Masjid Jami Pontianak atau dikenal dengan Masjid Sultan Syarif Abdurrahman merupakan masjid tertua dan terbesar di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. | Republika/Agung Supriyanto

Safari

Blusukan ke Pontianak Tua

Kampung-kampung tua dan kawasan permukiman di Pontianak saksi bisu masa lalu.

Ami Sulaiman, begitu ia akrab disapa, langsung gesit mempersilakan kami masuk. Ami, dalam bahasa Arab, berarti paman. Rumah kayu yang dihuninya itu sudah turun temurun tiga generasi. Rumah panggung tersebut berada di Kampung Bansir, kampung Arab, Pontianak.

“Sebagian besar rumah ini masih asli,”kata Ami (62 tahun). Ia hanya membongkar sekat-sekat kamar di dalam rumah. Maklumlah, kegiatan seni budaya Ami membuat ia membutuhkan ruang yang lapang.

Pengamat sejarah Kalimantan, Syafaruddin Usman, membawa kami kepada Ami. Di rumah kayu yang terasa suram itu Ami menunjukkan berbagai kain kesultanan Pontianak. Ia menunjukkan kain pembatas asli milik Sultan Pontianak dengan sulaman benang emas bergambar bulan dan bintang. Ia memperkenalkan kain pembatas berwarna kuning untuk kerajaan, kain hijau bila menghadapi orang biasa, sedangkan ungu untuk keturunan raja.

Ami juga menyimpan album berisi foto-foto Sultan Hamid II sejak kecil hingga dewasa. Di rumah panggungnya, di Kampung Bansir, begitu banyak barang berkaitan budaya. Ada berbagai ukiran, kain backdrop kesultanan, pakaian pengantin, aneka mahkota (jamang), tanjak, kain khas Pontianak, kursi ukir, hingga alat-alat musik.

photo
Suasana pasar yang terletak diantara dua bangunan tua di kawasan Tanjung Pura, Pontianak, kalimantan Barat. - (Republika/Agung Supriyanto)

Di ruang tengah terdapat setumpuk layang-layang ukuran besar yang belum semua diwarnai. “Ini pesanan untuk acara,” kata lelaki itu. Ia menghuni rumah yang dibangun sejak sekitar 1900-an.

Kampung Bansir yang dihuni Ami berusia dua abad lebih. Kampung itu seperti kampung tua di tepian Kapuas yang dihubungkan oleh jembatan panjang, gertak. Berkunjung ke kampung-kampung tua ini memang mengasyikkan. Kita bisa melihat kegiatan penduduk yang tinggal di rumah panggung di atas air.

Gertak yang lebih luas bagai labirin ditemui di Kampung Beting yang berlokasi di belakang masjid tertua dan terluas di Pontianak, Masjid Sultan Syarif Abdurrahman. Secara keseluruhan bagaikan kota kecil di atas air. Venesia dari Pontianak, bila air di bawahnya bersih tentunya.

Tak menyatu

Secara umum, rumah-rumah di tepi sungai rumah panggung berbentuk serupa dengan ukuran tak terlalu luas. 

Arsitektur rumah penduduk Pontianak sendiri, menurut Syafaruddin Usman, umumnya telah mendapat pengaruh dari Bugis, Palembang, Riau, dan Banjarmasin. Secara garis besar boleh disebut gaya melayu. “Terdapat dua jenis bentuk rumah, yaitu lipat kajang dan limas.”

photo
Jendela tua yang berada di salah satu bangunan tua (rumah kapiten) di kawasan Tanjung Pura, Pontianak, Kalimantan Barat. - (Republika/Agug Supriyanto)

Saat Catur Prasetyo Soekasdi dari Pontianak Heritage melajukan mobil di kawasan  kegiatan dan permukiman kolonial, terlihat penataan rapi ala Barat. Rumah-rumah dan bangunan lebih mirip bangunan Barat. Syafaruddin Usman yang hafal luar kepala sejarah bangunan di Pontianak menyebut arsitektur bangunan di kawasan Belanda tak mengandung percampuran gaya arsitektur lokal dan Barat.

“Yang ada ungkapan terhadap iklim tropis,” ujarnya. Ia mencontohkan, pembangunan selasar sepanjang sisi bangunan yang berfungsi sebagai penghubung antarruang dan isolasi cuaca yang cukup panas.

Nyata benar perbedaan kawasan permukiman dan kegiatan warga Pontianak di masa lalu.

Kampung Beting

Ini adalah salah satu kampung legendaris di Pontianak. Sebuah kampung yang dihubungkan gertak di belakang Masjid Jami’ ini termasuk kampung tertua di Pontianak.

photo
Masjid Jami Pontianak atau dikenal dengan Masjid Sultan Syarif Abdurrahman merupakan masjid tertua dan terbesar di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. - (Republika/Agug Supriyanto)

Kampung Beting namanya. Ia berawal dari ide Sultan Usman (1819-1855) menyatukan sejumlah tokoh dan pemuka masyarakat kelompok etnis dari berbagai kawasan di satu kampung tak jauh dari kawasan istana. Kampung ini terletak di pinggir Sungai Landak.

Kampung Beting, menurut Prof Syarif Ibrahim Alqadrie, kemudian berfungsi sebagai benteng alam dan penahan atau penghalang dari tabrakan untuk melindungi kawasan kesultanan dan rakyat di sekitarnya dari serangan musuh dari luar.

Gertak Kayu …

Gertak adalah jembatan. Kampung-kampung lama di Pontianak dilengkapi jembatan yang panjang, menghubungkan rumah-rumah di kampung itu. Gertak umumnya terbuat dari kayu belian atau ulin atau kayu besi, yakni kayu yang paling keras, tahan lapuk akibat air maupun saat terpendam dalam tanah. Yakni, kayu yang biasa dipakai untuk kerangka atau fondasi rumah.

Ateng Tanjaya (62 tahun) mengatakan, perlahan gertak kayu akan beralih menjadi beton seluruhnya. “Kayu bahannya semakin lama semakin berkurang,” katanya sambil berjalan menyusuri Kampung Bansir, menunjukkan sepenggal gertak beton.

photo
Aktivitas warga di pinggiran Sungai Kapuas, Pontianak, Kalimantan Barat. - (Republika/Agung Supriyanto)

Ateng yang bergelut dengan forum komunikasi kebakaran di Pontianak amat akrab dengan kayu dan keamanan lingkungan mengakui gertak beton lebih kuat. “Tapi juga berat dan yang dikhawatirkan kalau pecah saja,”' katanya.

Selain itu, rumah-rumah di kawasan tepian Sungai Kapuas juga tak lagi setinggi dulu. Dulu tinggi rumah antara 500 cm dan 1,5 m  di atas permukaan tanah. “Kalau dipertinggi beban yang ditanggung kaki di bawahnya bisa jadi berat,” ujar Ateng.

Bila sempat ke Pontianak, jangan lewatkan kampung-kampung tua dengan gertak kayunya. Sebab, kemungkinannya saat Anda kembali ke kota ini, gertak kayu sudah tinggal sejarah.

Cara Mudah Memetakan Si Kota Tua

Bila Anda ingin menikmati kota tua Pontianak, berikut cara mudah menemukan sekaligus memahami sejarahnya. Pada intinya, dalam generasi berbeda sultan membagi Pontianak dalam sejumlah kawasan.

photo
Keraton Sultan Syarif Abdurrahman' Keraton ini dirikan oleh Sultan Syarif Abdurrahman yang hingga saat ini telah berusia 242 tahun. - (Republika/Agung Supriyanto)
  • Istana Qadriyah merupakan permukiman sultan dan keluarganya, di luar keraton tempat tinggal para kerabat kerajaan. Kini masuk di wilayah Kampung Dalam Bugis dan Arab.
  • VOC wilayah sebelah selatan keraton dibatasi Sungai Kapuas lahan seluas  1.000x1.000. Di kawaan itu VOC  membangun Benteng Mariannen. Di kawasan itu kini banyak bangunan peninggalan Belanda.
  • Para pedagang Melayu, Bugis, dan lainnya ditempatkan di tepian Sungai Kapuas yang paralel sebelah timur pusat kerajaan.
  • Di sekitar perkampungan pedagang didirikan pula Kampung Kapur oleh kaum ulama.
  • Permukiman orang Cina di wilayah sebelah utara keraton. Kawasan itu menunjang aktivitas mata pencaharian mereka sebagai nelayan, tukang kayu, dan pembuat perahu.

Tempat Ekonomi Tumbuh Bergairah

Perahu melaju dari Mancuria. “Belum ada kota di sini, hanya ada hutan,” kata Gunawan Sarjono alias Lim Kuang Hie, kepala Kelenteng Bodhisatva Karaniya Metta, Pontianak. Pertama mereka meletakkan gaharu, tempat pembakaran dupa, pada 1673. Pada 1799 mereka memasang lonceng yang kini diletakkan di dalam kelenteng.

photo
Vihara Bodhisatwa Karaniya Metta ini merupakan vihara tertua yang berada di Pontianak, Kalimantan Barat. - (Republika/Agung Supriyanto)

Sejarah Pontianak selalu berkaitan dengan bangsa Tiongkok yang berperan penting dalam perdagangan sejak dulu. Saat bicara keberadaan, mereka selalu berkaitan dengan Kelenteng tertua di kota itu, Bodhisatva Karaniya Metta dan keberadaan Pelabuhan Sanghie.

Kelenteng ini berdiri sekitar abad ke-17. “Dulu, di perairan dekat sini ada pusaran-pusaran,” kata Mariana, sekretaris pengurus Vihara. Oleh karena itu, di daratan terdekatnya dibangunlah tempat pemujaan tersebut. Sejak saat itu, katanya, perairan di sana pun tenang dan tidak lagi menimbulkan musibah pelayaran.

Selain itu, Pelabuhan Sheng Hie diperkirakan berdiri seabad kemudian. Ini merupakan pelabuhan dagang pertama di kota tua Pontianak. Nama Sheng Hie merupakan nama seorang pengusaha besar dari negeri Tiongkok. Hingga kini, Sheng Hie yang posisinya strategis di Sungai Kapuas itu tetap hidup.

Kawasan Sheng Hie hingga kini masih tetap menjadi tempat perdagangan yang ramai. Meski banyak bangunan baru, sejumlah bangunan tua yang didirikan pada awal abad ke-20 masih banyak terlihat, di antaranya di Jalan Tanjungpura. Bangunan-bangunan tua itu masih digunakan sebagai toko dan berkegiatan sebagaimana adanya.

Disadur dari Harian Republika edisi 8 Desember 2013 dengan reportase oleh Nina Chairani dan foto-foto Agung Supriyanto.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Keindahan Bernama Tana Toraja

Masyarakat Suku Toraja percaya bahwa mereka berasal dari surga tempat semua keindahan bermula.

SELENGKAPNYA

Deretan Rumah Sakral Toraja

Pembangunan sebuah tongkonan menghabiskan ratusan juta rupiah.

SELENGKAPNYA

Agungnya Kematian di Tana Toraja

Sebelum dimakamkan, jenazah masih disimpan di tongkonan, diperlakukan laiknya manusia hidup.

SELENGKAPNYA