Suasana kawasan hutan konservasi mangrove di Pemogan, Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Bali, Kamis (19/9/2024). | Bayu Adji P

Nasional

Perjalanan Panjang Pendanaan FOLU Net Sink 2030

Masyarakat di sekitar hutan menjadi salah satu penerima utama kompensasi ini.

JAKARTA — Para ilmuwan sepakat pemanasan global disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil. Industrialisasi negara-negara maju yang berlangsung sejak awal abad ke-19 menjadi faktor terbesar pemanasan global.

Secara historis, kontribusi emisi Indonesia tidak sebesar negara-negara maju. Namun, Indonesia merupakan salah satu negara paling rentan dan terdampak perubahan iklim.

Sebagai salah satu negara dengan hutan terbesar di dunia, Indonesia turut berkontribusi dalam penanggulangan perubahan iklim. Forest and Other Land Use Net Sink (FOLU Net Sink) 2030 menjadi salah satu strategi utama Indonesia untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dalam rangka mitigasi perubahan iklim.

Inisiatif ini menargetkan pada 2030, sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya dapat menyerap lebih banyak emisi karbon dibandingkan dengan yang dihasilkannya. Namun, tidak mudah mendapatkan pendanaan dari negara-negara maju untuk berkontribusi dalam FOLU Net Sink 2030.

Dewan Penasihat dan Project Director FOLU NC-1, Agus Justianto, mengungkapkan perjalanan panjang negosiasi antara Indonesia dan Norwegia terkait kompensasi pembayaran melalui skema Result Based Payment (RBP) sebagai bagian dari upaya pengurangan emisi karbon dan perlindungan hutan.

Agus menjelaskan skema pembayaran nilai karbon yang diterapkan terdiri atas beberapa jenis, antara lain pertahanan karbon dan offset emisi, Result Based Payment, serta pajak karbon dan peningkatan sementara. Dari ketiga skema tersebut, RBP memiliki sejarah panjang dan proses yang tidak mudah untuk direalisasikan.

“Pada 12 September 2022, akhirnya terjadi realisasi pembayaran melalui Result Based Payment yang telah lama dinantikan,” ujar Agus dalam Journalist Workshop Indonesia FOLU Net Sink 2030, Jumat (17/5/2025).

Ia menambahkan, negosiasi ini bermula dari Letter of Intent (LoI) yang diterima Indonesia pada 2011 dari pemerintah Norwegia, yang berjanji memberikan kompensasi sebesar Rp 10 miliar. Namun, realisasi janji tersebut sempat terhambat dan dihentikan pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Sebagai salah satu negosiator utama, Agus menyampaikan bahwa Norwegia—sebagai negara pengemisi besar terutama dari sektor minyak dan gas—akhirnya membuka kembali negosiasi dan menyatakan komitmen untuk memberikan kompensasi melalui skema yang kemudian dinamai Result Based Contribution (RBC). Meskipun namanya berubah, esensi dari skema ini tetap sebagai kompensasi berbasis hasil pengurangan emisi.

Norwegia menyalurkan dana kompensasi dalam beberapa tahap, yaitu RBC tahap pertama sebesar 54 juta dolar AS, RBC tahap kedua dan ketiga sebesar 100 juta dolar AS, serta RBC tahap keempat sebesar 60 juta dolar AS. Saat ini, RBC tahap kelima masih dalam tahap negosiasi. Meski jumlah ini masih jauh dari janji awal sebesar 10 miliar dolar AS, langkah ini menjadi bukti komitmen Norwegia dalam mendukung pengurangan emisi Indonesia.

Agus menegaskan dana yang diterima dari Norwegia ini dikelola secara transparan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPLH) di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Pengelolaan dana ini harus memenuhi prinsip good governance dan akuntabilitas agar manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat,” ujarnya.

Namun, Agus juga mengakui tantangan dalam meyakinkan Norwegia untuk menyalurkan dana melalui mekanisme pemerintah Indonesia. Norwegia sempat meragukan tata kelola dan transparansi pengelolaan dana, sehingga Indonesia harus membuktikan komitmen dan kemampuan dalam pengelolaan dana lingkungan.

Dalam hal distribusi manfaat, Agus menjelaskan masyarakat di sekitar hutan menjadi salah satu penerima utama kompensasi ini. Melalui berbagai mekanisme dan program, termasuk kerja sama dengan lembaga internasional seperti Green Climate Fund (GCF) dan World Bank, dana ini diarahkan untuk mendukung pengurangan deforestasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal.

Lebih lanjut, Agus menegaskan mekanisme verifikasi dan perencanaan operasional dilakukan secara ketat di tingkat subnasional, melibatkan hampir 35 provinsi di Indonesia. Hal ini bertujuan memastikan bahwa setiap program yang dijalankan sesuai dengan rencana dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

“Jika suatu program tidak sesuai dengan rencana operasional, maka akan ditolak oleh tim verifikasi. Ini adalah bagian dari upaya kami untuk menjaga integritas dan efektivitas program,” jelas Agus.

Agus juga menyoroti pentingnya koordinasi dan tata kelola yang baik dalam implementasi FOLU Net Sink 2030, yang menjadi kerangka kerja nasional untuk pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Ia menegaskan komitmen ini harus dijalankan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas agar kepercayaan dari mitra internasional tetap terjaga.

“Melalui mekanisme penyampaian informasi dan kredit karbon, kami ingin membuka kesempatan seluas-luasnya bagi semua pihak untuk berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari program ini,” pungkas Agus.

Perjalanan panjang negosiasi dan implementasi skema kompensasi ini menunjukkan bahwa kolaborasi internasional dan tata kelola yang baik menjadi kunci keberhasilan Indonesia dalam mencapai target pengurangan emisi dan pelestarian hutan.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat