Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Enam Alasan tidak Mendirikan Parpol Islam (Bagian I)

Masing-masing parpol Islam akan harus mencari identitas politiknya.

Oleh KUNTOWIJOYO

Ada cukup cahaya bagi orang yang ingin melihat.

Sayidina Ali, Nahjul Balaghah

Mula-mula PBNU membentuk sebuah Panitia pendiri ''Partai NU'' (hasilnya ialah Partai Kebangkitan Umat), kemudian DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia) merekomendasikan berdirinya sebuah parpol Islam (kelanjutan rekomendasi itu ialah berdirinya BKUI [Badan Koordinasi Umat Islam] yang akan mengadakan sebuah Kongres Umat Islam), dan yang terakhir Sidang Tanwir Muhammadiyah di Semarang 5-7 Juli 1998 berijtihad politik untuk mendirikan parpol Islam (pribadi warga Muhammadiyah-nya, Kedaulatan Rakyat, 8/7/1998). Dan masih ada banyak lagi.

Rupa-rupanya itu semua sesuai dengan aspirasi massa masing-masing di musim semi kebebasan. Lengkaplah sudah pengkotak-kotakan politik bagi kaum santri yang dibuat oleh tangan umat sendiri dengan sadar: Satu kotak untuk kaum tradisionalis (NU), satu kotak untuk kaum modernis (DDII), dan dan satu kotak untuk kaum puritan (Muhammadiyah). Reformasi yang berarti kebebasan, demokrasi, dan transparansi, menjadi ketertutupan, pribadi, otoritarian, dan eksklusifisme. Tulisan ini sangat prihatin dengan keadaan itu.

Dengan berakhirnya Orde Baru dan mulainya Orde Reformasi umat berada di persimpangan jalan sejarah. Sebagian orang menganggap perubahan itu sebagai rahmat, sebagian lagi menganggapnya sebagai ujian. Anggapan bahwa perubahan adalah rahmat telah menghasilkan nostalgia politik untuk kembali ke masa lalu, sedangkan anggapan perubahan sebagai ujian menimbulkan rintisan ke arah jalan baru.

Sayang, anggapan pertama adalah mayoritas, sedangkan anggapan kedua hanya minoritas. Demikianlah, meskipun tulisan ini adalah bagian dari minoritas yang barangkali hanya teriakan lemah di masa banjir bandang kebebasan, tetapi rupanya perlu juga dikemukakan. Untuk membebaskan diri penulis dari tanggung jawab di depan masyarakat ilmiah dan mahkamah sejarah. 

Dengan berakhirnya Orde Baru dan mulainya Orde Reformasi umat berada di persimpangan jalan sejarah.
   

Di bawah ini adalah enam alasan mengapa pembentukan parpol Islam adalah sebuah kesalahan yang fatal. Terhentinya mobilitas sosial Waktu Indonesia merdeka ada harapan bahwa akan terjadi mobilitas sosial vertikal bagi wong cilik, orang kecil akan naik dalam tangga sosial. Tetapi itu tidak terjadi, di banyak daerah, Indonesia tetap berada di tangan elite penguasa seperti sebelumnya. Kekecewaan-kekecewaan itulah yang sebenarnya mendasari beberapa revolusi sosial dekat setelah Proklamasi yang dipelopori oleh wong cilik (abangan), seperti Peristiwa Tiga Daerah di Jawa Tengah Utara, Revolusi Sosial di Sumatera Timur, dan Perang Cumbok di Aceh.

Seperti diketahui inner circle dari para pemuda dalam perjuangan kemerdekaan sekitar Proklamasi pada umumnya adalah kaum abangan. Di kalangan wong cilik santri sendiri kekecewaan yang sama muncul di tahun 1950-an dalam pemberontakan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat, AOI di Kebumen (Jawa Tengah Selatan), Yon 426 di Kudus (Jawa Tengah), Daud Beureueh di Aceh, dan Kahar Muzakkar di Sulawesi.

Pada pasca-1965 yang naik dalam tangga sosial adalah kaum abangan lebih dulu, bukan kaum santri. Apa sebab? Pada tahun 1950-an yang dikenal dengan masa Demokrasi Liberal itu kaum santri sibuk berpolitik dalam berbagai parpol Islam. Pertanyaannya ialah bukankah kaum abangan dan kaum santri sama-sama sibuk berpolitik, kok yang mengalami mobilitas sosial vertikal pasca-1965 hanya kaum abangan? Jawabnya ialah karena kaum abangan tidak mempunyai tanggung jawab sosial dalam penyebaran agama, sehingga dana, perhatian, dan tenaga dapat dicurahkan untuk pembinaan SDM-nya. Mereka dapat mengantarkan warganya untuk menjadi elite dalam berbagai bidang, seperti birokrasi, profesi, militer, intelektual, dan eksekutif. Pada tahun 1970-1990 kaum santri mengalami marjinalisasi.

Ternyata marjinalisasi itu suatu blessing in disguise (rahmat tersembunyi), karena dalam keadaan itulah kaum santri dapat membina SDM-nya, setelah terbebas dari beban politik. Dominasi dalam lenbaga-lembaga legislatif dan eksekutif sesudah 1992 menimbulkan istilah ''ijo royo-royo''. Demikian pula ada dominasi kaum santri dalam dunia profesi, budaya, dan akademi pada 1990-an. Mobilitas sosial vertikal itu akan terhenti kalau kaum santri kembali berpolitik. Akibatnya baru terasa di tahun 2020-an nanti, justru pada waktu Indonesia memasuki libralisasi penuh. Kaum santri akan menjadi ''gelandangan di rumah sendiri'' kembali (istilah Emha Ainun Nadjib). 

Ternyata marjinalisasi itu suatu blessing in disguise.
   

Disintegrasi umat Pada tahun-tahun 1970-1990 telah terjadi tiga macam konvergensi. Konvergensi sosial antara wong cilik dengan priyayi, konvergensi budaya antara abangan dengan santri, dan konvergensi aliran agama antara tradisionalis, modernis, dan puritan. Konvergensi sosial telah melahirkan kelas baru, yaitu kelas menengah. Para pengamat mengatakan bahwa lahirnya kelas menengah inilah yang mendasari adanya ICMI. Seseorang yang semasa mahasiswa di akhir 1960-an dan di awal 1970-an adalah anggota GMNI (per definisi adalah perkumpulan kaum abangan) pada tahun 1990-an banyak yang Islamnya melebihi anggota HMI dan PMII (yang per definisi adalah perkumpulan kaum santri).

Proses perubahan budaya itu pasti terjadi pada tahun-tahun 1970-1990 ketika Islam secara politis tenggelam, dan secara budaya mencair. Pada tahun-tahun 1970-1990 juga terjadi hubungan yang akrab antara NU dan Muhammadiyah. Dalam kepengurusan ICMI, baik di tingkat pusat, orwil, maupun orsat sudah tidak diperhitungkan lagi aliran-aliran agama. Gagasan untuk rekonsiliasi antara NU dan Muhammadiyah pun sudah terpikirkan.

Akan tetapi, konvergensi itu akan berakhir kalau parpol-parpol Islam muncul. Aliran-aliran agama yang semula telah cair akan mengkristal lagi; orang NU akan memilih Partai Kebangkitan Umat, orang Muhammadiyah memilih ''Partai Muhammadiyah''. Munculnya parpol Islam akan membuat orang yang telah mengalami konvergensi budaya mengalami frustrasi. Kalau dahulu orang dapat memilih PPP, Golkar, atau PDI tanpa beban moral, nanti lain soalnya. Masing-masing parpol Islam akan harus mencari identitas politiknya, sehingga perbedaanlah dan bukan persamaan yang menonjol. Identitas yang berbeda akan menguasai, parpol Islam akan menganut idiocracy (dari bahasa Yunani idios [ciri khas] dan kratein [menguasai]). Demikianlah akan terjadi disintegrasi umat.

Disadur dari Harian Republika edisi 18 Juli 1998. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian V/Habis)

Makin modern sebuah masyarakat, makin abstrak masyarakat itu.

SELENGKAPNYA

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian IV)

Dirasa perlu suatu ijtihad baru mengenai masyarakat industrial.

SELENGKAPNYA

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian III)

Perluasan kesadaran individual itu sayangnya sampai kini hanyalah pada kesadaran jamaah.

SELENGKAPNYA

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian II)

Epistemologi dalam Islam adalah epistemologi relasional.

SELENGKAPNYA