
Dunia Islam
Awal Mula Syiar Islam di Bali
Kalangan pendakwah Islam kemungkinan besar telah mencapai Bali sejak abad kesembilan atau ke-10 M.
Sejarah interaksi Muslimin dengan penduduk lokal Bali dapat dilacak setidaknya sejak abad pertama Masehi. Pada masa itu, Pulau Dewata sudah masyhur sebagai salah satu pelabuhan internasional di Asia Tenggara. Kapal-kapal yang berlayar ke sana tidak hanya datang dari kawasan Nusantara, melainkan juga luar negeri, semisal India, Cina, dan bahkan Timur Tengah.
Berbagai kawasan arkeologis di Kabupaten Buleleng membuktikan adanya jejak perjumpaan masyarakat lokal dengan bangsa-bangsa asing itu. Misalnya, situs pra-Hindu Pangkung Paruk di Kecamatan Seririt atau Desa Julah dan Desa Sembiran di Kecamatan Tejakula.
Di Pangkung Paruk, para arkeolog telah menemukan manik-manik berlapis emas yang diketahui berasal dari Persia (Iran). Sementara itu, sejumlah peneliti berhasil mengungkap prasasti yang bertarikh abad kesembilan atau ke-10 di Desa Julah. Pada artefak tersebut, terdapat keterangan mengenai macam-macam perahu yang pernah membuang sauh di Bali Utara.
Dalam rentang abad kedelapan hingga ke-14 M, peradaban Islam umumnya sedang di puncak kejayaan. Agama ini tentunya sudah menyebar jauh dari pusatnya di Jazirah Arab, seiring dengan arus migrasi para pelaut, pedagang, dan ulama ataupun salik Muslim.
Bahkan, bila merujuk pada pendapat Prof Buya Hamka, seperti disebut dalam buku Sejarah Umat Islam, “telah datang utusan dari Tanah Arab ke Pulau Jawa sekitar tahun 675 M.” Masih menurut Hamka, mereka sempat mengunjungi Kerajaan Kalingga--sekitar Jawa Tengah. Maka dari itu, sangat mungkin jika sejumlah dai Islam telah tiba di Bali sejak abad kesembilan atau ke-10 M.
Sangat mungkin jika sejumlah dai Islam telah tiba di Bali sejak abad kesembilan atau ke-10 M.
Brigitta Hauser-Schaublin dalam “Bali Aga and Islam: Ethnicity, Ritual Practice, and ‘Old-Balinese’ as An Anthropological Construct” (2004), mengatakan, Desa Sembiran di Kabupaten Buleleng mayoritasnya dihuni masyarakat Bali Mula atau Bali Aga (non-Javanized Hindu-Balinese). Mereka menganut animisme. Sejak zaman pra-kolonial, orang-orang itu telah berinteraksi dengan para penganut agama tauhid, terutama dari kalangan saudagar Muslim yang berlabuh di pantai Bali Utara.
Malahan, Hauser-Schaublin memaparkan, ritual adat yang dilakukan orang-orang Bali Aga di sana diwarnai etika toleransi terhadap komunitas Islam. Sebagai contoh, dalam setiap upacara mereka mempersiapkan makanan yang tidak mengandung daging babi sebagai tambahan sesajen.
Kecenderungan tenggang rasa yang serupa juga ditemukan di Desa Julah. Dosen arkeologi Universitas Udayana Rochtri A Bawono dalam wawancara dengan Republika (2020) menuturkan, dirinya pernah mengadakan penelitian lapangan di situs arkeologis tersebut.
Salah satu temuannya, Tari Baris yang masih sering ditampilkan masyarakat setempat hingga saat ini di pura-pura. Ternyata, kesenian khas tradisi lokal itu menampilkan adegan tokoh-tokoh Melayu Muslim.
Identitas Melayu Islam itu tampak dari penampilan beberapa penari pria yang memakai peci beserta sarung. Dalam tari tersebut, mereka dimunculkan sebagai sosok yang berjasa karena telah mengobati penduduk. Maka dari itu, lanjut akademisi tersebut, komunitas Muslimin dihormati masyarakat setempat tidak hanya sebagai pedagang, melainkan juga tabib.
Toleransi negeri Gelgel
Penyebaran Islam di Bali tak lepas dari riwayat Negeri Gelgel, yang kini termasuk wilayah Kabupaten Klungkung. Dakwah agama tauhid mulai berkembang secara signifikan di Gelgel sejak masa pemerintahan Dalem Ketut Ngalesir (1380-1460 M).
Berdasarkan catatan sejarah, raja pertama Gelgel itu pernah berkunjung ke ibu kota Majapahit untuk menghadiri suatu pertemuan agung. Usai acara tersebut, Dalem Ketut Ngalesir dan seluruh pemimpin negeri bawahan Majapahit yang hadir bermohon diri. Sebelum beranjak pulang, raja Majapahit memberikan kepadanya sebanyak 40 orang pengawal--yang semuanya Muslim.
Para pengawal tersebut akhirnya menetap di Bali. Raja Dalem Ketut menghadiahkan sebidang tanah kepada mereka. Sejak saat itu, para pemeluk Islam tersebut berbaur dengan penduduk setempat, sembari tetap memegang otonomi dalam menjalankan hukum-hukum syariat. Mereka juga menikah dengan perempuan-perempuan Bali dan memiliki anak keturunan. Sampai sekarang pun, wilayah Gelgel masih kuat akan nuansa keislaman.
Sejak 1480, Dalem Ketut turun takhta dan kedudukannya digantikan Raja Dalem Waturenggong. Babad Dalem menceritakan suatu kisah tentang kedatangan sejumlah utusan Muslim ke Gelgel. Mereka disebut-sebut berasal dari Makkah. Namun, beberapa ahli sejarah menduga, para mubaligh tersebut sesungguhnya dikirim dari Kesultanan Demak untuk berdakwah di Bali.
Dalem Waturenggong menerima rombongan delegasi itu dengan penghormatan yang baik. Akan tetapi, saat diajak untuk memeluk Islam sang raja menolaknya secara sopan.
Versi lain sebagaimana dijelaskan Indriana Kartini dalam artikelnya, “Dinamika Kehidupan Minoritas Muslim di Bali” (2011) mengatakan, di antara rombongan pendakwah itu terdapat Ratu Dewi Fatimah. Perempuan ningrat Jawa itu mengajak Dalem Waturenggong untuk memeluk Islam dan bahkan bersedia menjadi istri jika raja Bali itu mengucapkan dua kalimat syahadat.
Konon, Ratu Dewi Fatimah gagal karena upaya yang semestinya mengkhitan Dalem Waturenggong ternyata tidak mampu memutuskan bulu kaki raja tersebut. Akhirnya, Ratu Dewi Fatimah kembali ke Loloan (kini termasuk Kabupaten Jembrana), tempat pertama dirinya tiba di Pulau Bali. Setelah Muslimah itu wafat, para pengiringnya kembali ke Gelgel dan bermukim di sana.
Meskipun Dalem Waturenggong tidak sampai memeluk Islam, syiar agama ini tidak lantas meredup di Bali. Pada masa raja-raja Gelgel berikutnya, komunitas Muslim tetap melebur dan berinteraksi sewajarnya dengan penduduk setempat.
Orang-orang Islam yang tinggal di pesisir Pulau Dewata umumnya berasal dari Bugis.
Memasuki abad ke-17, pertumbuhan komunitas Islam di Bali cenderung berkaitan dengan aktivitas perniagaan di pelabuhan-pelabuhan. Orang-orang Islam yang tinggal di pesisir Pulau Dewata umumnya berasal dari Bugis. Sebab, mereka memiliki banyak perahu yang bagus. Kedatangannya diperkirakan terjadi antara tahun 1618 dan 1640 melalui Sumbawa atau Lombok.
Gelombang migrasi orang-orang Bugis itu berkenaan dengan takluknya Kerajaan Gowa terhadap Belanda. Sultan Hasanuddin (1631-1670) terpaksa menandatangani Perjanjian Bungaya pada 18 November 1667. Sejak saat itu, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) alias Kompeni semakin mendominasi perdagangan rempah-rempah di Sulawesi. Para pelaut Muslim Bugis yang menolak berhubungan dengan bangsa Eropa itu lantas pergi ke daerah-daerah lain, termasuk di antaranya Bali.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Menengok Lagi Perjalanan Karier Putri Ariani
Pencapaian ini bukan akhir perjalanan Putri.
SELENGKAPNYATamparan Umar untuk Fatimah Berlanjut Menuju Hidayah
Melihat keadaan saudara perempuannya dalam keadaan berdarah, timbul penyesalan dan rasa malu dalam hati Umar
SELENGKAPNYAEkspresi Pilihan Politik ASN yang Terbatas di Bilik Suara
ASN tak boleh terlibat atau jadi alat politik untuk memenangkan kandidat tertentu.
SELENGKAPNYA