Batu Naga atau Batu Tulis di Puncak Gunung Tilu, Perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Barat, Kuningan, Jawa Barat. | Republika/ Yasin Habibi

Safari

Sepasang Naga Misterius di Kuningan

Batu Naga diperkirakan sudah tertancap di Gunung Tilu sejak 2000 sebelum Masehi.

Inilah yang kami lihat setelah perjalanan bersusah payah mendaki Gunung Tilu di Kuningan, Jawa Barat. Dua buah batu. Ada relief membelah setiap bagian batu berdiameter 70 centimeter (cm) ini. Berjarak hanya 150 cm, batu yang berada di kiri dari timur memang polos, tapi lain dengan satunya. Batu yang berdiri di sebelah kanannya ini bak kain kanvas dipenuhi gambar-gambar aneh.

Di sisi barat, di permukaan batu dengan bentuk mirip nisan itu tertuang gambar sebuah naga hendak muncul dari dasar tanah. Di batu sisi timur, naga tersebut muncul lagi dalam gambar.

Kali ini, naga dengan lidah yang menjulur itu seperti sedang digenggam ekornya. Seorang pria berkepala plontos erat menggenggam ekor naga dengan jemari-jemari kirinya sambil menenteng pedang di tangan kanan.

Gambar lalu beralih ke sisi selatan, di bagian ini, ada sebuah gambar rumah panggung dengan dua orang duduk di kolongnya. Di atas atap rumah tersebut, digambarkan sesuatu seperti ada sebuah muncratan.

photo
Batu Naga atau Batu Tulis di Puncak Gunung Tilu, Perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Barat, Kuningan, Jabar. - (Republika/ Yasin Habibi)

Di bawah gambar tersebut, tampak terjadi sebuah kekacauan. Orang-orang sibuk berjejer sambil menggenggam pedang di tengah hewan-hewan yang lalu-lalang.

Saya sempat bingung dengan alur cerita yang coba digambarkan oleh si kreatornya. Bertanya kepada para pemandu bukan sebuah langkah tepat. Sejak datang sehari sebelumnya ke dusun ini, saya sudah diingatkan Kepala Dusun Rusdiana. Dia barujar, satu dari 689 warga setempat, tak ada yang mengetahui ikhwal batu naga. Masyarakat Dusun Banjaran hanya mengetahui bahwa batu yang mereka sebut sebagai batu tulis sudah ada, bahkan sebelum warga di sini menetap.

Kebingungan ini semakin berlipat karena permukaan relief di batu naga sama sekali tak kasar. Lekukan 'ukiran' gambarnya memiliki kehalusan yang baik. Mirip gores tulisan tanggal pembuatan pada sebuah tembok bangunan yang masih basah. Hanya saja, ini lebih halus dengan tidak meninggalkan gesekan kasar di sisi-sisinya. Sejuta misteri di dalam batu inilah yang konon membuatnya dinamakan 'Batu Naga'.  

Mitologi prasejarah

Menurut Ketua Masyarakat Arekeologi Universitas Indonesia (UI) Ali Akbar, batu kedua yang memiliki tiga sisi itu menyimpan sebuah kisah mitologi masyarakat prasejarah setempat di masa Megalitikum. 

 
photo
Petugas mengukur Batu Naga atau Batu Tulis di Puncak Gunung Tilu. - (Republika/ Yasin Habibi)

Dalam versinya, Ali yang sudah sering bolak-balik puncak Gunung Tilu untuk meneliti batu naga mengatakan ada kisah spiritual terkandung pada relief tersebut. Ia memulai ceritanya dengan sisi yang sama seperti pandangan saya.

Ada sebuah naga keluar, lalu hewan mitos itu bukan berkelahi dengan si pria plontos. "Tetapi, mereka sepertinya sedang menyatu, berinteraksi untuk menciptakan kehidupan di dunia ini," kata dia.

Dan dalam gambar di sisi terakhir, justru bukan kehiruk-pikukan yang menurut Ali ingin diperlihatkan si pembuat relief. Dia berujar, yang hendak digambarkan sang kreator adalah tentang sudah terciptanya kehidupan pascahubungan naga dengan si pria plontos.

Penalaran Ali ini bersandar pada fakta bahwa masyarakat lampau kerap menggambar sesuatu yang bertema spiritual bila menemukan bebatuan. Ia meyakini, dahulu manusia purbakala Kuningan yang hidup di era Megalitikum sudah menemukan kecerdasan dalam otaknya. Pikiran tentang Yang Maha Pencipta pun tak bisa dihindarkan seiring dengan berkembangnya kecerdasan.

 
photo
Batu Naga atau Batu Tulis di Puncak Gunung Tilu. - (Republika/ Yasin Habibi)

"Diperkirakan batu ini sudah tertancap di sana sejak 2000 SM, dan kemungkinan gambarnya baru ada ratusan tahun kemudian, bisa jadi ini memang cerita tentang konsep terciptanya dunia," kata Ali.

Tapi, Ali mengaku masih haus dengan kebenaran dari misteri batu naga ini. Masih banyak yang belum mampu terjawab atas kejanggalan-kejanggalan di batu tersebut. Misalnya, susunan batu-batu tergeletak yang ada di dekat situ batu naga ini.

Ali yang pada akhir Januari akan kembali ke Gunung Tilu dengan membawa tim arkeologi lebih banyak mengaku memiliki dugaan cukup liar. Bisa jadi, menurutnya, susunan di puncak Gunung Tilu itu merupakan bekas sebuah bangunan bertingkat mirip punden berundak. Tentunya, mengintip susunan batu yang berserakan dengan radius lebih dari 50 meter, tak terbayang seberapa besar punden berundak tersebut.

"Bagi masyarakat prasejarah, bahkan sampai saat ini, tempat tinggi selalu berhubungan dengan kedekatan Sang Pencipta, sangat besar kemungkinan dulunya ini adalah altar pemujaan," kata Ali.  

Guci berjuta liter air

Sebelum perjalanan untuk turun, pemandu-pemandu kami membawa saya dan rekan ke sebuah lokasi tempat satu buah guci ditempatkan. Konon, guci ini tak pernah kehabisan air bersih meski diteguk berkali-kali. Di sinilah baru kisah rakyat Dusun Banjaran saya dapatkan.

photo
Guci Gunung Tilu. - (Republika/ Yasin Habibi)

Sebelumnya, guci yang kini dibuat dari tanah liat itu berbahan kaca. Namun, dengan legenda kisahnya, guci ini malah jadi rebutan orang hingga akhirnya baru disadari hilang beberapa tahun silam.

"Dulu Prabu Siliwangi penguasa Pasundan saat perang dengan daerah tetangga selalu beristirahat di Gunung Tilu, pasukannya minum dari guci ini dan airnya tidak habis-habis, ada sejuta liter mungkin airnya," kata Pak Im, salah seorang di antara pemandu kami.

Mendengar cerita ini, saya tak lantas mencoba meneguk air dalam guci tersebut. Selain masih memiliki persediaan air minum, tampaknya apa yang saya bawa masih lebih bersih dari isi guci tersebut.

Disadur dari Harian Republika edisi 18 Januari 2015  dengan reportase oleh Gilang Akbar Prambadi dan foto-foto Yasin Habibi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Keindahan Bernama Tana Toraja

Masyarakat Suku Toraja percaya bahwa mereka berasal dari surga tempat semua keindahan bermula.

SELENGKAPNYA

Deretan Rumah Sakral Toraja

Pembangunan sebuah tongkonan menghabiskan ratusan juta rupiah.

SELENGKAPNYA

Agungnya Kematian di Tana Toraja

Sebelum dimakamkan, jenazah masih disimpan di tongkonan, diperlakukan laiknya manusia hidup.

SELENGKAPNYA