Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian III)

Perluasan kesadaran individual itu sayangnya sampai kini hanyalah pada kesadaran jamaah.

Oleh KUNTOWIJOYO

Seorang yang taat beragama dan mempelajari ilmu-ilmu alam (teknik, fisika, farmasi, pertanian, kedokteran) tidak banyak mempunyai persoalan dengan aspek muamalah agama. Masalahnya hanya orang beriman atau tidak-beriman. Sebaliknya, mereka yang belajar ilmu-ilmu kemanusiaan (sosiologi, antropologi, politik, sejarah, filsafat) akan mempunyai persoalan besar. Itu semua karena aspek muamalah agama termasuk wilayah ilmu kemanusiaan.

Orang yang belajar ilmu alam menerima agama (aqidah, ibadah, akhlak, syariah, muamalah) sebagai apa adanya, sebagaimana mereka menerima hukum-hukum ilmu alam. Tetapi tidak demikian bagi mereka yang belajar ilmu kemanusiaan, yang tidak mengenal hukum yang pasti dan berlaku umum. Mereka mungkin saja terkejut dengan gejala ''modern'' seperti cadar, jubah (seperti dalam Jamaah Tabligh), kepercayaan akan Imam Mahdi (seperti dalam Darul Arqom), kepemimpinan ''amir'' (seperti dalam Darul Hadits alias LDII), Aliran Kepercayaan (GBHN 1978), dan bermacam-macam aliran yang mirip cult. Bagaimana semua itu bisa terjadi pada zaman modern? Sedang para penganutnya sendiri tak bisa membedakan ''mana padi mana ganggang'', karena gejala-gejala itu berada di luar sistem pengetahuan mereka. Mereka cenderung melihat dari sudut ilmu agama saja, lalu melihatnya secara legalistik.

Strukturalisme transendental

Strukturalisme transendental akan berguna bagi ketiga-tiganya untuk sekaligus menyadari adanya totalitas Islam dan perubahan-perubahan. Soal terbesar bagi Islam ialah bagaimana mengikuti perubahan tanpa kehilangan jati dirinya sebagai agama yang kaffah.

Agama-agama telah bereaksi secara berbeda terhadap perubahan, sesuai dengan masing-masing karakteristiknya. Kristen yang membedakan dengan tegas Hak Raja dan Hak Tuhan bisa menerima sekularisme, sedangkan Islam yang tidak membedakan antara dunia dan akhirat tidak menerima sekularisme. Sekularisasi diterima sebagai gejala yang positif di lingkungan Kristen-Protestan, tetapi sebagai gejala negatif di lingkungan Islam. Lingkungan Kristen Protestan bereaksi secara kultural (moral, filsafat, teologi), sedangkan Islam cenderung ke struktural (politik, bisnis). 

Strukturalisme transendental akan berguna bagi ketiga-tiganya untuk sekaligus menyadari adanya totalitas Islam dan perubahan-perubahan. 

Paul Tillich hanya memerlukan bahasa baru dalam menghadapi sekularisme (James Luther Adams, Paul Tillich's Philosophy of Culture, Science & Religion, New York, Schocken Books, 1970). Umat Islam memerlukan institusi-institusi baru (pendidikan, politik, ekonomi) dan simbol-simbol baru (busana, budaya, bujana).

Dalam Islam sejumlah agenda baru diperlukan agar agama ''sesuai'' dengan perubahan-perubahan, yaitu supaya unsur muamalah-nya tidak ketinggalan zaman. Agenda itu dapat menjadi lahan bagi ijtihad. Pendekatan lama -- yang sifatnya individual -- tetap diperlukan karena individulah yang pada akhirnya harus mempertanggungjawabkan. Namun, diperlukan perluasan-perluasan supaya muamalah Islam lebih efektif. Perluasan itu berupa enam macam kesadaran, yaitu (1) kesadaran tentang perubahan, (2) kesadaran kolektif, (3) kesadaran sejarah, (4) kesadaran tentang fakta sosial, (5) kesadaran tentang masyarakat abstrak, dan (6) kesadaran tentang perlunya objektifikasi.

Kesadaran tentang perubahan. Ada gambaran di kalangan umat bahwa pemimpin agama (kyai) itu tidak berubah dari waktu ke waktu, paran, dan kualifikatif. Padahal di pedesaan sendiri peran kyai sebagai cultural broker -- istilah Clifford Geertz -- sudah banyak digantikan. Kehadiran birokrat, guru, petugas lapangan pertanian, radio, TV, dan petugas penerangan, telah menggantikan begitu banyak peran kyai. Di kota, di kalangan kelas menengah, gambaran ideal tentang sosok kyai berbeda jauh dari harapan "tradisional".

Rupanya orang kota memakai ukuran-ukuran baru tentang kyai. Sebuah angket majalah Ummat (No 30/III/16 Februari 1998) menunjukkan bahwa kelas menengah kota meletakkan sikap kritis sebagai kriteria utama. Nama Amien Rais jauh berada di atas Zainuddin MZ -- yang pernah menduduki ranking pertama dalam jajak pendapat Ummat sendiri. Katakanlah bahwa pendapat para responden situasional. Amien Rais bahkan tidak masuk hitungan ketika Zainuddin MZ menduduki ranking pertama. Tetapi, justru kenyataan itu menegaskan perlunya kesadaran tentang perubahan.

Kesadaran kolektif. Kita sudah punya kesadaran individual, sebab dalam agama setiap orang bertanggung jawab pada perbuatannya sendiri. Perluasan kesadaran individual itu sayangnya sampai kini hanyalah pada kesadaran jamaah (kelompok, golongan, ormas). Di zaman kolonial, dengan mudah kaum ulama dipecah ke dalam "ulama negara" dan "ulama rakyat". Demikian pula di zaman Orde Lama, ada "ulama propemerintah" dan "ulama antipemerintah". Pada zaman Orde Baru ada "ulama di dalam struktur" dan "ulama di luar struktur". Barangkali hanya pada saat-saat krisis memuncak jadi konflik terbuka, seperti pada waktu menghadapi G30S/PKI, kesadaran kolektif sebagai umat itu muncul. 

Rupanya orang kota memakai ukuran-ukuran baru tentang kyai. 

Realitas sejarah menunjukkan ajaran tentang ummatan wahidah selalu tenggelam dalam hiruk-pikuk politik, mudah-mudahan saja perpecahan itu jadi rahmat. Kalau kesatuan (kesadaran kolektif) itu tak bisa diusahakan dalam bentuk (form, ujud luar), setidaknya harus ada kesatuan dalam isi (substance, ujud dalam), sehingga jamaah apa pun yang di atas angin akan tetap menyuarakan Islam yang sama.

Tetapi, ternyata tak hanya dalam politik saja kesadaran kolektif sebagai umat itu diperlukan. Kesadaran itu juga diperlukan dalam ekonomi, sosial, dan budaya. Banyak orang yang mengaku Islam, tapi dalam ekonomi ia adalah kapitalis. Sudah banyak kepustakaan Islam tentang sistem ekonomi. Bahkan sudah banyak didirikan institusi ekonomi Islam, pendidikan ekonomi Islam, dan kerja sama internasional dalam mempromosikan sistem ekonomi Islam. Kiranya dalam ekonomi, kesadaran kolektif sebagai umat sudah terbentuk secara internasional maupun nasional.

Dalam bidang sosial, sering orang lupa ada satuan yang bernama umat. Kita tidak sensitif kepada sebagian umat yang kekurangan sandang, pangan, dan papan. Kebanyakan kita baru sadar bahwa ada yang kurang pada kita sebagai umat, ketika segala itu memudahkan pemurtadan. Demikian pula dengan rasa aman. Sebagai kelanjutan peristiwa G30S/PKI banyak orang yang bertukar agama, semata-mata karena perbedaan politik. Sebenarnya mereka mau tetap tinggal dalam Islam, tetapi rasa aman tidak terjamin, padahal agama lain menjanjikan rasa aman yang diperlukan.

Dalam bidang budaya -- nilai, perilaku, dan simbol -- baru akhir-akhir ini ada kesadaran bahwa budaya Islam mempunyai karakteristik sendiri. Semula orang berpikir tentang universalisme budaya saja. Ternyata ada yang tidak universal dalam budaya. Materialisme, hedonisme, dan individualisme, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip budaya Islam.

Dalam simbol, sudah ada kesadaran kolektif mengenai kekhasan simbol Islam, yaitu simbol yang mengajak orang untuk beriman. Kadang-kadang kesadaran kolektif mengenai simbol Islam, misalnya acara takbiran di TV, malah ''menggantikan'' perlunya kesadaran individual: takbiran secara individual.

Disadur dari Harian Republika edisi 21 Maret 1999. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian II)

Epistemologi dalam Islam adalah epistemologi relasional.

SELENGKAPNYA

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian I)

Islam juga mengalami transformasi secara spasial, historis, dan sosial.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya