IKHWANUL KIRAM MASHURI | Republika

Resonansi

Ketika Ideologi Hegemoni Barat Menguasai Dunia

Ilmu pengetahuan tidak boleh digunakan untuk hegemoni dan monopoli terhadap sumber daya.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

Ada tulisan menarik di media al Sharq al Awsat dari kolomnis Maroko, Profesor Hassan Haddad, tentang pengaruh Barat di berbagai belahan dunia, terutama di Asia dan Afrika. Pengaruh itu ia sebut sebagai ideologi hegemoni.

Menurutnya, ideologi hegemoni sebenarnya bukan semata ciri khas Barat. Akan tetapi, dominasi Barat yang begitu lama terhadap ekonomi, politik, dan militer menjadikan hegemoni semakin kompleks, mencakup seluruh kehidupan intelektual, ilmu pengetahuan, dan bahkan budaya. Hegemoni kemudian menjadi identik dalam hubungan Barat dengan negara lain dan dengan dunia.

Hegemoni, mengutip Wikipedia bahasa Indonesia, berasal dari bahasa Yunani, hegemonia. Pada awalnya ia merujuk pada dominasi (kepemimpinan) suatu negara-kota Yunani terhadap negara-kota lain dan berkembang menjadi dominasi ekstrem negara terhadap negara lain.

 
Dominasi Barat yang begitu lama terhadap ekonomi, politik, dan militer menjadikan hegemoni semakin kompleks, mencakup seluruh kehidupan intelektual, ilmu pengetahuan, dan bahkan budaya. Hegemoni kemudian menjadi identik dalam hubungan Barat dengan negara lain dan dengan dunia.
 
 

Untuk memahami ideologi hegemoni Barat, menurut Haddad — profesor di bidang manajemen, komunikasi, ilmu politik, geostrategi, dan administrasi bisnis — kita harus melihat ciri ‘kepemimpinan Barat’ yang telah berlangsung selama berabad-abad, sejak era Renaisans Eropa, dan apa yang disebut ‘abad penemuan’, hingga awal abad ke-21.

Ciri dominan dari ‘kepemimpinan Barat’ itu, lanjut wakil presiden Organisasi Pembangunan Internasional ini, adalah kekerasan, baik antara negara-negara Barat sendiri (perang di Eropa) maupun kekerasan kolonial Eropa terhadap ‘negara-negara Selatan’. Juga kekerasan akibat intervensi Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di sejumlah negara pasca Perang Dunia II hingga sekarang. (Istilah ‘Selatan’ atau ‘negara-negara Selatan’ merujuk pada negara-negara berkembang yang secara geografis terletak di wilayah Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Negara-negara ini sebagian besar adalah bekas jajahan sejumlah negara Barat).

Kekerasan ini berlatar belakang mitos yang berkembang sejak zaman Renaisans. Intinya, misi manusia ‘kulit putih’ adalah mengendalikan dan menundukkan alam.

Oleh karena itu, penemuan ‘benua-benua baru’ adalah sebagai implementasi ‘visi’ yang memandang alam sebagai musuh yang harus ditaklukkan atau binatang buas yang harus ditundukkan. Ini berbeda, misalnya, dengan budaya Afrika, Asia, serta budaya masyarakat asli Amerika (Indian), yang memandang alam sebagai rumah, habitat, sumber penghidupan, dan kehidupan bersama saling berdampingan.

Mitos bahwa manusia harus mengendalikan atau menguasai alam telah mengonsolidasikan apa yang disebut ‘kekerasan terhadap alam’, yang terbentuk selama Renaisans Eropa, dan berlanjut pada masa kolonial. Ketika itu sumber daya negara-negara jajahan dan rakyatnya diekploitasi, diperbudak, dan dijadikan barang dagangan yang menguntungkan Barat selama berabad-abad.

 
Mitos bahwa manusia harus mengendalikan atau menguasai alam telah mengonsolidasikan apa yang disebut ‘kekerasan terhadap alam’, yang terbentuk selama Renaisans Eropa, dan berlanjut pada masa kolonial.
 
 

Bersamaan dengan itu, mereka juga melakukan pembunuhan dan bahkan genosida terhadap suku asli di Amerika Utara dan Selatan, di Kongo, Australia, India, Afrika Selatan, Kenya, Namibia, Aljazair, Madagaskar, dan negara-negara jajahan lain.

Ironisnya, kekerasan kolonial disertai dengan pandangan arogan yang mengatakan bahwa negara-negara Selatan perlu ‘mempersiapkan diri’ bila ingin maju. Dan, itu tugas yang sulit dan berat, yang terpaksa ditanggung oleh ‘orang kulit putih’, seperti yang dikatakan Rudyard Kipling (1865-1936), orientalis Inggris yang pernah jadi kepala Museum Lahore, Pakistan.

Bahkan sains, dalam versi Barat, yang telah berkembang sejak zaman Renaisans, menjadi sarana dominasi atau hegemoni. Ini berbeda dengan teori-teori sains yang dikembangkan bangsa Arab, Parsia, Cina, India, suku Maya dan Maori, serta masyarakat adat di Amerika Utara dan Selatan, Afrika, dan Asia.

Profesor Haddad — kini juga menjabat Ketua Komite Gabungan Parlemen Eropa dan Maroko — menunjuk pendekatan ilmiah Francis Bacon (1561-1626), filsuf dan politikus Kerajaan Inggris. Pendekatan Bacon, katanya, pada hakikatnya adalah untuk mendominasi alam dan manusia melalui observasi dan metode induktif.

Kaum Darwinis (Charles Darwin,1809 –1882, penemu teori evolusi dari Inggris) lalu melegitimasi imperialisme dengan alasan bahwa ‘kekuatan atau kekuasaan imperialis pada dasarnya lebih unggul, dan dominasi mereka atas negara-negara lain adalah demi kepentingan pembangunan manusia secara umum.

Latar belakang ideologis dan historis yang oleh sebagian orang disebut sebagai ‘kesombongan Barat’ ini, kata Profesor Haddad, masih mempengaruhi hubungan Barat dengan negara-negara lain hingga kini. Baik itu negara berkembang maupun negara terbelakang.

Termasuk ketika Barat membentengi Eropa, Amerika Serikat, dan Australia dari para imigran, terutama dari negara-negara di Timur Tengah dan Afrika. Pada waktu yang sama, mereka (Barat) merayu orang-orang cerdik-pandai agar berpindah ke Eropa dan AS guna mengisi sektor-sektor publik dan swasta. Dan, ketika mereka ‘mengambil’ para cerdik pandai dari ‘Selatan’ yang notabene bekas negara-negara jajahan, di negara-negara Barat sedang mengakar budaya diskriminasi rasial dan kebangkitan gerakan populis-nasionalis yang menentang segala sesuatu yang bukan ‘kulit putih’.

Di sisi lain, lanjut ahli internasional bidang pembangunan, ekonomi, studi strategis, budaya dan sosial ini, perusahaan-perusahaan besar Barat, termasuk bank dan lembaga keuangan, mendominasi pengambilan keputusan ekonomi di seluruh dunia. Pada saat yang sama, kondisi yang tidak adil tercipta bagi negara-negara miskin dan berpendapatan rendah untuk memasuki pasar keuangan global.

 
Dolar diberlakukan sebagai mata uang tunggal dalam setiap transaksi komersial. Ini tentu saja menguntungkan Amerika, Eropa, dan perusahaan-perusahaan Barat. Sebaliknya, negara-negara lain terjebak dalam sistem perdagangan dan perbankan yang tak adil itu.
 
 

Dolar diberlakukan sebagai mata uang tunggal dalam setiap transaksi komersial. Ini tentu saja menguntungkan Amerika, Eropa, dan perusahaan-perusahaan Barat. Sebaliknya, negara-negara lain terjebak dalam sistem perdagangan dan perbankan yang tak adil itu.

Semua itu, menurut Haddad — mantan menteri pariwisata Maroko — berlangsung ketika Barat seolah mempunyai hak memaksakan sistem budaya, politik, dan ekonomi pada negara-negara Selatan. Mereka pun memberikan karakter universal pada nilai-nilai yang melekat pada sistem tersebut, tanpa mempertimbangkan budaya, kekhususan sejarah dan politik negara-negara Selatan.

Mungkin benar bahwa batasan kebebasan dan demokrasi di Barat terus melebar — bisa diterima banyak pihak — tapi hal itu tidak boleh menjadi alasan bagi sistem dan nilai Barat saja yang bersifat universal, dan menganggap sepi sistem dan nilai budaya lain.

Nilai-nilai dan konsep dasar yang dianut budaya lain itu, tersebar di berbagai belahan dunia, sangat bertentangan dengan semangat dominasi, kekuasaan, otoritas, dan penggunaan ilmu pengetahuan untuk tujuan hegenomi seperti dipaksakan oleh Barat. Misalnya ihsan (kebaikan) dalam Islam, cinta dalam sufistik, dharma (perilaku lurus) dan karma dalam agama Hindu, ‘kembalinya kehidupan’ dalam agama Buddha, wuwu (yaitu keselarasan integral dengan Tao, yaitu prinsip dasar keseimbangan dalam hidup) di kalangan penganut Tao, jalan tiga dimensi (pikiran baik, perkataan baik, dan perbuatan baik) atau jalan Asha di kalangan penganut Zoroaster, kesucian dalam filsafat Afrika, di mana (kekuatan suci) di antara suku Maori, tza'ak, yang berarti bagaimana aktivitas manusia menentukan waktu menurut suku Maya, dan seterusnya.

Negara-negara Selatan sebenarnya telah lama menolak berbagai kekerasan Barat, yaitu ketika muncul gerakan kemerdekaan melawan penjajahan pada pertengahan abad ke-20. Sayangnya, kemerdekaan ini justru kembali mengabadikan ketergantungan pada Barat ketika negara-negara Selatan terlibat dalam Perang Dingin. Juga ketika elite lokal terperangkap pengaruh Barat saat menentukan pilihan kiblat ekonomi yang harus diambil.

 
Sayangnya, kemerdekaan ini justru kembali mengabadikan ketergantungan pada Barat ketika negara-negara Selatan terlibat dalam Perang Dingin. Juga ketika elite lokal terperangkap pengaruh Barat saat menentukan pilihan kiblat ekonomi yang harus diambil.
 
 

Kini banyak pihak berbicara tentang perlunya negara-negara Selatan bangkit dari ketergantungan terhadap pengaruh hegenomi Barat. Menurut Profesor Haddad, yang harus dilakukan negara-negara Selatan adalah menciptakan ruang-ruang baru, blok-blok alternatif, dan memikirkan model ekonomi baru yang memungkinkan mereka menghindari kendali perusahan-perusahaan besar dan bank-bank Barat.

Berikutnya, negara-negara Selatan harus mencari pendekatan baru terhadap realitas, alam, sumber daya, dan semesta. Ilmu pengetahuan tidak boleh digunakan untuk hegemoni dan monopoli terhadap sumber daya.

Negara-negara Selatan harus mengambil inspirasi dari ilmu pengetahuan, budaya lokal, agama, dan ekonomi kelompok masyarakat adat dan marginal. Semua ini diperlukan guna menciptakan harmoni antara ilmu pengetahuan dan budaya lokal agar tercipta keselarasan hidup secara berkelanjutan dan berkeadilan dengan alam dan sesama.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Berselingkuh dengan Komunis

Kedekatan Presiden Sukarno dengan PKI menjadi bumerang.

SELENGKAPNYA

Rekonsiliasi Hakiki

Banyak rakyat jelata diperbodoh partai pemberontak.

SELENGKAPNYA

Perintah Bermakna Ganda

Ahmad Yani memerintahkan Mayor Jenderal S Parman untuk mengawasi gerak-gerik Soebandrio.

SELENGKAPNYA