
Resonansi
Hard Selling vs Soft Selling dalam Dakwah
Propaganda melalui tayangan film sangat efektif menghunjam pemikiran dan jiwa.
Oleh ASMA NADIA
Bayangkan jika ada orang yang dengan tegas melarang, “Jangan shalat Maghrib!”
Apa yang terjadi? Mungkin masyarakat Muslim akan merangsek, tidak hanya marah dan menghujat.
Namun jika hal itu dilakukan dengan menyajikan konser musik mulai pukul 5 sore selesai pada pukul 7 malam, atau memutar film dan acara menarik yang melewati waktu Maghrib, peluang banyak anak muda Muslim melewatkan shalat Maghrib lebih besar, tanpa mereka dan banyak pihak menyadari bahaya jangka panjangnya.
Imajinasikan jika ada yang membela dengan terus terang, “Mencintai sesama jenis adalah hal yang normal dan boleh!” Bukan mustahil pernyataan itu seketika mengundang konflik berkepanjangan.
Namun jika kalimat tersebut disisipkan dalam dialog tayangan audio visual, film atau drama seri di televisi, misalnya ada seorang anak yang bertanya pada ibunya, “Bu, mengapa om itu pakai sepatu hak tinggi dan pakai lipstik. Terus, kok laki-laki sama laki-laki gandengan?"
Lalu sang ibu menjawab, “Tidak apa Nak, itu pilihan masing-masing. Selera orang tidak boleh kita ikut campur. Biarkan mereka bebas memilih. Nanti kamu setelah dewasa akan mengerti.” Sang anak mengangguk.
Tanpa sadar, karena hanya dialog sekilas, bisa jadi penonton yang menyaksikan lengah dan tidak waspada telah terpapar konsep bahwa cinta sesama jenis hal yang wajar dan harus diterima.
Tanpa sadar, karena hanya dialog sekilas, bisa jadi penonton yang menyaksikan lengah dan tidak waspada telah terpapar konsep bahwa cinta sesama jenis hal yang wajar dan harus diterima. Dari pendekatan ini, propaganda melalui tayangan film sangat efektif menghunjam pemikiran dan jiwa.
Dakwah pada dasarnya adalah marketing. Menawarkan kebaikan Islam, mensosialisasikannya agar umat ingat Islam sebagai ajaran yang benar, rahmatan lil 'alamin yang menyelamatkan manusia di dunia maupun akhirat nanti.
Sebagaimana marketing yang bisa dilakukan dengan dua pendekatan, soft selling dan hard selling, atau cara halus dan keras, dakwah juga bisa disampaikan secara lugas, langsung tanpa tedeng aling-aling, dengan keras dan gas pol, atau disampaikan secara halus, tidak menggurui, tidak langsung, dan menargetkan alam bawah sadar.
Seperti halnya marketing, kedua pendekatan ini punya kelebihan dan kekurangan, tetapi keduanya harus diterapkan jika ingin menguasai 'pasar' dalam hal ini pikiran dan jiwa umat.
Di dunia marketing, hard selling dilakukan ketika menghadapi customer yang memang datang untuk membeli. Orang yang datang ke pasar sebab ada keperluan, mereka yang berkunjung memang berniat belanja, di sana penjualan dilakukan secara gamblang.
Sebagaimana marketing, dakwah hard selling dilakukan melalui sekolah, lembaga pendidikan, majelis taklim, pengkajian rutin dan intensif, serta pengkaderan. Bahkan dalam pengkajian yang intensif dilakukan kadangkala dengan pendekatan lugas dan tegas.
Sebagaimana marketing yang bisa dilakukan dengan dua pendekatan, soft selling dan hard selling, atau cara halus dan keras.
Di dunia daring, marketing dilakukan dengan pendekatan soft selling. Orang yang sedang membaca berita dibujuk melalui iklan untuk mampir ke toko daring.
Mereka yang sedang berselancar di internet digoda sebuah berita dengan clickbait yang memprovokasi rasa penasaran, padahal setelah dibaca isi beritanya ternyata biasa saja.
Kenyataannya tidak bisa dinafikan pada saat ini, pendekatan soft selling memberikan hasil jauh lebih menguntungkan.
Alih-alih mengatakan mobil listrik ini yang terbaik, di masa kini perusahaan mobil meminjam sosok Youtuber untuk mereview sebuah mobil keluaran terbaru. Dibuat seakan natural, tapi tujuan akhirnya adalah meningkatkan antusias penyimaknya pada mobil tersebut.
Atau memakai aktor dan model terkenal mengendarai mobil tertentu dalam adegan kejar-kejaran di film, di luar iklan yang biasa ada.
Para aktivis dakwah belum sepenuhnya memahami betapa dakwah soft selling sangat potensial diterima sehingga sebagian besar masih mengandalkan pendekatan konvensional semata. Tentu tidak salah, sebab ini pun diperlukan.
Perlu digarisbawahi kelompok pemikiran bebas yang berseberangan dengan Islam justru sangat mahir menggunakan pendekatan soft selling untuk menyebarkan propaganda.
Tetapi perlu digarisbawahi kelompok pemikiran bebas yang berseberangan dengan Islam justru sangat mahir menggunakan pendekatan soft selling untuk menyebarkan propaganda. Dengan kepiawaian tersebut, nilai ajaran mereka lebih cepat diterima daripada pendekatan yang dilakukan dengan tegas.
Sebut saja propaganda Zionisme. Selain hard selling melalui doktrin penderitaan bangsa Yahudi melalui pelajaran sejarah dan artikel yang disebar luas.
Film maker menyisipkan berbagai isu holocaust dalam banyak sekali film, hingga akhirnya memperkokoh keberadaan negara Israel dan memperkuat posisi mereka di dunia termasuk mendapat permakluman sekalipun sangat sering melakukan pelanggaran hak kemanusiaan bangsa Palestina.
Distorsi sejarah yang terjadi, malah menjadi pegangan dunia yang resmi, dan lalu menentukan apa yang benar dan tidak benar. Siapa yang berhak dan tidak berhak atas bumi Palestina.
Begitu juga propaganda seks bebas. Penyokongnya tidak perlu mendoktrin masyarakat dunia tentang kebebasan seks. Dengan pendekatan seni, mereka merilis film box office yang menyebarkan konsep hubungan badan tanpa menikah sebagai kelaziman.
Nilai-nilai itu terus disyiarkan dan kini diterima secara luas. Termasuk propaganda LGBT yang marak melalui tayangan drama seri dan film. Adegan ciuman, bahkan hubungan intim sesama jenis sudah bisa diakses bahkan oleh mata belia, ada di mana-mana.
Sekarang bahkan bukan hanya disisipkan pada nyaris setiap film Hollywood, melainkan juga produksi drama atau film dari Asia; Thailand, Cina, juga makin sering dijumpai pada drama Korea walau relatif lebih tipis.
Mereka terus berusaha menghipnotis dan melegalisir konsep hubungan sesama jenis sebagai sebuah kebenaran, hal manusiawi, dan barisan yang menolak sebagai tidak memahami hak asasi manusia, perbedaan gender, dan sebagainya.
Dakwah secara konvensional maupun melalui media kreatif, keduanya dibutuhkan, seharusnya terus bersisian dan saling menguatkan, hingga ruang-ruang kebaikan terisi secara lebih maksimal tanpa menyisakan shaf kosong.
Menyadari tantangan itu, kita yang peduli dengan dakwah dan masa depan generasi muda, harusnya mengapresiasi, merasa terbantu dan mendukung ketika lahir dakwah melalui jalur soft selling memanfaatkan berbagai media kreatif seperti buku, pertunjukan teater, drama series, film, dan lain-lain.
Jalur ini punya kekuatan lebih untuk menembus anak muda dan gen Z yang memang tidak menyukai pendekatan atau gaya pendidikan yang menggurui. Generasi muda sekarang harus merasa mereka berbuat sesuatu karena keinginan sendiri.
Dan cara terbaik, menyisipkan input ke mereka adalah melalui pendekatan soft selling. Pada dasarnya dakwah memang harus sesuai target yang dibidik, termasuk gaya bahasa dan pendekatan.
Karenanya menjadi sesuatu yang mendesak bagi penggerak dakwah untuk mendalami pendekatan ini, hingga terbangun saling memahami, dan berikutnya walau berbeda shaf, secara nyata saling sokong.
Dakwah secara konvensional maupun melalui media kreatif, keduanya dibutuhkan, seharusnya terus bersisian dan saling menguatkan, hingga ruang-ruang kebaikan terisi secara lebih maksimal tanpa menyisakan shaf kosong.
Dengan cara itu kita memastikan syiar kebaikan akan lebih berpeluang diterima, khususnya pada anak-anak muda yang memiliki gaya dan karakter tersendiri, yang tak sama dengan generasi pendahulunya.
Berhias untuk Suami
Hak suami terhadap istri adalah hendaknya istri selalu berusaha melakukan sesuatu yang dapat menumbuhkan rasa cinta
SELENGKAPNYAUlama Sunda Pengajar Qiraat di Tanah Suci
Ajengan Siroj diangkat oleh pemerintah Arab Saudi menjadi pelantun Alquran di Masjidil Haram.
SELENGKAPNYARujukan Ilmu Qira'at, Karya Ulama Nusantara
Buku karya KH Arwani Amin ini membahas ilmu qiraat secara komprehensif.
SELENGKAPNYA