Alwi Shahab | Daan Yahya/Republika

Nostalgia

Ibu Pertiwi Hamil Tua

Terjadi pertentangan ideologi yang sangat tajam antara kelompok kiri dengan kelompok agama.

Oleh ALWI SHAHAB

Awal September (2005) lalu sidang gugatan eks tahanan poliitik (tapol) dan narapidana politik (napol) PKI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berlangsung rusuh. Sekitar 300 orang yang tergabung dalam berbagai organisasi massa Islam tidak dapat menerima jika PKI dihidupkan kembali dengan dicabutnya Tap MPRS 1966. Sementara para tapol/napol menuntut agar nama mereka direhabilitasi, disamping tuntutan material. Tuntutan juga diarahkan pada lima presiden, kecuali presiden pertama Ir Soekarno.

Sementara, Dinas Penerangan AD dengan media massa pekan lalu mengadakan silaturahmi bertema Mewaspadai bangkitnmya paham Komunis di Indonesia. Diungkapkan, ''Secara tersamar, saat ini anak cucu PKI membawa misi komunitas PKI dengan merebut posisi-posisi penting di tingkat eksekutif, legislatif, yudikatif dan berbagai LSM''. Sejarawan Anwar Gonggong yang jadi salah satu pembicara menyatakan, sejauh ini ia tetap bertahan pada pendiriannya menggunakan kata PKI di belakang G30S yang memberontak 30 tahun lalu.

Sejak reformasi, banyak pernyataan dikeluarkan eks tapol/napol bahwa mereka tidak bersalah dalam peristiwa pemberontakan berdarah itu. Bahkan, mereka menuduh Pak Harto dengan bantuan AS yang mengkup Presiden Soekarno. Hal sama terjadi pada Peristiwa Madiun 19 September 1948. Mereka bukan saja cuci tangan, malah menuduh Hatta yang menyebabkan Muso, pimpinan PKI, memberontak.

 
Terjadi pertentangan ideologi yang sangat tajam antara kelompok kiri dengan kelompok agama.
 
 

Lepas dari konflik pendapat itu, sebaiknya kita kembali pada situasi politik di Tanah Air menjelang tragedi berdarah 30 tahun lalu. Terjadi pertentangan ideologi yang sangat tajam antara kelompok kiri dengan kelompok agama. Seperti dalam aksi-aksi sepihak yang mereka lakukan, korbannya adalah golongan Islam. Misalnya, peristiwa Kanigoro, di Kediri dan Malang. Para kiai yang jadi tuan tanah di desa-desa mereka beri julukan 'setan desa'.

Dalam melancarkan ofensif revolusionernya, HMI -- organisasi Islam militan saat itu -- hampir tiap hari menjadi bulan-bulanan demo yang dilancarkan para mahasiswa CGMI (Central Gerakan Mahasiswa Indonesia) yang tergabung dalam PKI. Dua hari menjelang G30S, Ketua Comite Central (CC) PKI DN Aidit pada rapat umum CGMI di Istora Senyan berkata, ''Kalau CGMI tidak bisa membubarkan HMI, lebih baik pakai sarung saja.'' Rapat umum yang disiarkan langsung oleh TVRI dan RRI ini dihadiri Presiden Soekarno. Sampai-sampai NU dan sejumlah tokoh agama nekad benar dalam membela HMI. Soalnya, bukan soal HMI an sichl agi, tapi konfrontasi antara PKI yang ketika itu juga didukung PNI, dengan umat Islam.

Begitu eratnya hubungan CGMI dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) organ dari PNI. Pada awal September 1965 mereka mendatangi gedung GKBI (Gabungan Koperasi Batik Indonesia), menjungkirbalikkan patung mantan wakil presiden Hattaa. Kemudian mengarak patung tersebut ke Departemen Koperasi. Mereka adalah mahasiswa Akademi Koperasi yang menyatakan melaksanakan keputusan Munaskop II bahwa Bapak Koperasi adalah Bung Karno yang mendapat julukan Pemimpin Agung Koperasi. Gerakan itu sekaligus untuk mencoret Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi yang diberikan pada masa pemerintahan di Yogyakarta (1947).

Begitu bencinya mereka pada Hatta yang dinilai anti komunis, sampai-sampai pada teks keramat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, nama Bung Hatta mau dikorup juga. Koran PKI, Harian Rakyat, pada tahun 1964 membuat teks proklamasi kemerdekaan di halaman mukanya tanpa mencantumkan nama Bung Hatta.

Menjelang G30S, PKI meningkatkan aksi-aksi revolusionernya, menentang lawan-lawan politiknya. Berturut-turut Bung Karno membubarkan Masyumi dan PSI. Kemudian Murba, musuh bebuyatan PKI, juga dibubarkan. Melalui Sekjen PNI Ir Surachman yang konon merupakan orang PKI yang diselundupkan ke PNI, mereka berhasil menggusur tokoh-tokoh PNI yang anti komunis, seperti RH Kusnan, Hardi SH dan Mh Isnaeni. Mereka dituduh Marhaenisme gadungan. Sekaligus PKI berhasil meluruskan marhaenisme ajaran Bung Karno sebagai 'Marxisme yang diterapkan di Indonesia.'

 
Pertentangan makin memanas, khususnya antara PKI dengan militer.
 
 

Pertentangan makin memanas, khususnya antara PKI dengan militer, ketika Aidit dan kawan-kawannya melontarkan gagasan: Bentuk Angkatan Kelima, serta persenjatai buruh dan tani. Kecuali Panglima AU Marsekal Omar Dhani, Jenderal Nasution dan Jenderal Ahmad Yani menentang keras gagasan tersebut.  Pihak militer juga menolak keras Nasakomunisasi dalam tubuh ABRI, yang akan menjadikan ABRI sebagai kekuatan politik karena pimpinannya terdiri dari wakil-wakil agama, nasionalis dan komunis.

Kala itu, banyak sekali mantel organisasi kiri, seperti Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), Sobsi (Buruh), Lekra (seniman dan budayawan), CGMI (mahasiswa), HSI (sarjana) dan IPPI (pemuda pelajar). Mereka juga punya sel-sel di tubuh partai/ormas seperti PNI/FM (Front Marhaenis), Buruh Marhaenis, GMNI, SRI, GSNI, Petani, Partindo, dan Baperki. Kekuatan kiri juga menguasai pemberitaan melalui PWI, KB Antara, TVRI dan RRI. Itu menunjukkan bahwa mereka berhasil menyusup di mana-mana, terutama di lembaga-lembaga strategis.

Hanya beberapa hari menjelang G30S, tokoh PKI Anwar Sanusi pada penutupan latihan sukarelawan bagian tempur BNI menyatakan, ''Ibu Pertiwi sedang hamil tua. Sang peraji (bidan) sudah siap dengan senjata ampuh untuk menyelamatkan kelahiran bayi yang dianti-nanti.''  Dan, kemudian terjadilah G30S, namun berhasil digagalkan ABRI dan rakyat. Kejadian-kejadian lebih 30 tahun lalu itulah yang masih berada dalam ingatan saya hingga kini.

Disadur dari Harian Republika edisi 25 September 2005. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.

Ikuti Berita Republika Lainnya