FILE -Dalam file foto 29 November 2019 ini, kepala logam yang terbuat dari suku cadang motor melambangkan kecerdasan buatan, atau AI, di Essen Motor Show untuk penyetelan dan olahraga motor di Essen, Jerman. Administrasi Trump mengusulkan aturan baru yang | AP

Inovasi

Timbang-Timbang Penggunaan AI dalam Sendi Kehidupan

AI memiliki potensi untuk membantu dokter memahami data medis yang kompleks.

Dalam sebuah eksperimen yang signifikan, sebuah sekolah kedokteran di Amerika Serikat (AS) menggunakan Chat-GPT 4 dari Open AI untuk melihat, apakah chatbot tersebut bisa mendiagnosis dengan akurat dalam kasus-kasus medis yang menantang.

Para peneliti dari Beth Israel Deaconess Medical Center (BIDMC) di Boston, Massachusetts AS, menemukan bahwa Chat-GPT 4 memilih diagnosis yang tepat pada hampir 40 persen dari waktu yang tersedia. Chat-GPT 4 juga memberikan diagnosis yang benar dalam daftar diagnosis potensial pada dua pertiga kasus yang menantang.

Adam Rodman, direktur of Innovations in Media and Education Delivery (iMED) Initiative di BIDMC, mengatakan kemajuan terbaru dalam kecerdasan buatan telah menghasilkan model AI generatif yang mampu memberikan respons berbasis teks secara terperinci. Lengkap dengan akurasi tinggi dalam pemeriksaan medis terstandardisasi.

photo
Dokter dari Ciputra SMG Eye Clinic tengah melakukan lasik surgery menggunakan teknologi canggih laser ReLEx SMILE Pro untuk pasien. - (Dok Ciputra SMG Eye Clinic)

“Kami ingin tahu apakah model generatif seperti itu dapat 'berpikir' seperti dokter, jadi kami menguji model tersebut untuk menyelesaikan kasus diagnostik kompleks terstandardisasi yang digunakan untuk tujuan pendidikan. Hasilnya sangat bagus," kata Rodman, yang juga seorang instruktur kedokteran di Harvard Medical School, seperti dilansir dari Siasat Daily, Kamis (27/7/2023).

Untuk menilai kemampuan diagnostik chatbot, Rodman dan rekan-rekannya menggunakan clinicopathological case conferences (CPC), serangkaian kasus pasien yang kompleks dan menantang termasuk data klinis dan laboratorium yang relevan, studi pencitraan, dan temuan histopatologi yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine untuk tujuan pendidikan.

Mengevaluasi 70 kasus CPC, kecerdasan buatan ini sama persis dengan diagnosis akhir CPC pada 27 (39 persen) kasus. Dalam 64 persen kasus, diagnosis CPC akhir dimasukkan dalam diferensial AI atau daftar kemungkinan kondisi yang dapat menjelaskan gejala pasien, riwayat medis, temuan klinis, dan hasil laboratorium atau pencitraan.

photo
Petugas kesehatan memberikan pengarahan dan evaluasi kepada relawan saat simulasi uji klinis vaksin COVID-19 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/8/2020). Simulasi tersebut dilakukan untuk melihat kesiapan tenaga medis dalam penanganan dan pengujian klinis tahap III vaksin COVID-19 produksi Sinovac kepada 1 - (M Agung Rajasa/ANTARA FOTO)

"Meskipun chatbot tidak dapat menggantikan keahlian dan pengetahuan seorang profesional medis yang terlatih, AI generatif adalah tambahan potensial yang menjanjikan untuk kognisi manusia dalam diagnosis," kata penulis pertama Zahir Kanjee, seorang dokter rumah sakit di BIDMC dan asisten profesor kedokteran di Harvard Medical School.

Menurut Kanjee, AI memiliki potensi untuk membantu dokter memahami data medis yang kompleks. Termasuk juga untuk  memperluas atau menyempurnakan pemikiran diagnostik.

Meskipun penelitian ini menambah literatur yang menunjukkan kemampuan teknologi AI yang menjanjikan, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui penggunaan, manfaat, dan batasannya secara optimal. Utamanya, mengenai masalah privasi untuk memahami bagaimana model AI baru ini dapat mengubah layanan kesehatan.

Pemanfaatan AI di Sistem Pendidikan

photo
Sejumlah siswa baru mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) di SDN 010 Cidadap, Cidadap, Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (17/7/2023). Pada hari pertama masuk sekolah, siswa menjalani masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) yang diisi dengan perkenalan antara siswa, guru dan lingkungan sekolah. Sekolah tersebut merupakan salah satu sekolah yang kekurangan siswa, dengan jumlah siswa baru sebanyak 15 siswa dari target kuota sebanyak 28 siswa. - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Meski pemanfaatan teknoolgi AI diyakini memiliki banyak manfaat, banyak pula yang mengkhawatirkan dampaknya pada masa depan. Salah satu kekhawatiran yang utama, yaitu penggunaan AI yang berlebihan di ruang kelas atau sistem pendidikan konvensional. 

Ketergantungan yang besar pada teknologi di ruang kelas, dinilai bisa membuat siswa tidak produktif dan merugikan jika hal tersebut mengganggu keterampilan dasar seperti membaca. Hal ini diungkap dalam sebuah laporan dari badan khusus PBB untuk isu pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan (UNESCO).

Menurut UNESCO, meskipun para siswa harus mempelajari teknologi yang sedang berkembang di era sekarang, para guru harus tetap waspada terhadap penggunaan teknologi secara berlebihan di dalam kelas. Pasalnya, hanya ada sedikit bukti yang kuat tentang nilai tambah teknologi digital dalam pendidikan.

“Penggunaan teknologi di ruang kelas dapat memiliki dampak yang merugikan jika berlebihan dan dimanfaatkan dengan tidak tepat. AI, seharusnya fokus pada hasil pembelajaran, bukan pada input digital,” kata Manos Antoninis, yang memimpin laporan UNESCO, seperti dilansir dari Malay Mail, Kamis (27/7/2023).

Pengembangan teknologi kecerdasan buatan (ilustrasi) - (Freepik/rawpixel )

  ​

Antoninis mengatakan, setelah hampir 20 tahun laptop mulai digunakan di sekolah-sekolah, sudah jelas bahwa itu akan berhasil jika digabungkan dengan kerangka kerja pedagogis yang solid. Namun sayangnya, hanya beberapa negara yang memiliki kesabaran dan energi untuk bergerak ke arah itu. "Tidak cukup hanya dengan mendistribusikan perangkat saja," kata Antoninis menegaskan.

Dia juga menilai, langkah sekolah yang melarang siswa membawa ponsel pintar ke ruang kelas adalah tepat. Alasannya, kehadiran ponsel di ruang kelas bisa sangat mengganggu proses ajar.

Larangan penggunaan ponsel di sekolah, termasuk di negara-negara liberal seperti Belanda, merupakan temuan yang menarik dan mengejutkan bagi para peneliti Unesco. “Orang-orang mulai berpikir lebih jauh tentang konsekuensi dan gangguan di sekolah," kata Antoninis.

Laporan tersebut memperingatkan dengan tegas agar tidak mengganti teknologi dengan keterampilan tradisional, yang sebenarnya dapat membantu anak-anak menghindari beberapa jebakan dunia digital. Siswa yang memiliki kemampuan membaca yang baik, misalnya, memiliki kemungkinan lebih kecil untuk tertipu oleh email phishing.

"Jika anak diajari membaca dengan baik, membaca untuk menggali makna, itu membuat anak lebih siap untuk menavigasi dunia digital dan itu adalah kenyataan yang sering kita lupakan," kata Antoninis.

 

 
AI, seharusnya fokus pada hasil pembelajaran, bukan pada input digital. 
 
MANOS ANTONINIS, Director of the Global Education Monitoring (GEM) Report UNESCO. 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat