Kuntowijoyo | Daan Yahya/Republika

Refleksi

Ihwal Objektifikasi Politik Islam

Sejarah politik kita terputus-putus, tidak ada kesinambungan.

Oleh KUNTOWIJOYO

Pelaku, penggembira, dan pengamat politik, suka berpikir seolah-olah peta politik umat Islam yang diletakkan pada Pemilu (1955) adalah final, permanen, dan tidak berkembang.

Seolah-olah politik Islam hanya berputar-putar sekitar dikotomi antara sekuler versus islamis, abangan versus santri, tradisionalis versus modernis, dan skripturalis versus substansialis. Antara I versus You, Aku versus Kamu, Orang Awak versus Mereka.

Padahal, rentang waktu yang lebih 40 tahun itu cukup lama, memungkinkan perubahan-perubahan gagasan. Demikian juga basis sosial umat sudah berubah. Kedudukan politik umat sudah berubah, dari pinggiran ke tengah-tengah pentas, dari penonton ke pemain.

Oleh karena itu, pikiran yang berasumsi bahwa umat statis, tidak dinamis, kiranya tidak sesuai dengan kenyataan sejarah. Kita harus mencari formula baru, jawaban-jawaban baru, untuk masalah-masalah baru. Mengemukakan jawaban lama atas pertanyaan-pertanyaan baru adalah konyol, tidak masuk akal, dan absurd.

Masalah baru muncul karena realitas objektif berbeda. Karenanya, perlu ada perubahan pendekatan pada politik secara fundamental. Jawaban baru itu haruslah mencerminkan realitas baru pula. Realitas menghendaki supaya umat bukan lagi berpikir I versus You dalam politik, tapi I versus It; bukan lagi Orang ke-1 versus Orang ke-2, tapi Orang ke-1 versus Benda ke-3.

Penantang umat bukan lagi Mereka, tapi realitas objektif. Umat yang menjadi mayoritas di negeri ini dituntut tanggung jawab politis menghadapi realitas baru, seperti industrialisasi, globalisasi, demokratisasi, dan nasionalisme baru. Kegagalan melaksanakan tanggung jawab itu akan berakibat hilangnya kredibilitas umat sebagai mayoritas.

Menurut M Dawam Rahardjo dalam diskusi di News Cafe, Jakarta, 8 Juli 1997, gagasan pokok dari identitas politik umat Islam adalah "objektifikasi" (ternyata yang benar tulisannya memakai huruf ''f'' bukan ''v'' seperti dalam buku itu).

Dalam Webster's New Twentieth Century Dictionary (1978) kata objectification disamakan dengan objectivation, karenanya dua kata itu memang bisa ditukar-tukar. Namun, kiranya kita perlu membedakan antara keduanya.

 
Masalah baru muncul karena realitas objektif berbeda.
 
 

Sepengetahuan kami objektivasi dapat mempunyai arti lain. Objektivasi bisa berasal dari kata objek, jadi objektivasi adalah ''memandang sesuatu sebagai objek atau benda''. Misalnya kalimat, "Masyarakat teknologis cenderung melakukan objektivasi terhadap manusia".

Sebagai ganti objektivasi dalam kalimat itu sekarang lebih umum dipakai kata dehumanisasi atau menjadikan manusia sebagai mesin, menghasilkan "manusia-mesin".

Kalau objektifikasi berasal dari kata objektif, jadi artinya "the act of objectifying, membuat sesuatu menjadi objektif". Sesuatu itu objektif kalau keberadaannya tidak tergantung pada pikiran sang subjek, tetapi berdiri sendiri secara independen.

Kesinambungan

Pertama kali penulis mengemukakan gagasan tentang objektifikasi ialah dalam pertemuan-pertemuan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia di rumah AM Luthfi di Jakarta bersama kawan-kawan Hussein Umar, Endang Syaifuddin Anshori (alm), Yusuf Amir Faisal, M Amien Rais, Yahya Muhaimin, Ahmad Watik Pratiknyo, dan Sjaifullah Mahjuddin (alm) pada tahun-tahun 1987-1988.

Kadang-kadang datang teman-teman lain dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Pada waktu itu penulis ingin mengantisipasi surutnya generasi tua angkatan Pak Natsir di satu pihak, dan munculnya generasi baru di lain pihak.

Di situ dikemukakan asal-usul ini supaya sejarah pemikiran Islam di Indonesia nampak kesinambungannya, agar kita tidak harus selalu mulai dari nol. Ada gejala bahwa dalam masyarakat yang berubah secara cepat, seperti Indonesia, pengalaman sejarah tidak dihiraukan, sehingga orang selalu kembali menjadi "kanak-kanak", tidak pernah dewasa dan arif.

Ada ungkapan bahwa siapa yang tidak mau belajar dari sejarah, akan cenderung mengulang kesalahan-kesalahan masa lalu. Contoh secara nasional ialah soal dualisme antara pri dan nonpri. Seolah-olah kita selalu dihadapkan pada soal baru, padahal itu soal lama yang sudah kita hadapi pada tahun 1950-an.

Sejarah politik kita terputus-putus, tidak ada kesinambungan. Elite politik dulu direkrut dari kalangan priyayi, pada 1945 elite politik direkrut dari partai, pada 1966 elite politik direkrut dari kalangan akademisi, dan pola rekrutmen selanjutnya menunjukkan bahwa pejabat dan anak-anak pejabat banyak menjadi politisi. Tidak ada sistem pengkaderan yang berkelanjutan, transparan, dan kontinyu.

 
Di situ dikemukakan asal-usul ini supaya sejarah pemikiran Islam di Indonesia nampak kesinambungannya, agar kita tidak harus selalu mulai dari nol.
 
 

Sudah begitu cara rekrutmennya, politis kita juga tidak suka belajar dari sejarah, sehingga persoalan kita dari generasi ke generasi serupa. Ada kemungkinan bahwa keterputusan sejarah semacam itu akan menimpa pula umat Islam.

Karenanya, gagasan penulis tentang politik berusaha menjadi sambungan dari gagasan-gagasan sebelumnya, sebagai salah satu butir dari mata rantai pemikiran politik umat.

Kita sepatutnya menghargai pemikiran politik angkatan-angkatan terdahulu supaya ada kesinambungan, namun tetap kritis dan merdeka. Kesinambungan pemikiran itu tidak harus merupakan garis lurus, bisa juga berjalan secara dialektis. Orang dapat melihat perkembangan sejarah pemikiran Islam sebagai sebuah dialektika Hegelian dengan tesa-antitesa-sintesa.

Dalam sejarah Islam kontemporer, tesianya adalah negara Islam, sedangkan antitesanya adalah negara sekuler. Kurang lebih negara Islam diasosiasikan dengan Masyumi, negara sekuler dengan "gerakan pembaharuan" Nurcholish Madjid pada 1970-an.

Meskipun kedua-duanya dimengerti berdasar salah paham semata; dengan Negara Islam Masyumi sebenarnya hanya menginginkan demokrasi dan konstitusi, demikian juga ''gerakan pembaharuan'' hanya menginginkan sekularisasi (pemilahan secara sosiologis) dan bukan sekularisme (pemisahan secara filosofis).

Salah paham itu datang dari berbagai pihak: birokrasi, pengamat, dan umat. Birokrasi melihat Masyumi sebagai "garis keras" umat, pengamat melihat Masyumi sebagai gerakan skriptural/tekstual, dan umat memandang Masyumi sebagai satu-satunya representasi politik umat yang istiqomah.

Sementara itu, birokrasi melihat "gerakan pembaharuan" sebagai cocok dengan pragmatisme Orde Baru, pengamat menyanjungnya sebagai sekularisme (BJ Boland) atau mengecamnya sebagai gerakan sekularisme (Muhammad Kamal Hassan), dan umat bereaksi seolah-olah "gerakan pembaharuan" adalah sekularisme betulan yang berbahaya.

 
Sejarah politik kita terputus-putus, tidak ada kesinambungan.
 
 

Dengan catatan "kurang-lebih", maka penulis ingin menyuguhkan sebuah sintesa. Jadi, bunyi dialektika itu ialah negara Islam -- negara sekuler -- negara objektif atau islamisasi -- sekularisasi -- objektifikasi. Objektifikasi dapat dipandang sebagai reaksi logis dari sekularisasi, sama seperti posmodernisme adalah reaksi dari modernisme dalam sejarah Barat.

Di Barat modernisme yang dimulai dengan Renaissance ditandai dengan otonomisasi. Teosentrisme (peradaban yang berpusat pada Tuhan) digantikan denan antroposentrisme (peradaban yang berpusat pada manusia). Ekonomi otonom dari agama. Politik lepas dari agama. Masing-masing bagian Eigengesetzlichkeit, mengatur diri sendiri.

Modernisme macam itu yang berpengaruh di sini. Di Eropa modernisme mengakibatkan destabilisasi kaum borjuis dengan hadirnya gerakan kaum buruh pada pertengahan abad ke-19, di sini modernisme "gerakan pembaruan" mengakibatkan destabilisasi umat. Tidak heran bahwa HM Rasyidi dan umat bereaksi keras pada "gerakan pembaharuan".

Posmodernisme yang muncul pada pertengahan 1980-an membalikkan asumsi-asumsi modernisme. Jika modernisme adalah suatu differentiation (pemilahan, pemisahan) maka posmodernisme adalah de-differentiation (pemulihan kembali).

Apakah juga posmodernisme akan mempunyai pengaruh di Indonesia? Jawabnya: mungkin. Pertanyaan kita apakah pemikiran ke arah objektifikasi sebuah gejala posmodernis?

Penulis merasa bahwa objektifikasi itu murni Islam, secara otentik mencerminkan nilai-nilai Islam, tidak ada kaitan sama sekali dengan posmodernisme.

 
Posmodernisme yang muncul pada pertengahan 1980-an membalikkan asumsi-asumsi modernisme.
 
 

Yang ingin penulis katakan ialah bahwa pengaruh modernisme sudah berakhir di Indonesia. Golkar sebagai orsospol juga mengelola beberapa lembaga keagamaan, seperti GUPPI, MDI, Tarbiyah Islamiyah, Pengajian Al-Hidayah, dan sebagainya; PDI mempunyai Majelis Muslimin Indonesia (MMI); dan PPP mengklaim sebagai partainya umat Islam.

Objektifikasi kita temukan karena tema pokok politik kita sekarang ialah soal kekuasaan (power politics), sedangkan masalah kita ialah bagaimana mensiasati industrialisasi. Politik kekuasaan sebenarnya bukan cara baik menuju industrial society.

Isu-isu pinggiran dalam Pemilu 1997, seperti perlu tidaknya mayoritas tunggal dan siapa kampiun pembangunan, tidak menyentuh substansi industrialisasi -- yang masalah dasarnya ialah soal konglomerasi, monopoli, dan perpajakan.

Imajinasi sejarah penulis mengatakan bahwa pada 2020 nanti tema pokok politik kita berubah. Mungkin tema pokok politik kita nanti ialah soal political economy dengan fokus masalah kesejahteraan.

Isu substantifnya ialah soal jaminan sosial (social security) dan negara kesejahteraan (welfare state, verzorgingsstaat), sebab Indonesia sudah mendekati era post-industrial society. Pada waktu itu objektifikasi tentulah sudah tidak diperlukan lagi.

Periodisasi

Membagi-bagi sejarah dalam periode-periode sangat penting. Dengan mengetahui karakteristik sebuah periode, orang akan dapat menjawab pertanyaan: What is to be done? Objektifikasi mempunyai kaitan teoritis dengan periode ilmu dari periodisasi sejarah politik umat Islam di Indonesia.

Penulis membagi sejarah politik umat Islam menjadi tiga periode berdasar sistem pengetahuan masyarakat, yaitu periode mitos, ideologi, dan periode ilmu.

 
Tanda masuknya umat ke periode ideologi ialah berdirinya Sarekat Islam.
 
 

Periode mitos ditandai dengan cara berpikir pralogis (mistik) berbentuk magi, pergerakan politik (pemberontakan) dengan lokasi pedesaan, bersifat lokal, latar belakang ekonom agraris, masyarakat petani, solidaritas mekanis, dan kepemimpinan tokoh kharismatik. Sasaran dari pergerakan politik ialah pemerintah kolonial.

Karena sifatnya yang menekankan kharisma itulah, Belanda sangat khawatir dengan aliansi antara tokoh agama dengan bangsawan, karena kedua elite pribumi itu mempunyai kedudukan istimewa dalam masyarakat.

Para bangsawan diawasi, Pemerintah Hindia-Belanda akan memilih pejabatnya hanya dari bangsawan yang jauh dari agama. Demikian juga kyai, tokoh tarekat, dan haji yang secara potensial adalah tokoh-tokoh politik, diawasi langkahnya.

Sampai masuk abad ke-20, periode mitos itulah yang terjadi. Di Jawa pemberontakan besar terakhir terjadi pada 1888 di Banten, sedangkan di luar Jawa Perang Aceh yang meletus pada 1873 masih terus berlanjut, sampai dekat ketika umat Islam memasuki periode berikutnya, yaitu periode ideologi.

Tanda masuknya umat ke periode ideologi ialah berdirinya Sarekat Islam. Sebagai organisasi politik massa (wong cilik) SI didirikan pada 1911, meskipun kemungkinan bahwa SI sudah berdiri sebagai organisasi nonpolitik pada tahun-tahun sebelumnya (kalangan SI sekarang mengklaim tahun 1905, angka lain ialah 1909).

Ciri organisasi politik yang baru ialah cara berpikir rasional (rasional nilai, wertrational) tapi masih nonlogis berbentuk pengetahuan apriori tentang nilai-nilai abstrak, lokasi, kota, perkumpulan bersifat nasional, ekonomi komersial dan industri kecil, masyarakat pedagang dan "partikelir", solidaritas organis, dan kepemimpinan intelektual.

Reaksi pemerintah kolonial terhadap pergerakan ini ialah mencegah supaya pergerakan tidak meluas dengan hanya mengizinkan berdirinya SI lokal.

Pergerakan ini bukan lagi memakai metoda pemberontakan, tapi pengerahan massa untuk tujuan-tujuan damai. Di antaranya dengan rapat-rapat, aksi-aksi solidaritas, pemogokan, resolusi, penerbitan, pamflet-pamflet, gerakan ekonomi, dan gerakan kebudayaan antifeodalisme.

 
Bahwa riwayat Islam dalam peta politik sudah berakhir, ternyata tidak betul. Islam hanya memasuki babak baru dalam politik, yaitu periode ilmu.
 
 

Untuk pertama kalinya umat mengenal organisasi yang disebut partai, dan metode yang disebut parlemen. Periode ideologi tidak berhenti bersama Masyumi, tetapi sampai 1985 ketika diadakan perubahan dalam orsospol kita. Terhitung sejak 1985 ideologi Islam diharuskan berganti dengan Pancasila.

Apakah dengan demikian Islam kehilangan segalanya? Ada memang sebagian umat yang beritikad baik, dan menganggap bahwa pada tahun 1985 itu deislamisasi sudah terjadi, seolah-olah Islam sudah hilang dari peta politik.

Tetapi, itu anggapan orang yang putus asa, pendek nalar, dan berpikir bahwa Islam itu sempit. Orang mengira bahwa Islam dalam politik hanya bisa diterjemahkan ke dalam satu jenis saja, yaitu ideologi.

Bahwa riwayat Islam dalam peta politik sudah berakhir, ternyata tidak betul. Islam hanya memasuki babak baru dalam politik, yaitu periode ilmu. Dengan ilmu, baik birokrasi, umat, maupun nonumat, diharapkan tidak lagi salah paham. Kesempatan untuk objektifikasi Islam justru sangat terbuka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Objektifikasi memerlukan umat yang dapat berpikir secara logis berdasarkan fakta yang konkret dan empirik. Akhirnya, diharapkan bahwa gagasan objektifikasi dapat membebaskan umat dari prasangka politik pihak-pihak birokrasi, umat sendiri, dan nonumat.

Disadur dari Harian Republika edisi 4 Oktober 1997. Kuntowijoyo (1943-2005) adalah guru besar UGM Yogyakarta. Ia salah satu cendekiawan Muslim paling berpengaruh di Indonesia.

Sepertiga Malam Terakhir

Sungguh, sepertiga malam terakhir begitu agung untuk dilewatkan.

SELENGKAPNYA

Ar-Rubayyi binti Mu'awwidz, Angkat Senjata Bersama Pasukan Muslimin

Ar-Rubayyi juga memberikan pengobatan untuk para sahabat yang terluka.

SELENGKAPNYA

Fenomena Jamaah Lansia Minta Pulang Bisa Diantisipasi

Setibanya di Madinah, Saida menangis dan meminta dipulangkan ke kampung halamannya.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya