
Safari
Kuningan dalam Rantai Prasejarah
Ragam peninggalan di Kuningan dapat mengungkap sejarah Tanah Parahyangan.
Eksistensi dua situs yang diduga berasal dari tiga era berbeda di Kuningan yakni megalitikum, neolitikum hingga perunggu menunjukan ada satu tanda unik di kabupaten ini. Kasi budaya dan sejarah Disparbud Kuningan saat itu, Ritto mengatakan, perlu banyak penelitian dilakukan kembali di Kuningan, khususnya untuk Gunung Tilu.
Menurutnya, ragam peninggalan bebatuan kuno di Kuningan dapat mengungkap kepastian sejarah di Tanah Parahyangan. Terlebih, setidaknya sudah ada banyak peninggalan megalitikum yang ditampung oleh pemerintah setempat.
Bahkan di Taman Purbakala Cipari, masih tersimpan berkardus-kardus peninggalan megalitikum yang tak bisa dipajang karena saking menumpuknya. Ritto menunjuk Gunung Tilu sebagai situs maha penting yang bisa membuat isi buku sejarah di bangku-bangku sekolah berubah.
Kemungkinan besar, kata dia, ragam gambar dan bebatuan yang tersaji di puncak Gunung Tilu adalah tanda dari pergeseran zaman prasejarah menuju sejarah. Ia berujar, tanda-tanda yang disajikan di batu naga menunjukan adanya penanda asal muasal Kuningan pimpinan Prabu Seuweukarma.

“Kan di masa Hindu-Budha masuk sangat kental nuansa gambar naga dari kisah punakawan pewayangan, jadi gambar di batu itu sangat terpengaruh oleh ajaran agama,” ujarnya.
Bersamaan dengan perkembangan Hindu-Budha yang kental, daerah Kuningan yang dipimpin Prabu Seuweukarma mulai menunjukkan ragam seni keagamaannya. Dan Ritto meya kini, apa yang ditunjukan situs batu naga mengarah pada dugaan adanya tempat peribadatan di puncak Gunung Tilu.
Dia sepakat bahwa dataran tinggi memang kerap dianggap sebagai tempat paling tinggi dengan Sang Hyang oleh masyarakat Indonesia. Entah itu zaman purbakala ataupun kini.
Dengan kentalnya pengaruh Hindu-Budha dalam kehidupan masyarakat kala itu, tak menutup kemungkinan gambar-gambar yang tercantum di batu naga merujuk pada proses keagamaan.

“Ini perlu terus didalami, sayang nya memang untuk menjangkau situs itu luar biasa berat, saya mengundang para ahli sejarah atau arkeolog untuk meneliti misteri di atas Gunung Tilu itu,” ujarnya.
Ketua Masyarakat Arkeologi Universitas Indonesia Dr Ali Akbar juga mengungkapkan pendapat segaris. Dia berujar, tak menutup kemungkinan pula bahwa gambar di situs batu naga berasal dari pengaruh ajaran Hindu-Buddha. Pasalnya, menurut dia, laki-laki pelontos yang digambarkan dalam permukaan batu naga mirip dengan sosok semar dalam tokoh dunia pewayangan.
Kemunculan sosok semar yang mulai dikenal sejak era di akhir sebelum Masehi hingga awal Masehi diyakini menjadi karakter teladan masyarakat kala itu. “Semar kan sakti dan mirip dengan yang digambar di situs itu, ada kemungkinan juga ini pengaruh Hindu-Buddha,” kata dia.
Ali mengatakan, demi menjawab misteri bebatuan di Kuningan serta harta apa yang tersimpan di setiap situsnya ini, dia siap mengemban misi penting di awal tahun 2015 ini. ia berujar, telah membentuk program aplikatif untuk diterapkan kepada masyarakat Dusun Banjaran.

Program ini mengandalkan pengabdian masyarakat untuk dapat turut mengupas dan menjaga sejarah situs batu naga. “Kami buat dalam bentuk pelatihan dan pemanduan serta edukasi kepada warga Dusun Banjaran soal situs ini,” ujarnya.
Dalam praktiknya, ia juga akan membangkitkan rasa kepemilikan warga Dusun Banjaran pada situs batu naga. Dimulai dari pemberian pelatihan pembuatan jalur pendakian di Gunung Tilu. Pasalnya menurut dia, hal ini menjadi dasar penting untuk dapat mengupas kebenaran yang ada di balik Batu Naga.
“Ke Dusun Banjaran saja jalannya sudah jelek, ini ditambah sulit untuk mendaki ke sana, jadi kami akan segera praktikkan dengan melibatkan masyarakat setempat,” kata dia.
Tahu Lamping
Kuningan punya tahu khas, tahu lamping. Satu yang spesial, tahu dengan tekstur mirip tahu sumedang ini memiliki volume yang lebih padat. Isinya tetap berongga tapi tidak sekosong tahu sumedang. Dengan pinggiran kering kecokelatan, ukurannya yang sebesar kepalan tangan bayi membuat mulut sulit untuk tidak terus memakannya.

Saya memilih salah satu kedai di Jl Veteran Jagabaya, Kampung Cikentungan. Sebenarnya di jalan ini berjejer para penjaja tahu lamping. Ada sebelas jumlahnya. Kedai tahu lamping ini menggunakan nama lamping di plangnya dengan tambahan kata ‘Kuningan’ di bawahnya.
Yeyen, begitu nama wanita pemilik kedai itu, bercerita para penjual tahu di sepanjang jalan ini dimiliki oleh satu para pedagang yang terhubung tali persaudaraan. “Kami dari orang asli sini, penjual saudara semua, malah di belakang kedai itu ada kampung, semuanya bikin tahu,” ujar Yeyen masih sambil tak melepaskan spatula raksasanya.
Kedai seperti layaknya warung pinggir jalan ini terbuka. Tahu-tahu hasil penggorengannya berjejer di muka kedai menggoda para pelintas. Ada ribuan tahu hasil Yeyen menggoreng.

Semua dibiarkan tergeletak di atas meja selebar 3 meter x 1 meter. Masuk ke dalam kedai, ada seorang tua sedang mengaduk cairan kedelai dalam sebuah kuali berdiameter 1 meter.
Yeyen menyatakan dengan bangga bahwa ia berasal dari keluarga produsen tahu. Ayahnya memulai usaha ini pada 1950. Di lokasi yang sama saat itu Jl Veteran masih disesaki pohon laiknya hutan. Hanya ayahnya dan empat saudara di sekitar lokasi ini berinisiatif menjajakan tahu lamping, modifikasi dari tahu sumedang.
Konsep tahu lamping yang memberikan rasa asin ternyata disukai. Mereka yang bosan dengan gurih tawarnya tahu sumedang mulai melirik tahu lamping sebagai panganan wajib coba.
Sekitar 39 tahun kemudian, Yeyen si anak kelima mulai mengikuti jejak ayahnya. Satu buah tahu ia jual Rp 500. Dalam tiga hari ia dapat meraup untung kotor Rp 16 juta.
Disadur dari Harian Republika edisi 18 Januari 2015 dengan reportase oleh Gilang Akbar Prambadi dan foto-foto Yasin Habibi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Keindahan Bernama Tana Toraja
Masyarakat Suku Toraja percaya bahwa mereka berasal dari surga tempat semua keindahan bermula.
SELENGKAPNYADeretan Rumah Sakral Toraja
Pembangunan sebuah tongkonan menghabiskan ratusan juta rupiah.
SELENGKAPNYAAgungnya Kematian di Tana Toraja
Sebelum dimakamkan, jenazah masih disimpan di tongkonan, diperlakukan laiknya manusia hidup.
SELENGKAPNYA