
Kronik
Saat ‘Kaum Kiri’ Memerangi Film
Kaum kiri sempat memberangus film-film berseberangan di Indonesia.
Oleh ALWI SHAHAB
“Anak Perawan di Sarang Penyamun”. Demikian judul buku Sutan Takdir Alisjahbana diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1941. Berpuluh-puluh tahun, buku tersebut masih digemari. Entah sudah berapa belas kali cetak ulang oleh penerbit yang sama. Anak Perawan di Sarang Penyamun sebetulnya cuma cerita roman biasa. Tapi, masalahnya jadi lain ketika ia difilmkan. Apalagi diproduksi saat situasi politik tahun 1960-an memanas.
Film yang disutradarai oleh Usmar Ismail (Perfini) kontan diboikot oleh golongan kiri dan akhirnya oleh Badan Sensor Film (BSF) ditarik dari peredaran. Alasannya Sutan Takdir Alisjahbana yang pernah menjadi rektor Universitas Nasional (Unas), ketika itu melarikan diri ke Malaysia karena menentang Bung Karno. Film itu sendiri dibintangi aktor ganteng Bambang Hermanto dan artis cantik Nurbani Yusuf.
Kaum kiri, kerap diasosiasikan dengan progresifitas dan kebebasan. Namun, dalam banyak kesempatan, mereka juga jadi kekuatan yang represif. Menurut jurnalis senior Republika Alwi Shahab, Demikianlah yang terjadi pada masa-masa sepanjang akhir 1950-an dan awal hingga pertengahan 1960-an.
Sejak dulu film tak dapat dipisahkan dari unsur politik dan juga ideologi. Seperti di tahun 1960-an, ketika kalangan 'kiri' sangat kuat, dunia film pernah mereka pecah-belah. Rupanya dendam lama masih berlangsung. Karena itu, pada 2008, sejumlah elemen masyarakat di kota Solo dan sekitarnya menolak pengambilan gambar film Lastri di wilayah eks Karesidenan Surakarta dengan melakukan demo. Saat itu, terjadi pro dan kontra terhadap film di mana Lastri ketika terjadi peristiwa G30S dituduh sebagai anggota Gerwani.

Sutradara H Misbach Yusa Biran (75 tahun), yang pada tahun 1950-an dan 1960-an selalu menjadi incaran kecaman dan hujatan golongan 'kiri' terus terang menyatakan tidak setuju terhadap film Lastri. Mantan Kepala Sinematek Indonesia ini beralasan, film tersebut ceritakan orang-orang kiri pro-PKI yang menjadi korban ketika terjadi peristiwa G30S Oktober 1965.
Misbach di masa berkuasanya kelompok kiri beberapa karyanya dilarang terbit, menilai film Lastri secara politis sangat besar pengaruhnya bagi generasi muda. Mereka akan beranggapan bahwa PKI adalah pihak yang benar. Tuduhan bahwa PKI bersalah dalam peristiwa 1965 adalah bohong belaka. Dengan demikian, generasi muda akan bersimpati pada PKI yang mereka nilai prorakyat. Ujung-ujungnya adalah antiagama yang ikut aktif dalam pengganyangan PKI. Meskipun PKI sendiri sulit hidup lagi di Indonesia tapi isme dan ajarannya akan berpengaruh.
Dalam bukunya Kenang-kenangan Orang Bandel, Misbach menceritakan, ''Cara kalangan kiri melakukan serangan terhadap mereka yang dianggap lawan semakin gencar dan kasar. Main babat.'' Film Pagar Kawat Berduri karya Asrul Sani dan Anak Perawan di Sarang Penyamun harus ditolak karena Sutan Takdir Alisjahbana. Terhadap film yang kedua memang ditolak oleh Badan Sensor. Tapi, terhadap film Pagar Kawat Berduri, Bung Karno diminta menjadi 'juri'. Bung Karno menonton dan berpendapat film Asrul Sani tidak ada masalah.
Lewat produksi Kedjora, Pagar Kawat Berduri (1961), Asrul mengangkat mengenai sejumlah pejuang yang ditawan Belanda dalam kampinan Koenen (diperankan Bernard Ijzerdraat/ Suryabrata). Salah seorang tawanan, Parman (Sukarno M Noor) justru berteman dengan Belanda kepala kamp itu, antara lain melayaninya main catur.
Film 'humanisme universal' ini membuat Asrul terus dikecam pihak komunis, karena menampilkan penjajah Belanda yang baik hati. Pagar Kawat Berduri berdasarkan cerita karya Trisnojuwono, pengarang kenamaan kala itu mantan anggota RPKAD (Resimen Para Komando AD - kini Kopassus).
Pada 1960-an, kaum 'kiri' giat merayu siap saja agar masuk perangkap.
Pada 1960-an, kaum 'kiri' giat merayu siap saja agar masuk perangkap. Tapi, banyak yang tidak tergiur antara lain Sukarno M Noor, ayah si 'Doel' Rano Karno. Kala itu, BPS (Badan Pendukung Soekarnoisme) yang kemudian dibubarkan oleh Bung Karno, menganut paham ini.
Ketika dunia film dipecah belah kalangan 'kiri', Sukarno M Noor bersama Usmar Ismail, Nisbach, Asrul Sani, bergabung dengan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi), untuk menentang kegiatan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) PKI.
Pada 1965, pengganyangan terhadap film-film Barat khususnya AS makin menjadi-jadi dengan terbentuknya Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS). Tidak tanggung-tanggung kalangan kiri ini kemudian membakar gedung pusat distribusi film Amerika yang sekarang ini letaknya di samping Bina Graha di ujung Jalan Veteran IV.
''Seni bukan sekadar seni. Seni untuk revolusi dan mengganyang musuh-musuh revolusi.'' Itulah slogan terkenal kelompok 'kiri' pada masa jaya mereka. Tidak heran, ketika HB Yassin, Wiratmo Sukito dan Taufik Ismail pada 17 Agustus 1963 membentuk Manifes Kebudayaan maka tanpa ampun kaum 'kiri' yang dimotori Lekra mengganyangnya habis-habisan. Apalagi para seniman dan budayawan yang membentuk 'Manikebu' merupakan kekuatan antikomunis.
Setelah aksi protes yang tidak pernah putus, maka Bung Karno pada 8 Mei 1964 melarang 'Manikebu'. Akibatnya, HB Yassin pun harus mundur sebagai pimpinan Fakultas Sastra UI dan Lembaga Bahasa Departemen PDK. (Harian Duta Masyarakat 11/5/1964). Nasib yang sama dialami para seniman dan budayawan yang menjadi pendukung atau yang dicurigai terlibat 'Manikebu'.

Setelah dilarangnya 'Manikebu', Lekra dan kaum 'kiri' menggarap bidang perfilman. Memang itu harus digarap karena waktu itu H Djamaluddin Malik dan H Usmar Ismail merupakan 'dwitunggal' perfilman nasional yang ditambah cineas muda seperti H Asrul Sani dan Sumanjaya yang tergabung dalam Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) milik NU tidak sehaluan dengan mereka. Djamal (Persari) dan Usmar (Perfini) dituduh membuat film berorientasi bisnis, bukan film-film revolusioner.
Pelarangan Manikebu itu berlangsung beberapa hari setelah Bung Karno mencanangkan konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora). Waktu itu semangat anti AS yang mendukung Malaysia tengah berkobar. Memanfaatkan situasi demikian, 11 Mei 1963 sebanyak 16 orang massa 'kiri' mengadakan aksi pemboikotan total terhadap film-film AS. Dan membentuk Komando Aksi Boikot Film-film Imperialisme AS.
Pada waktu bersamaan, buruh-buruh bioskop yang sudah dikuasai SOBSI (PKI) melancarkan aksi mogok memutar film-film AS di bioskop-bioskop. ''Memboikot film AS berarti memboikot film-film propaganda perang dan raja rasialis internasional, melawan propaganda cabul dan garong,'' salah satu pernyataan dari komite aksi ini. Sedangkan tokoh PKI Nyono menyatakan: ''Kaum buruh harus menjadi kampiun dalam melawan kebudayaan imperialis Barat.''
Aksi boikot dalam beberapa hari saja meluas ke seluruh Indonesia. Pada 29 Mei 1963 sudah 22 provinsi yang memboikot film AS. Bahkan Hari Kanak-kanak Internasional yang dirayakan 1 Juni 1963 telah mengeluarkan resolusi mendukung aksi boikot. Sekaligus mendesak agar diperbanyak film-film dari negara Nefos (The New Emerging Forces - negara dunia ketiga) dan larang film-film Oldefos (The Old Establish Forces - negara maju atau Barat).
Rupanya, setelah beberapa lama aksi boikot berlangsung, berbagai dampak kerugian mulai terlihat. Karenanya, Pejabat Presiden/Wakil PM II Dr J Leimena ketika menerima delegasi panitia aksi boikot yang diketuai oleh Ny. Utami Suryadarma dan Sitor Situmorang mengingatkan agar aksi ini jangan sampai memukul industri film sendiri.

Harian NU Duta Masyarakat (14/6/1963) memberitakan pernyataan OPS (Organisasi Perusahaan Sejenis) Bioskop bahwa aksi boikot (harian ini menyebut aksi sepihak, -Red.) yang tanpa perhitungan ini mengakibatkan kerugian terhadap pengusaha bioskop dan importir film nasional. Sedangkan Sinar Harapan menulis berita banyaknya bioskop yang tutup akibat boikot film AS, yang menguasai 70 persen peredaran film di Indonesia. Sedangkan penghasilan pajak tontonan anjlok dibawah 50 persen.
Duta Masyarakat juga menurunkan berita-berita keluhan para tukang becak saat menunggu penumpang di bioskop-bioskop Jakarta. Keluhan sepinya penumpang akibat jarangnya orang yang nonton film.
Memang, untuk mengimbangi pelarangan film AS, banyak didatangkan film dari negara Nefos seperti Uni Soviet, RRC dan Eropa Timur. Tapi film-film ini lebih banyak berisi propaganda, dan bercerita tentang revolusi. Hingga penonton emoh.
Rupanya berita-berita demikian mengusik kaum 'kiri'. Bintang Timur di rubrik Lentera dengan huruf-huruf besar menurunkan berita: ''Kampanye-kampanye reaksioner sejajar kepentingannya dengan imperialis.'' Sedangkan 'lawannya Duta Masyarakat mengeluh karena mereka yang ingin mencari penyelesaian dalam kemelut perfilman ini, selalu dituduh kontra revolusi, melawan Manipol dan melawan PBR/Pangti Bung Karno.
Aksi itu sendiri dinilai tidak capai sasaran. Mengingat film-film AS diputar di bioskop-bisokop kelas satu, hingga tidak berpengaruh pada film-film nasional yang diputar di bioskop kelas dua. Tapi, bagaimanapun juga akibat aksi boikot itu cukup fatal. Karena diperkirakan dari sekitar 800 gedung bioskop waktu itu, lebih dari 300 gedung berubah fungsi menjadi gudang.