|

Opini

Haruskah Swasembada Daging Sapi?

Sampai saat ini, tanda-tanda menuju swasembada daging masih jauh.

Oleh: Khudori

Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan (2010-sekarang)


Biang masalah itu ialah swasembada. Sejak awal menjabat, persisnya pada 2005, Presiden SBY menargetkan swasembada daging sapi dicapai pada 2010. Saat tanda-tanda tak tercapai, target swasembada diundur jadi tahun 2014.

Saat itu, yakin populasi sapi siap potong cukup, yakni 14,8 juta ekor pada 2011, secara bertahap kuota impor daging dipangkas: 35 persen dari kebutuhan pada 2011 jadi 15,5 persen pada 2012, dan tinggal 13,4 persen pada 2013.

Sampai SBY lengser tak ada tanda-tanda swasembada tercapai. Untuk mengejar swasembada daging sapi, tak kurang Rp 18 triliun digelontorkan sepanjang era SBY. Apa hasilnya? Pertama, terjadi pengurasan populasi sapi.

Sensus Pertanian 2013 oleh BPS menyimpulkan, populasi sapi turun 19 persen dari data yang dirilis pada 2011.

Pemangkasan impor membuat banyak sapi dipotong, bahkan betina produktif yang dilarang UU pun dipotong karena ada insentif harga tinggi. Rata-rata betina produktif yang dipotong di rumah pemotongan hewan mencapai 31,08 persen atau satu juta ekor per tahun (Tawaf, 2013).

Kedua, pengurasan populasi sapi perah. Ketiga, harga daging tetap tidak terkendali. Keempat, impor (daging dan sapi bakalan) kian tidak terkendali. Pada era Presiden Jokowi, swasembada daging sapi kembali ditargetkan, tapi masih lama, tahun 2026.

 

Jalan menuju swasembada

Sampai saat ini, tanda-tanda menuju swasembada masih jauh. Pelbagai langkah pemerintah saat ini justru diyakini semakin menjauhkan diri dari jalan swasembada, seperti amendemen UU Peternakan dan Kesehatan Hewan dari sistem country base menjadi zone base (amendemen dilakukan sejak era SBY), impor daging kerbau dari India yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK), dan kewajiban bagi feedloter yang mengimpor sapi bakalan juga mengimpor sapi indukan dengan rasio 5:1.

Karena itu, pada tempatnya mengajukan pertanyaan, mengapa pemerintah begitu all out, menempuh segala cara, termasuk cara-cara yang menabrak akal sehat, untuk mencapai swasembada daging sapi?

Bukan mustahil, selama ini kita semua terjebak ilusi. Dalam perspektif konsumen, ilusi adalah wajar, bahkan amat normal. Ilusi konsumen dimaknai sebagai pengetahuan yang salah terhadap suatu produk konsumsi yang memengaruhi perilaku konsumen.

Barangkali kita tidak sadar, ilusi konsumen itu telah terjadi pada daging sapi. Kenaikan harga daging sapi yang berulang setiap tahun tak lepas dari ilusi dalam persepsi masyarakat. Sebagai konsumen, kita menganggap daging sapi tak tergantikan.

Daging sapi amat khas. Kekhasan itu tak ditemukan pada daging kambing, kerbau, apalagi kuda. Di sisi lain, konsumsi daging sapi rata-rata warga Indonesia rendah, 2,61 kilogram (kg) per kapita per tahun. Jauh dari konsumsi di Filipina (7 kg), Singapura (15 kg), Argentina (55 kg).

Konsumsi daging sapi tertinggal dari konsumsi daging ayam per kapita, yakni 10-11 kg/tahun. Jika tingkat konsumsi masih rendah, mengapa seolah-olah kebutuhan warga terhadap daging sapi amat tinggi?

 

Konsumsi

Sejauh ini, tingkat partisipasi konsumsi warga terhadap daging sapi juga rendah,  15,2 persen. Bandingkan tingkat partisipasi konsumsi warga terhadap daging unggas yang mencapai 65,56 persen dan telur ayam 80 persen.

Ini terjadi karena daging sapi komoditas high income elastic. Daging sapi merupakan komoditas yang dikonsumsi golongan rumah tangga berpendapatan menengah ke atas. Jika diselami lebih dalam, angka 15,2 persen itu pun terkonsentrasi di Jabodetabek.

Jika demikian, pertanyaannya kemudian, mengapa kenaikan harga daging sapi selalu membuat heboh Republik? Seolah-olah harga daging sapi yang tidak terjangkau kantong menjadi masalah 268 juta warga Indonesia.

Apakah karena konsumennya di Jabodetabek yang suaranya nyaring dan mudah membuat Istana bising? Deretan fakta itu, menuju pada satu hal, mendorong konsumsi daging sapi langkah yang salah.

Daging unggas (plus telur ayam) telah terbukti mampu mendukung ketahanan pangan hewani daging asal ternak domestik, mudah diakses dan terjangkau masyarakat, dan menjadi sumber protein yang murah bagi rakyat.

Jika tujuan swasembada daging sapi untuk memperluas akses masyarakat ke sumber protein dengan harga terjangkau, itu tidak tepat. Mendorong konsumsi daging sapi juga mengancam keseimbangan pangsa komoditas daging.

Keseimbangan pangsa komoditas daging (sapi, kerbau, domba, dan unggas) perlu dijaga untuk mempertahankan eksistensi masing-masing sumber daging. Kondisi yang seimbang akan mempertahankan diversifikasi pangan daging asal ternak.

Semua ini, barangkali karena ilusi kita terhadap daging sapi. Kalau orientasi kita adalah kelezatan, bukankah banyak jenis daging lain yang bisa diolah menjadi makanan super lezat sebagai pengganti daging sapi?

Satai ayam atau daging kelinci tidak kalah lezat, bahkan lebih enak, ketimbang satai daging sapi? Lebih dari itu, harga daging kelinci dan ayam juga lebih murah.

Kalau tujuan kita adalah kandungan gizi sumber protein, bukankah masih banyak sumber protein yang setara bahkan lebih tinggi daripada daging sapi dengan harga yang tidak membuat kantong belanja rumah tangga jebol?

Sumber protein

Sumber protein hewani yang murah meriah dengan kandungan gizi protein setara dengan daging sapi, antara lain, ayam, telur, dan aneka jenis ikan (belut, gabus, dan lele misalnya).

Ikan, secara umum, mengandung omega-3 yang baik untuk perkembangan sel-sel otak bagi kecerdasan, protein setara daging, mengandung asam amino paling lengkap (mendekati asam amino tubuh manusia), antioksidan, vitamin D, B6, B12, dan aneka mineral (zat besi, yodium, selenium, seng, dan fluor).

Yang tak kalah penting, berbeda dengan daging sapi yang mengandung asam lemak jenuh tinggi, ikan berisi asam lemak tak jenuh. Asam lemak ini dapat mencegah terjadinya penyumbatan pembuluh darah.

Konsumen, menurut teori pemasaran, adalah raja. Ketika konsumen beralih ke komoditas lain, dengan sendirinya permintaan terhadap daging sapi akan menurun. Sesuai hukum besi supply-demand, ketika demand menurun harga juga akan mengikuti.

Tanpa perlu repot rapat kabinet berkali-kali, bahkan Presiden Jokowi tak harus memerintahkan menterinya menurunkan harga daging sapi menjadi Rp 80 ribu/kg harga akan turun sendiri. Bulog, PT Berdikari, dan pihak lain tidak usah pusing-pusing menggelar operasi pasar.

Pemerintah tidak usah mengeluarkan izin impor daging dari Australia yang menguras devisa. Bahkan, konsumen tidak perlu pusing tidak bisa mengonsumsi daging hanya karena daging sapi langka.

Lebih jauh, perubahan perilaku konsumsi ini, boleh jadi, bakal mengubah pola swasembada yang selama ini terjebak pada orientasi komoditas. Dalam konteks daging, tidak lagi swasembada daging sapi, tapi menjadi swasembada daging atau swasembada protein.

Masing-masing daerah, dengan potensi khas lokal, bisa menyumbang target swasembada daging nasional. Daerah yang potensial kambing, lembu, atau ayam tidak perlu dipaksa mengembangkan sapi.

Ketika salah satu jenis komoditas daging harganya naik, tidak membuat seluruh isi Republik resah seperti saat ini. Karena warga bisa beralih pada aneka komoditas daging pengganti, tanpa perlu tertipu lagi oleh ilusi daging sapi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat