Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian IV)

Dirasa perlu suatu ijtihad baru mengenai masyarakat industrial.

Oleh KUNTOWIJOYO

Kesadaran Sejarah. Ada continuum dari kesadaran individual ke kesadaran kolektif ke kesadaran sejarah. Kaum muslimin baru sampai pada kesadaran individual. Gambaran tentang masa depan (eschatology) hanya dikaitkan dengan individu, tak pernah dengan umat, apalagi dengan sejarah umat. Kesadaran kolektif sebagai umat sudah lama ada, meskipun belum merata. Kesadaran sejarah ialah kesadaran bahwa umat sebagai kolektivitas adalah unit sejarah yang mau tidak mau terlibat dalam arus perkembangan sejarah. Kesadaran sejarah berarti umat harus aktif sebagai subjek yang menentukan sejarahnya sendiri, tidak hanya menunggu untuk dikendalikan kekuatan sejarah lain sebagai objek.

Kita ambil contoh, kesadaran kolektif bahwa Islam mempunyai cita-cita ekonomi sendiri. Kesadaran kolektif tentang sistem ekonomi Islam itu tidak secara merata menjadi kesadaran sejarah. Ketika sebagian umat mengadakan langkah-langkah historis ke arah penerapan sistem ekonomi Islam, sebagian lainnya tidak mendukung langkah-langkah itu, bahkan menjadi pendukung ekonomi kapitalis yang sudah mapan. Keberanian untuk melakukan eksperimen-eksperimen sejarah yang penuh perhitungan (suatu bentuk ijtihad kolektif) masih perlu didorong.

Contoh lain, kita ambil dari bidang politik. Sebagian umat Islam -- dengan atau tanpa kesadaran sejarah sebagai umat -- berada di garis depan dalam pembentukan masyarakat madani (civil society), dengan clean government, rule of law, demokrasi, HAM, dan lain-lainnya. Sayang, ada sebagian umat lain yang secara konservatif menjadi pendukung personal rule, status quo, dan otoritarianisme, karena gambarannya tentang politik baru sampai kesadaran individual.

Kesadaran tentang fakta sosial. Bila orang hanya sampai pada kesadaran individual, pasti sistem pengetahuannya hanya sampai fakta individual. Dalam masyarakat pertanian, praindustrial, dan homogen memang tidak timbul persoalan. Semuanya mempunyai standar yang sama mengenai akhlakul karimah. Bayangkan dalam masyarakat industrial yang kompleks, heterogen, dan dengan division of labor, standar akhlakul karimah pasti berbeda-beda, di samping persamaan. 

Kita ambil contoh, kesadaran kolektif bahwa Islam mempunyai cita-cita ekonomi sendiri. 

Dalam masyarakat industrial berkembang sistem kelas, dalam hal ini kelas majikan dan kelas buruh. Akhlaqul karimah bagi majikan ialah kelangsungan usahanya. Sebaliknya, akhlaqul karimah bagi buruh pasti berupa upah setinggi-tingginya. Dalam hal melimpahnya tenaga kerja, mana yang akhlakul karimah: menampung tenaga kerja sebanyak-banyaknya dengan akibat upah yang rendah; atau efisiensi tetapi dengan upah tinggi? Kalau kelas majikan kuat, pasti mereka menguasai harga. Kalau kelas buruh kuat, mereka dapat melakukan closed shop, dengan membatasi jumlah tenaga kerja, menolak efisiensi, dan dapat menentukan upah. Kemungkinan besar akan timbul big business atau big labor, yang keduanya tak menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.

Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa SI-Merah lebih populer daripada SI-Putih, dan PKI lebih populer daripada partai-partai Islam, di kalangan buruh-tani, karena umat tidak sensitif dengan munculnya proletarianisasi di pedesaan dan di perkotaan. Itu semua disebabkan karena umat gagal melihat fakta sosial yang muncul bersama industrialisasi. Ketika HOS Tjokroaminoto merumuskan sosialisme Islam (Islam dan Socialisme, Djakarta, Bulan Bintang, 1954) pada 1924 sekalipun, ia sendiri sadar akan gemeenschap/maatschappij (masyarakat) dan gouvernement, rupanya umat tidak siap. Lagi pula fakta individuallah yang menjadi contoh (Nabi, para sahabat, para sultan). Akhlakul karimah yang dicontohkan oleh individu-individu exemplary center. Sosialisme yang demikian itu tidak meyakinkan, karena dianggap irasional, tidak ilmiah.

Dirasa perlu suatu ijtihad baru mengenai masyarakat industrial. Dari fakta individual dapat dibuat filsafat sosial (nilai-nilai normatif) atau teori sosial (analisis faktual), dan dari filsafat dan teori itulah ideologi semacam sosialisme ditubuhkan. 

Dirasa perlu suatu ijtihad baru mengenai masyarakat industrial. 

Dianaktirikannya buruh-tani dan buruh oleh umat adalah bukti bahwa keperluan untuk menjadikan fakta individual jadi fakta sosial sudah mendesak supaya umat tercerahkan. Demikian pula terbukti bahwa para aktivis buruh-tani dan buruh hanya dipandang dengan sebelah mata oleh umat, seolah mereka bukan bagian dari umat.

Kesadaran tentang masyarakat abstrak. Di dalam masyarakat pertanian praindustrial, orang hidup dalam masyarakat konkret, riil, hubungan orang dengan orang, dan hubungan dari-muka-ke-muka. Tetapi hubungan dari-muka-ke-muka itu hilang ketika masyarakat mengenal industrialisasi. Masyarakat industrial adalah masyarakat abstrak (Baca: Anton C Zijderfeld, The Abstract Society: A Cultural Analysis of Our Time, New York, Anchor Books, 1971).

Disadur dari Harian Republika edisi 21 Maret 1999. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian III)

Perluasan kesadaran individual itu sayangnya sampai kini hanyalah pada kesadaran jamaah.

SELENGKAPNYA

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian II)

Epistemologi dalam Islam adalah epistemologi relasional.

SELENGKAPNYA

Islam dan Strukturalisme Transendental (Bagian I)

Islam juga mengalami transformasi secara spasial, historis, dan sosial.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya