Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Islamisasi Jawaisme

Jawaisme tidak statis, bukan harga mati.

Seminar yang diselenggarakan oleh Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia bekerjasama dengan IAIN Sunan Kalijaga pada 25 Maret 1998 di Yogyakarta bukan kejadian sehari-hari, tapi sebuah peristiwa kebudayaan. Betapa tidak? Ketua yayasan itu adalah GBPH Joyokusumo, sambutan seminar disampaikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan tempatnya adalah Yogyakarta -- salah satu pusat kebudayaan Jawa. Barangkali nama-nama orang keraton tak banyak berarti bagi orang yang tak memahami sejarah kebudayaan Islam di Jawa. Kraton adalah simbol sinkretisme Jawa, sedangkan gerakan kebudayaan Islam masa kini menghendaki ortodoksi. Sinkretisme yang bertemu dengan ortodoksi itu kiranya memerlukan penjelasan.

Seminar itu sendiri membicarakan hasil penelitian Sastra Islam Jawa, naskah-naskah berbahasa Jawa yang tersimpan dalam kraton Yogyakarta. Naskah-naskah itu ialah Babad Demak, Kitab Ambiya Jawi, Mingsiling Kitab, Kadis Syekh Abdul Qodir Jaelani, dan Tajussalatin. Naskah-naskah itu berasal dari awal abad ke-19 -- kebanyakan dari masa sesudah Perang Diponegoro -- ketika secara politis Kerajaan Yogyakarta berada di bawah bayang-bayang kekuasaan Belanda. Dikerjakan oleh tenaga-tenaga pengajar Fakultas Sastra UGM dan IAIN Sunan Kalijaga.

 
Kraton adalah simbol sinkretisme Jawa, sedangkan gerakan kebudayaan Islam masa kini menghendaki ortodoksi.
 
 

Jawaisme

Berikut ini adalah lima buah ajaran Jawaisme di sekitar tema yang diseminarkan. Masing-masing tentang ketuhanan, penciptaan, sumber pengetahuan, mitos tentang kekeramatan, dan kekuasaan. Dengan mengenal sistem pengetahuan Jawaisme, orang akan dapat mengetahui sistem kepercayaan, perubahan-perubahannya, dan bisa membandingkannya dengan Islam ortodoks masa kini.

Berbeda dengan Islam ortodoks yang diwakili oleh pesantren, Jawaisme yang diwakili oleh kraton menunjukkan sinkretisme antara konsep-konsep pra-Hindu, Hinduisme-Buddhisme, dan sufisme Islam. Koentjaraningrat (Kebudayaan Jawa, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984) menyebut Kejawen untuk kebudayaannya, Agami Jawi untuk sistem keyakinannya, dan dalam trikotomi Clifford Geertz (The Religion of Jawa, Chicago: The University of Chicago Press, [1959] 1976), Jawaisme pastilah termasuk dalam varian priyayi dan abangan. (Dalam tulisan ini Kejawen dan Agami Jawi akan disamakan saja dan disebut Jawaisme).

Pengetahuan tentang ketuhanan diambil dari buku klasik yang ditulis pada abad ke-16 sampai abad ke-19, seperti buku-buku Serat Darmogandhul, Gatholoco, Suluk, Serat Centhini, dan Primbon. Konsep ketuhanan itu sering digambarkan sebagai manunggaling kawula Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhan). Menurut PJ Zoetmulder dalam Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa (Jakarta: PT Gramedia, 1990, 3) pandangan ketuhanan ini mempunyai dua pengertian, yaitu panteisme dan monisme.

 
Pandangan ketuhanan ini mempunyai dua pengertian, yaitu panteisme dan monisme.
 
 

Panteisme berarti ''dunia terlebur dalam Tuhan, dengan salah satu cara dunia merupakan bagian dari hakikat-Nya'', sedangkan monisme berarti ''Tuhan terlebur di dalam dunia, dunia merupakan ''Ada'' yang tunggal dan mutlak''. Asal-usul dari Aliran Kepercayaan sekarang ini pastilah sebagian besar bersumber dari keyakinan tentang Tuhan dalam Jawaisme itu. Mengenai penciptaan alam semesta dan manusia, nampak adanya campuran antara sistem pengetahuan Hindu dan Islam. Koentjaraningrat menyebut-nyebut adanya mitos yang terpengaruh oleh konsep Hinduisme, yaitu Dewa Brahma sebagai pencipta bumi, dan Wisnu sebagai pencipta manusia. Penciptaan manusia yang gagal kemudian menjadi mahluk halus pengganggu alam semesta.

Ada konsep tentang jiwa (suksma) dan nafas (prana, energi). Suksma yang menghilang dalam kegelapan menjadi hantu-hantu pengganggu. Manusia pertama yang berhasil diciptakan Wisnu bernama Adam -- ini pengaruh Islam. Unsur Islam tentang penciptaan alam semesta sangat nampak dalam Serat Ambiya -- yang akan dituturkan di bawah. Mengenai penciptaan manusia Serat Gatholoco dan Serat Darmogandul menunjukkan gejala mistik yang sangat radikal dengan mengibaratkan asal-usul kehidupan sama dengan coitus antara laki-laki dan wanita.

Mengenai sumber pengetahuan orang awam dan para cendekiawan (cendekiawan tradisional, ahli filsafat Jawa) Jawaisme, survei Koentjaraningrat pada tahun 1971 di Yogyakarta menunjukkan bahwa perhatian terhadap Alquran dan kesusastraan suci Islam lain hampir-hampir tidak ada (0 sampai 1 persen). Meskipun, para penganut Jawaisme mengakui bahwa Tuhan adalah penguasa (Gusti Allah Ingkang Maha Kuwaos), Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, dan Alquran sebagai sumber pengetahuan. Mereka cenderung membaca buku-buku klasik (Jawa) mengenai moral, keagamaan, mistik, dan ilmu gaib. Mereka malah membaca buku filsafat Yunani, buku zaman Pencerahan, dan sebagian kecil membaca filsafat modern.

Jawaisme percaya pada mitos-mitos kekeramatan (dewa-dewa, jim, dan danyang). Keyakinan adanya dewa-dewa, misalnya, sekarang ditunjukkan dengan acara ruwatan. Dalam ruwatan orang-orang kotor (wong sukerta), seperti anak tunggal (ontang-anting), anak lima laki-laki semua (pandhawa), anak dua terdiri dari satu laki-laki satu perempuan (gedhana-gedhini), dan sebagainya, akan dimakan Batara Kala.

 
Jawaisme percaya pada mitos-mitos kekeramatan (dewa-dewa, jim, dan danyang).
 
 

Jawaisme percaya kepada jim (jin). Dalam buku Kidungan (Solo: Sadu Budi, 1963) dimuat nama-nama jim atau dhemit di sekitar Keraton Solo. Jawaisme juga percaya pada orang-orang keramat, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup. Walisongo menempati puncak dari kekeramatan manusia itu, di antaranya Sunan Kalijaga yang sering disebut. Orang tidak tahu persis kapan para wali itu hidup, sehingga misalnya Senapati (memerintah 1584-1601), pendiri Mataram pun diceritakan oleh Babad Tanah Jawi sebagai muridnya, padahal menurut perhitungan rasional Sang Sunan sudah meninggal.

Selanjutnya ada kepercayaan tentang danyang -- danyang desa, danyang batu besar, danyang pohon besar, danyang gunung, danyang kuburan, dan sebagainya. Pada akhir 1994 ketika Gunung Merapi mengganas, orang percaya bahwa danyang penunggu gunung itu sedang marah. Demikian pula Jawaisme sangat menghormati orang keramat yang masih hidup, seperti kyai, guru, dan dukun. Orang-orang itu dianggap tahu sebelum kejadian (weruh sakdurunge winarah), bertuah (malati), dan apa yang diperbuatnya bukan kemauan sendiri tapi perbuatan berdasar bisikan gaib (wangsit).

Mengenai kekuasaan, Jawaisme banyak belajar dari wayang dan serat -- wayang Wahyu Makutha Rama dan Serat Sruti Jarwa. Ketika Rama meninggalkan Ayodya dan menyerahkan kerajaan pada adiknya, Barata, ia menasehati adiknya tentang ilmu memerintah. Juga ketika Rama menyerahkan kekuasaan Alengka Diraja kepada Wibisono, ia menguraikan tentang ilmu memerintah.

 
Mengenai kekuasaan, Jawaisme banyak belajar dari wayang dan serat
 
 

Nasehat Rama itulah disebut asthabrata (delapan jalan), yaitu agar supaya para raja meniru kebajikan delapan dewa yang masing-masing punya keistimewaan. Indra memelihara kehidupan, Yama menghukum dan memberi keadilan, Surya pengasih dan pembawa kerukunan, Candra penerang semua makhluk, Bayu mengetahui kehendak semua orang, Cakra membuat kesejahteraan negara dan mengenakkan hati semua orang, Baruna penuh ketetapan hati dalam menjalankan tugas, dan Brama berani membela kebenaran meskipun sampai perang.

Seminar

Seminar itu telah meyakinkan dua hal. Pertama, bahwa Jawaisme tidak statis, harga mati, sesuatu yang sudah selesai, tapi merupakan proses berkelanjutan yang mungkin berubah. Kedua, sumber pengetahuan Jawaisme tidak harus pada konsep-konsep pra-Hindu dan Hinduisme-Buddhisme, tetapi dapat saja datang dari Islam. Pertama, Babad Demak diantaranya berbicara masalah ketuhanan. Selain kisah-kisah semihistoris mengenai para wali dan raja (yang mengesahkan kekuasaan raja-raja Mataram), dalam babad ini diceritakan pula pertentangan antara ortodoksi dengan heterodoksi, atau antara syariah dengan sufisme aliran wahdatul wujud. Syariah diwakili para wali, sufisme wahdatul wujud oleh Syekh Siti Jenar, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Kebokanigoro, dan Ki Lontang. Faham wahdatul wujud itu sama dengan faham manunggaling kawula Gusti -- yang banyak terdapat dalam suluk.

Kedua, Kitab Ambiya Jawi mengandung uraian tentang penciptaan. Ketika berbicara tentang penciptaan Kitab Ambiya Jawi (anbiya, artinya nabi-nabi) sampai pada teori emanasi (pemancaran) di mana Tuhan mula-mula memancarkan Dzat-Nya atau Nur-Nya (Cahaya-Nya) lalu jadilah alam semesta. Nur itu disebut Nur Muhammad; jadi dari Nur Muhammad-lah muncul alam semesta dan seisinya. Ada pun Adam diciptakan dari bumi (tanah), yang berarti dari Nur Muhammad itu. Di sinilah letak panteisme Kitab Ambiya Jawi.

Membicarakan tentang konsep ketuhanan dan penciptaan seperti dalam Babad Demak dan Kitab Ambiya Jawi, sebenarnya hanya wujud dari spekulasi klasikisme. Pertanyaan itu lahir dalam masyarakat pertanian yang involutif (berkembang ke dalam). Tuhan sendiri memperingatkan untuk tidak mempertanyakan hakikat Tuhan dan ruh, tetapi tentang ciptaan-Nya. Persoalan aqidah itu sekarang tidak relevan lagi, ketika orang sudah membicarakan konsekuensi sosial dari pengakuan tentang adanya Tuhan, seperti dalam konsep tauhid sosial.

 
Jawaisme tidak statis, harga mati, sesuatu yang sudah selesai, tapi merupakan proses berkelanjutan yang mungkin berubah.
 
 

Ketiga, Mingsiling Kitab (mithl berarti misal, menyerupai) menguraikan pengetahuan keagamaan Islam. Naskah ini berisi kutipan-kutipan dari banyak buku yang beredar di kalangan pesantren, kitab kuning, dan uraiannya berdasarkan daya tangkap Jawaisme. Diduga, naskah ini dipergunakan sebagai buku ajar bagi para priyayi (birokrat) di kraton. Penelitian tidak mengidentifikasi naskah-naskah terdahulu, tetapi mengingat bahwa naskah bertembang macapat ini memakai bahasa Jawa Baru, dapat diduga bahwa naskah itu asli, dibuat pada zaman itu.

Kalau dugaan ini benar, maka hal itu menunjukkan perkembangan menarik dari sejarah Jawaisme. Jawaisme pada masa itu makin mendekati pesantren -- meskipun salah-salah tulis, kurang mengerti bahasa Arab, dan masih kentara nuansa Jawaismenya. Namun, naskah ini telah menepis anggapan bahwa Jawaisme adalah suatu being, sesuatu yang sudah fixed, yang sudah selesai. Jawaisme adalah suatu becoming, suatu proses. Dan ternyata dari naskah itu Jawaisme semakin ortodoks, meskipun tidak sepenuhnya meninggalkan cara berpikir, cara merasa, dan cara memahami persoalan dengan cara lama.

Keempat, Kadis Syekh Abdul Qodir Jaelani berusaha menceritakan dengan cara sendiri mitos kekeramatan. Naskah ini ditulis atas permintaan Ratu Emas pada zaman Hamengkubuwana III (1810-1814). Naskah ini -- berbeda dari judulnya -- tidak menceritakan tentang Syekh Abdul Qodir Jaelani yang historis (lahir 1077), tapi sebuah fiksi. Dalam naskah itu, diceritakan pengembaraan Syekh Abdul Qodir Jaelani, putera Nabi Muhammad dengan Umi Salmah. Tokoh Syekh Abdul Qodir Jaelani sendiri adalah tokoh historis, sangat populer di kalangan pesantren, dan kisah-kisahnya yang penuh keajaiban didendangkan dalam acara manakiban.

Keliaran imajinasi, yang menerjang tembok-tembok pakem dan sejarah, adalah ciri khas Jawaisme. Kepercayaan pada orang-orang suci ditekak-tekuk sedemikian rupa, sehingga hampir-hampir tidak dikenal lagi. Bukan tidak mungkin Jawaisme memperlakukan Walisongo dengan cara sama, artinya dengan imajinasi yang liar. Bagaimanapun, pemakaian nama Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah indikator adanya Islamisasi kraton.

 
Keliaran imajinasi, yang menerjang tembok-tembok pakem dan sejarah, adalah ciri khas Jawaisme.
 
 

Kelima, Tajussalatin (Tajussalatin, berarti ''mahkota raja-raja'') mengulas mengenai kekuasaan. Naskah ini ditulis pada 1831. Ini adalah juga salah satu indikator dari islamisasi kraton. Atau, kalau pikiran positif tentang Islam itu diganti dengan pikiran positif tentang Jawa, jadi jawanisasi terhadap Islam. Namun, hal itu tidak menghilangkan fakta bahwa unsur-unsur Islam telah masuk dalam keraton.

Selama ini kita mengenal Wahyu Makutha Rama dan buku-buku lain dengan ajaran tentang asthabrata yang memakai pendekatan kekuasaan sebagai satu-satunya dokumen Jawaisme tentang kekuasaan. Tetapi, Tajussalatin yang berisi 25 pasal itu ternyata mempunyai pendekatan yang berbeda, yaitu akhlak. Ditekankannya soal akhlak, misalnya perilaku adil, tidak terdapat dalam khasanah sastra Jawa lama.

Islamisasi

Pada awal abad ke-19 ada islamisasi Jawaisme. Gambaran tentang Jawaisme yang monolitik (pra-Hindu plus Hinduisme-Buddhisme plus sufisme) menjadi gambaran yang lebih pluralistik (pesantren, Melayu, Timur Tengah). Dengan demikian Jawaisme bukan sesuatu yang sudah pasti, tetapi sesuatu yang ''menjadi''. Lebih sebagai potensi daripada sebuah finalitas. Jawaisme sebagai sistem kepercayaan dari masa ke masa memudar. Sinkretisme memudar, ortodoksi bersinar. Keraton yang dulu menjadi lambang sinkretisme, semakin menjadi ortodoks. Semaan Alquran di keraton sekarang ini lebih mengemuka daripada selamatan untuk memperingati ultah kerajaan, raja dan keluarganya telah berhaji, dan taat menjalankan ibadah. Apakah dengan islamisasi, Jawa hilang dari peta Islam? Ya dan tidak. Yang hilang adalah Jawa sebagai ''isme'' (sistem kepercayaan), tetapi Jawa sebagai kebudayaan, tidak hilang.

Jawa semakin ortodoks dalam aqidah, ibadah, akhlaq, dan syariah. Tetapi potensi kejawaan nampak dalam muamalah. Kebudayaan Islam Jawa nampak sebagai ortodoksi Islam yang universal dalam keempat bidang, tetapi mempunyai aspek kejawaan dalam perbuatan sehari-hari. Misalnya, menghormati orangtua (birrul walidain) adalah syariah Islam yang universal, tetapi di Jawa disimbolkan dengan bahasa krama dan upacara sungkem. Nilainya Islam, simbolnya Jawa.

Disadur dari Harian Republika edisi 18 April 1998. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Dinasti-Dinasti Islam dan Teladan Toleransi

Di sepanjang sejarah, pelbagai daulah Muslim menunjukkan keteladanan perihal toleransi.

SELENGKAPNYA

Mulanya Peran Mufti di Dunia Islam

Mufti berperan sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan fatwa kepada umat Islam.

SELENGKAPNYA

Ihwal Objektifikasi Politik Islam

Sejarah politik kita terputus-putus, tidak ada kesinambungan.

SELENGKAPNYA