
Kisah
Langkah Salman al-Farisi Menuju Islam
Salman al-Farisi melalui perjalanan yang cukup panjang dan berliku sebelum berjumpa dengan Nabi SAW, dan menyatakan Islam.
Di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW, ada yang bukan "mantan" musuh atau pernah memusuhi Rasulullah SAW. Dalam arti, mereka memiliki riwayat sebagai pencari kebenaran. Tandanya, belum pernah sekalipun menyembah berhala atau mengimani salah satu agama Ahlul Kitab.
Salman al-Farisi barangkali dapat dikelompokkan dalam golongan demikian. Sebelum berislam, lelaki asal Persia ini pernah menganut agama Nasrani.
Semula, sebagaimana umumnya orang Persia kala itu, ia dibesarkan dalam lingkungan Majusi. Bahkan, ayahnya merupakan tokoh agama ini di kota tempat tinggalnya.
Hingga suatu ketika, ia menemukan sebuah kafilah Nasrani ketika sedang berada dalam rombongan perjalanan di Persia bagian barat. Karena tertarik, Salman lalu berbincang dengan orang-orang pemeluk Kristen itu.
"Dari mana asal-usul agama ini?" tanyanya.
Mereka pun menjawab, "Dari Syam."
Salman muda pun penasaran, "Jika rombongan dari Syam yang Nasrani datang ke sini (Persia) untuk berdagang, dapatkah kalian mengabarkanku?"
Mereka setuju. Sejak saat itu, akrablah Salman dengan orang-orang Kristen ini. Saking akrabnya, ia sampai melalaikan tugas yang telah diberikan ayahnya.
Begitu ketahuan, Salman pun mendapati bapaknya marah besar. Begitu kembali ke kota asalnya, sang ayah menghukumnya dengan keras. Ia tidak diperbolehkan keluar rumah sama sekali.

Salman merasa diperlakukan bak seorang budak. Hingga sekian lama, pemuda nan cerdas ini mendapati kabar bahwa ada serombongan Kristen melewati kotanya. Mereka bahkan bersiap akan kembali ke Syam.
Salman berusaha keras untuk kabur dari rumah. Malahan, dengan sekuat tenaga diputusnya rantai besi yang mengunci pintu kamarnya. Segera, ia pergi menemui rombongan Nasrani tersebut dan ikut menempuh perjalanan ke Syam bersama mereka.
Setiba di Syam, ia mencari ahli agama Kristen setempat. Sejumlah warga pun menyarankan kepadanya agar menemui seorang uskup di sebuah gereja.
Kepada tokoh Nasrani ini, pemuda Persia tersebut menyatakan maksud mengabdikan diri di gerejanya. "Aku sangat mencintai agama ini. Bolehkah saya tinggal bersama Tuan agar saya dapat belajar dan sembahyang bersama? Aku akan membantumu mengurus gereja," pintanya. Sang uskup pun mempersilakannya.
Tahun demi tahun berlalu. Si uskup itu meninggal. Seperti diwasiatkan mendiang, Salman pun berangkat ke Irak untuk menemui rahib lain yang bisa menjadi gurunya.
Sama keadaannya seperti dahulu. Beberapa bulan kemudian, rahib ini wafat. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, mendiang menasihati Salman agar menemui seorang ahli agama Kristen di Amuria.
Maka, Salman pun menetap di kota tersebut. Dengan kerja keras, ia pun kini mempunyai beberapa ekor sapi dan kambing. Tak berlangsung lama, akhirnya rahib yang menyebar agama Kristen di Amuria itu menjelang ajalnya.
"Wahai anakku," kata rahib ini, "demi Allah, aku tidak mengetahui seorang pun yang bisa menjadi gurunya sepeninggalku nanti. Namun, ketahuilah! Telah hampir tiba waktu munculnya seorang nabi! Dia diutus oleh Allah dengan membawa ajaran Nabi Ibrahim. Nabi itu akan diusir dari suatu tempat di Arab, kemudian berhijrah menuju daerah di antara dua perbukitan, seperti dijelaskan dalam kitab kita."
Dia diutus oleh Allah dengan membawa ajaran Nabi Ibrahim. Nabi itu akan diusir dari suatu tempat di Arab, kemudian berhijrah.
Rahib ini menerangkan, di antara dua bukit yang dimaksudkannya itu tumbuh pohon-pohon kurma. Kemudian, pada badan nabi itu terdapat tanda-tanda yang tidak dapat disembunyikan. Tanda lainnya adalah, sosok nabi tersebut mau menerima hadiah, tetapi bukan sedekah.
"Di antara kedua bahunya terdapat tanda kenabian. Jika engkau bisa menuju daerah itu, berangkatlah ke sana," demikian pesan terakhir rahib itu.
Sesudah gurunya itu wafat, Salman berangkat bersama rombongan Bani Kalb. Selama ikut mereka, ia memberikan imbalan berupa sapi dan kambing. Sayangnya, ketika tiba di Wadi al-Qura (antara Syam dan Madinah), mereka berkhianat. Salman diringkus dan lalu dijualnya sebagai budak ke tangan seorang Yahudi.
Sejak menjadi budak, Salman tidak lagi bisa bebas bergerak untuk mendapatkan informasi--apatah lagi menuju daerah yang diprediksi sebagai tempat nabi akhir zaman berada. Hingga kemudian, majikannya membawa Salman ke suatu daerah dekat Yastrib.

Berjumpa Nabi
Karena giat bekerja, Salman diberi keleluasaan lebih dibandingkan para budak pada umumnya. Ia pun kini bisa memiliki waktu lebih luang untuk pergi ke tempat-tempat umum, semisal pasar. Bukan hanya untuk membeli barang-barang sebagaimana perintah majikannya. Di sana pun, ia diam-diam bisa menjaring "informasi" dari orang-orang.
Pucuk dicinta, ulam tiba. Akhirnya, ia mendengar pembicaraan orang-orang tentang adanya sosok yang mengaku sebagai utusan Allah. Mereka menyebut, sosok itu bernama Muhammad dan tinggal di Yastrib sesudah diusir oleh kaumnya sendiri, yakni penduduk Makkah.
Pada suatu sore, Salman berupaya ke Yastrib untuk menemui Nabi SAW. Setelah mengikuti petunjuk warga, sampailah ia di Masjid Nabawi, dan berjumpa langsung dengan al-Musthafa. Kepadanya, ia menyerahkan sekantong kurma sebagai pemberian.
"Telah sampai kepadaku kabar bahwasanya engkau adalah seorang yang saleh, engkau memiliki beberapa orang sahabat yang dianggap asing dan miskin. Aku membawa sedekah, terimalah!" kata Salman kepada Muhammad SAW.
Sesudah berterima kasih kepada Salman, Rasulullah SAW memanggil para sahabat. "Silakan kalian makan," kata Rasulullah SAW. Adapun beliau sendiri tidak memakan sedekah dari Salman itu. Dalam hati, Salman berkata pada dirinya, "Ini satu tanda kenabian!"
Pada hari berikutnya, Salman lagi-lagi memberikan makanan yang sama kepada Rasulullah SAw, tetapi kali ini dengan akad hadiah. Nabi SAW menerima dan lalu memakan sebagiannya. Salman kembali dalam hati, "Inilah tanda kenabian yang kedua!"
Keesokan hari, Salman ingin melihat tanda kenabian di antara punggung beliau. Sesudah diizinkan, ia pun dipersilakan untuk melihat punggung Nabi SAW. Saat itulah, ia yakin bahwa beliau adalah seorang utusan Allah.
Salman menangis bahagia karena akhirnya menemukan sosok yang dicarinya selama ini.
Salman menangis bahagia karena akhirnya menemukan sosok yang dicarinya selama ini. Kepada Nabi SAW, ia menceritakan perjalanan panjang yang dilaluinya untuk bisa berjumpa dengan beliau. Langsung saja, lelaki Persia ini menyatakan keimanan dan keislaman.
Namun, dirinya masih tersendara status budak. Sejumlah sahabat lalu menyambangi majikan Salman. Lelaki itu hanya akan membebaskannya dengan tebusan sebanyak 300 pohon kurma. Rasulullah SAW mengimbau para sahabat agar membantu Salman.
Mereka membantu dengan memberikan pohon (tunas) kurma. Seorang sahabat ada yang memberikan 30 pohon atau 20 pohon, ada yang 15 pohon dan ada yang 10 pohon. Masing-masing sahabat memberikan pohon kurma sesuai dengan kadar kemampuan mereka, sehingga terkumpul 300 pohon.
"Berangkatlah wahai Salman dan tanamlah pohon kurma itu untuk majikanmu, jika telah selesai datanglah kemari," kata Nabi SAW.
Demikianlah, kisah Salman al-Farisi menemukan hidayah. Ia termasuk di antara para sahabat Nabi. Salah satu peran krusialnya muncul saat Perang Ahzab. Dialah yang menyarankan kepada Rasulullah SAW dan para sahabat agar membangun parit di sekeliling Kota Madinah sebagai bentuk pertahanan terhadap serangan musuh.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Pencarian Panjang Gitaris Sufi
Ketika pertama kali shalat, Richard Thompson mengalami luapan perasaan bahwa Islamlah yang selama ini dibutuhkannya.
SELENGKAPNYAMenemukan Hidayah Usai 9/11
Ketika AS dilanda Islamofobia pascaperistiwa 9/11, Angela Collins justru tertarik mempelajari Islam.
SELENGKAPNYA