Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian V/Habis)

Makin modern sebuah masyarakat, makin abstrak masyarakat itu.

Oleh KUNTOWIJOYO

Dalam masyarakat industrial yang mengatur bukan lagi orang, tetapi sistem. Setiap orang diharapkan berpartisipasi dalam sistem yang abstrak, impersonal. Karakteristik perorangan (akhlak, keimanan, emosi, kepentingan) harus dapat menyesuaikan diri (conform) dengan sistem. Sistem (birokrasi, pasar) sangat tergantung pada kualifikasi objektif, tidak pada kualifikasi subjektif.

Komunikasi keagamaan bergantung kepada sistem yang abstrak dan objektif, tidak kepada orang yang konkret dan subjektif. Umat harus banyak memperhatikan komunikasi abstrak supaya dakwah berhasil. Komunikasi melalui simbol-simbol budaya akan lebih efektif. Simbol (pengetahuan, seni, filsafat) memang tidak berhadapan langsung dengan orang, namun memberikan rasa bangga menjadi muslim, mencegah seseorang untuk murtad atau menjadi sekuler. Pertanyaan yang sesuai dengan masyarakat praindustrial, seperti "Berapa orang sudah masuk Islam karena kesenian?" kiranya tidak relevan ditanyakan pada "dai-dai" masyarakat abstrak.

Kebanyakan orang yang bergerak dalam dunia simbolis (seperti penyanyi, pemusik, pelukis, penari) sendiri tidak yakin bahwa dengan kegiatan simbolis itu mereka sudah berbuat untuk agama, karena gambaran mereka adalah dakwah dalam masyarakat praindustrial. Orientasi praindustrial ini yang harus diubah. Ke dalam jajaran ulama (dalam pengertian luas), mereka yang aktif dalam bidang simbolis harus dimasukkan.

 
Makin modern sebuah masyarakat, makin abstrak masyarakat itu.
   

Makin modern sebuah masyarakat, makin abstrak masyarakat itu. Karena itu tugas umat ialah rekayasa ke arah masyarakat abstrak, dengan sebanyak mungkin memadukan tiga hal: agama, ilmu, dan seni. Biasanya kita hanya ingat Imtaq dan Iptek, dan lupa akan kedudukan seni dalam masyarakat abstrak. Penekanan pada Imtaq dan Iptek itu bisa dimengerti, karena satu-satunya cara bagi umat untuk memobilisasi sosial ialah dengan Iptek, supaya umat dapat masuk ke pasar.

Kesadaran tentang perlunya objektifikasi. Masyarakat industrial juga semakin plural, dan umat harus bisa menerima pluralisme itu sebagai konsekuensi logis dari masyarakat kebangsaan. Dapat dibayangkan, betapa berat founding fathers yang beragama Islam dalam menghapuskan tujuh kata dari Piagam Jakarta, karena mereka pasti merasa bahwa umat Islam sudah menumpahkan darah paling banyak untuk Indonesia. Tetapi, penghapusan itu terjadi. Kiranya perasaan yang sama akan melilit umat sekarang ini, sebab antara tahun 1970-1990 terjadi marjinalisasi yang menyakitkan hati umat. Namun, sekali lagi diminta kesadaran bahwa umat menjadi bagian dari bangsa yang plural.

 
Karenanya ada pekerjaan ganda bagi umat.
   

Karenanya ada pekerjaan ganda bagi umat. Di satu pihak ia harus melakukan eksternalisasi ke dalam, dan di lain pihak ia harus melakukan objektifikasi ke luar. Objektifikasi ialah perbuatan keagamaan yang oleh nonumat dirasakan sebagai perbuatan objektif semata (Mengenai perbedaan eksternalisasi dan objektifikasi, selanjutnya baca: Identitas Politik Umat Islam). Objektifikasi dimaksudkan supaya Islam jadi rahmat untuk semua (rahmatan lil-'aalamiin).

Dapat disimpulkan bahwa strukturalisme transendental sebagai metode sesuai dengan keperluan Islam. Islam mempunyai kemampuan untuk mengubah dirinya sendiri (transformasi diri) tanpa kehilangan keutuhannya sebagai agama. Tugas umat ialah menyadari perubahan-perubahan di lingkungannya untuk menyesuaikan muamalah-nya. Gambaran tentang Islam yang kaku, antiperubahan, dan kuno, ternyata tidak benar. Kajian masalah-masalah kontemporer dalam bidang sosial, kemanusiaan, filsafat, seni, dan tasawuf, dari sudut pandang Islam akan dapat menghilangkan kesan tentang Islam yang garang, melihat segala soal secara legalistik -- halal-haram -- dan egosentris.

Disadur dari Harian Republika edisi 21 Maret 1999. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian IV)

Dirasa perlu suatu ijtihad baru mengenai masyarakat industrial.

SELENGKAPNYA

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian III)

Perluasan kesadaran individual itu sayangnya sampai kini hanyalah pada kesadaran jamaah.

SELENGKAPNYA

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian II)

Epistemologi dalam Islam adalah epistemologi relasional.

SELENGKAPNYA

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian I)

Islam juga mengalami transformasi secara spasial, historis, dan sosial.

SELENGKAPNYA