkust yang mengusung warna Islam dan Kebangsaan oleh pemerintah Kolonial Belanda pada 1935 (Noer, 1996). Meskipun PERMI telah dibubarkan, Duski tetap berkiprah dalam dunia dakwah. Dedikasinya tercatat pada 1935-1945 sebagai pendakwah dalam organisasi Mubaligh Islam.
Kisah rumah tangga Duski – Rasuna tetap bersemi sampai di akhir pendudukan Jepang. Kedua telah dikaruniai sepasang anak. Yang tertua bernama Darwin dan Auda adalah si bungsunya Duski Samad (Burhanuddin, 2022). Memasuki masa awal kemerdekaan keduanya pun sibuk dan larut dalam aktivitasnya masing-masing.
Terdepan di Hizbullah dan Mengetuai Masyumi Sumatra Tengah
Awal kemerdekaan Indonesia, ditandai saat Proklamasi dibacakan oleh Bung Karno, yang didampingi oleh sahabatnya Bung Hatta. Di Sumatra Barat, beritanya segera tersebar dengan cepat. Sebuah resolusi jihad–kemudian digaungkan oleh kakak kandungnya Duski, Sutan Mansur.
Di depan peserta Hizbul Wathan–yang mengikuti Algemene Kennis selama seminggu lebih, pada 19 Agustus 1945 ipar Hamka ini menyerukan, “Bentuk barisan untuk perang, perang dan perang! Proklamasi menghendaki perjuangan secara gigih. Sebentar lagi Belanda tentu akan datang membonceng dengan tentara Sekutu-Baratnya. Belanda akan merebut kembali tanah air, kecintaan bangsa Indonesia ini.” (Sufyan dalam Republika tanggal 8 September 2022).Untuk di Sumatra Barat, pembentukan barisan perjuangan, telah dimulai sejak lahirnya Hizbullah pada 1 Oktober 1945.
Pimpinan Muhammadiyah Perwakilan Sumatra, A.R Sutan Mansur, Hamka, Malik Ahmad, Zainoel Abidin Sjoeaib dan lainnya–mengumpulkan para pemuda yang tergabung dalam Pemuda Muhammadiyah dan Hizbul Wathan yang dikomandoi Samsuddin Ahmad, untuk menjelaskan tujuan pembentukan Hizbullah–sebagai organ utama perjuangan Masyumi.
Lalu bagaimana dengan Duski Samad? Ia didaulat sebagai pimpinan tertinggi untuk dua barisan sekaligus, yakni Hizbullah dan Fii Sabilillah Sumatra Tengah. Posisi penting dan krusial di masa revolusi kemerdekaan itu, ia pegang dari tahun 1945 sampai akhir Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada 1949.
Selain beraktivitas mengkoordinasi Hizbullah dan Fii Sabilillah, Duski juga menjadi bagian dari keanggotaan Partai Masyumi dari tahun 1945 sampai 1947. Setelah itu dalam Konferensi Masyumi Sumatra Tengah, Duski terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Masyumi Sumatra Tengah. Aktivitasnya di Masyumi Sumatra Tengah rupanya berbuah manis. Ia pun terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sumatra Tengah. Keanggotaannya hanya berlangsung setahun, yakni 1946 sampai 1947.
Kesibukan demi kesibukan yang dijalani, menyebabkan Duski dan Rasuna bersimpang jalan. Duski dan Rasuna sejak mendedikasikan diri di masa revolusi kemerdekaan, memang jarang berjumpa. Kadang mereka tidak pernah berjumpa dalam hitungan minggu, bahkan sampai berbulan-bulan. Inilah yang menyebabkan keduanya kemudian mengakhiri bahtera rumah tangganya.
Duski sendiri selaku ketua umum Masyumi Sumatra Tengah kerap melakukan tourne ke Sumatra Barat, Jambi dan Riau. Ia menemui konstituennya terutama di kantong-kantong persyarikatan Muhammadiyah. Safari dakwah yang kerap juga digelarnya atas undangan dari daerah sejak 1950 sampai 1955, juga menjadi bagian sebab keberhasilan Duski melenggang ke kursi Konstituante sebagai bagian dari hasil Pemilu 1955.
Melenggang ke Kursi Konstituante
Pada Pemilu 1955, Masyumi Sumatra Tengah secara resmi menjadi bagian dari kontestasi dalam pesta demokrasi pertama di Indonesia. Di Sumatera Tengah, terdapat 1.906.727 pemilih dari 3.360.548 orang yang berasal dari Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Komisi Pemilihan Umum (KAPPU) mencatat ada 313 calon anggota DPR (Suara Masyumi, September 1955).
Pada Pemilu 1955 yang digelar di Sumatra Tengah diikuti oleh 44 kontestan, yang terdiri dari 16 partai, 10 organisasi, 18 daftar perorangan. Beberapa tokoh politik nasional yang ikut dalam kontestasi Pemilu 1955 di Sumatera Tengah, antara lain: Moh Natsir, Sutan Sjahrir, Muh Yamin, Chaerul Saleh, Djamaluddin Tamim, Adinegoro, SM. Abidin, Rasuna Said, dan lain-lain.
Di hari terakhir penghitungan suara, fenomena menarik terjadi di Sumatera Tengah. Dari 44 kontestan dari daerah pemilihan Sumatera Tengah, hanya empat partai yang berhasil meraih 11 kursi di DPR. Hampir 90 persen kursi DPR diborong oleh partai-partai Islam. Masyumi meraih 6 kursi atau setara dengan 797.692 suara, PERTI 3 kursi (351.768), dan PPTI 1 kursi (45.156). Sisa 1 kursi diambil oleh PKI atau setara dengan 90.513 suara (Haluan, 28 September 1955).
Beberapa orang yang tercatat dekat secara emosional dalam hidupnya, duduk bersama di Konstituante, Mereka adalah A.R Sutan Mansur (kakak kandungnya), Rasuna Said (mantan istrinya), Moh. Natsir (kemenakannya Duski Samad), dan Hamka (ipar dari Sutan Mansur). Keempat orang ini duduk di fraksi yang sama, yakni Partai Masyumi.
Meskipun telah aktif selaku anggota Konstituante sejak 1956, Duski Samad tetap aktif di Majalah Hikmah dan Suara Masyumi. Dalam Suara Masyumi misalnya, Duski yang lulusan Sumatra Thawalib menguraikan dengan lugas “Menghadapi Perdjuangan Ideologi” secara berseri.
“Di samping itu kita kaum muslimin seluruhnya dipandang musuh dan penghalang dari pertumbuhan baru [ideologi] itu. Mereka memandang kitab rendah, kolot, tidak berilmu dan ketinggalan mode.?”–demikian Duski Samad menguraikan persoalan ideologi Islam yang tidak laku bagi kalangan nasionalis, dalam Suara Masyumi edisi Maret,1956.
Semasa duduk selaku anggota Konstituante, bersama Sjamsiah Abbas, Dt Simaradjo, Dt Bd Basa Nan Kuning, Iljas Jakub, Muh. Amin, Aminuddin Junus, Suleiman Arrasuli, Rahmah el
Junusijah, Ibrahim Musaparab, Duski didapuk masuk sebagai penasihat bidang politik dan moralitasnya Dewan Banteng (De Nieuwsgier, 24 Desember 1956).
Dewan Banteng dibentuk pada 20 Desember 1956 sebagai bagian protes para perwira Divisi IX Banteng pasca Rera dan menyikapi kondisi sosial politik di tanah air. Dewan Banteng juga didukung oleh semua partai politik yang ada di Sumatra Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu turut didukung para ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum adat, sehingga melahirkan semboyan, "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng" (Kahin 2005; Sufyan, 2014).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.