ILUSTRASI Dinasti Mughal menjadi contoh daulah Islam yang menerapkan kebijakan toleransi antarumat agama-agama. | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Dinasti-Dinasti Islam dan Teladan Toleransi

Di sepanjang sejarah, pelbagai daulah Muslim menunjukkan keteladanan perihal toleransi.

Toleransi berarti menenggang pendirian yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sikap itu mengandaikan pengakuan terhadap realitas, yakni kemajemukan di tengah masyarakat. Alquran telah mengisyaratkan adanya kuasa Allah SWT di balik fakta tersebut.

Misalnya, surah Yunus ayat 99, yang artinya, “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Maka, tidak ada gunanya memaksakan penyeragaman (homogenisasi) karena keberagaman justru merupakan sunnatullah yang sepatutnya disyukuri.

Sir Thomas Walker Arnold dalam The Preaching of Islam: A History of Propagation of the Muslim Faith mengomentari besarnya penghargaan Islam terhadap prinsip toleransi. Bahkan, menurutnya, kaum non-Muslim menikmati toleransi yang begitu besar di bawah aturan penguasa Muslim.

Padahal, di saat yang sama, Eropa masih belum mengenal toleransi sama sekali. Dunia Barat baru menyemarakkan tenggang rasa antar-dan-internal umat beragama belakangan ini saja, pada zaman modern (atau mungkin pasca-kolonialisme).

 
Dunia Barat baru menyemarakkan tenggang rasa antar-dan-internal umat beragama belakangan ini saja.
   

Lebih lanjut, Sir Thomas mengungkapkan, ketika berabad-abad lamanya dinasti-dinasti Muslim berkuasa, banyak sekte Kristen yang dibiarkan hidup, berkembang, dan bahkan dilindungi aturan negara.

Amat jarang kasus persekusi yang dilakukan orang Islam terhadap komunitas non-Muslim. Menurut orientalis Inggris tersebut, keyakinan yang diajarkan Alquran, “tidak ada paksaan dalam agama” berperan amat penting.

Reza Shah-Kazemi melalui karyanya, The Spirit of Tolerance in Islam, mengemukakan beberapa dinasti yang menunjukkan pentingnya toleransi dalam peradaban Islam. Ambil contoh Kekhalifahan Abbasiyah yang mempersembahkan kepada peradaban dunia Bait al-Hikmah. Perpustakaan itu dibesarkan Sultan Harun al-Rasyid di Baghdad.

Di dalamnya, berlangsung kegiatan-kegiatan ilmiah, mulai dari penerjemahan teks-teks asing ke dalam bahasa Arab hingga riset dan observasi. Sang sultan mengedepankan prinsip toleransi dan meritokrasi di atas identitas.

photo
ILUSTRASI Khalifah Abbasiyah mengangkat seorang non-Muslim untuk menduduki posisi penting di Bait al-Hikmah, Baghdad. - (DOK WIKIPEDIA)

Buktinya, ia mengangkat I’yan Syu’ubi, seorang Persia yang anti-Arab, sebagai kepala perpustakaan. Hal itu disinggung Prof Abdul Hadi WM dalam Cakrawala Budaya Islam. Tidak sedikit pula orang Yahudi yang bekerja sebagai penerjemah teks-teks Yunani Kuno ke bahasa Ibrani dan Arab di Bait al-Hikmah. Ada juga sarjana-sarjana dari India yang aktif berkontribusi di sana.

Contoh lainnya dari makna toleransi ala Islam ditunjukkan Utsmaniyyah dari Turki. Reza mengutip pendapat beberapa sejarawan yang menyatakan, selama hampir tujuh abad (1280-1924), Kesultanan Ustmaniyyah menjadi negeri yang amat multikultural dan multi-agama. Di dalamnya, pelbagai komunitas beda agama dan budaya hidup berdampingan, bekerja sama, dan saling toleran satu sama lain.

Rumah-rumah ibadah kaum Muslim, Kristen, dan Yahudi berdiri berdekatan. Demikian pula dengan pusat-pusat studi masing-masing pemeluk agama. Kemajemukan itulah yang memperkaya khazanah dan peradaban negeri ini.

Dinasti Utsmaniyyah adalah contoh klasik tentang bagaimana seharusnya masyarakat yang plural. Di dalam negeri (daulah) Islam itu, orang-orang non-Muslim juga berhak menikmati pelbagai fasilitas publik, semisal sekolah, rumah sakit, perpustakaan, dan peradilan terbuka.

photo
ILUSTRASI Sultan Mehmed II al-Fatih baru berusia 21 tahun saat memimpin pasukan Islam untuk membebaskan Konstantinopel. - (DOK WIKIPEDIA)

Semangat toleransi antarumat beragama tercermin dalam aturan perundang-undangan, terutama sejak era sang penakluk Konstantinopel, Sultan Mehmet II (1451-1481). Setiap komunitas agama diizinkan untuk memerintah secara otonom (self-government). Sebagai imbalannya, mereka diharuskan membayar pajak jizya yang besarannya variatif.

Mengutip pemaparan Imam al-Mawardi dalam Ahkam Sulthaniyah, jizya ditetapkan atas golongan ahli kitab, yakni orang Yahudi dan Kristen, serta kaum Majusi yang statusnya disamakan dengan keduanya.

Para ahli fiqih masih berbeda pendapat tentang ukuran jizya. Bagaimanapun, Abu Hanifah membagi orang-orang yang terkena jizya ke dalam tiga kelompok sesuai kemampuan materinya, yakni kelas kaya, kelas menengah, dan kelas fakir miskin.

Kelompok pertama hingga ketiga berturut-turut mesti membayar per tahun 48 dirham, 24 dirham, dan 12 dirham. Menurut Yusuf Qardhawi dalam Fiqih Jihad, besaran itu tidak begitu besar bila dibandingkan manfaat yang diperoleh mereka—yakni perlindungan penuh atas kebebasannya beragama.

 
Wanita, anak-anak, penyandang disabilitas, pendeta yang terus menerus beribadah di gereja, dan orang kehilangan akal tidak dibebani dengan jizya.
   

Lagipula, kaum Muslim pun ikut diwajibkan membangun negara melalui zakat, baik atas harta, aset, ternak, pertanian, maupun buah-buahan yang dimilikinya. Mengutip sejarawan Barat, Adam Mertz, jizya menyerupai pajak pertahanan negara.

Oleh karena itu, kaum wanita, anak-anak, penyandang disabilitas, pendeta yang terus menerus beribadah di gereja, dan orang kehilangan akal tidak dibebani dengan jizya.

Kalau dibandingkan dengan Eropa pada abad pertengahan, toleransi yang dijalankan penguasa Muslim jelas lebih unggul. Reza menjelaskan, Kesultanan Utsmaniyyah melindungi komunitas Yahudi.

Sebaliknya, di daerah-daerah yang dikuasai kerajaan-kerajaan Kristen Eropa, anti-semitisme sangat kuat terjadi. Bahkan, kaum Yahudi juga menjadi incaran persekusi kelompok-kelompok fanatikus Kristen.

Pemuka Yahudi pun mengakui besarnya perlindungan penguasa Muslim. Sebagai contoh, Reza mengutip surat Rabbi Isaac Tzarfati kepada Dewan Yahudi Eropa Tengah. Tokoh Yahudi itu berhasil menyelamatkan diri dari persekusi di Eropa Tengah dan tiba di wilayah Utsmaniyyah menjelang tahun 1453.

 
Setiap kami (Kaum Yahudi) dapat hidup dalam damai dan kebebasan.
Rabbi Isaac Tzarfati
 

Melalui suratnya, pria kelahiran Jerman itu memuji Turki sebagai “negeri yang dirahmati Tuhan dan penuh kebaikan.” Selanjutnya dia mengaku bahwa, “di sini (aku) menemukan kedamaian dan kebahagiaan […] Kami (kaum Yahudi) tidak ditindas dengan pajak yang berat, perniagaan kami dapat berlangsung bebas. Setiap kami dapat hidup dalam damai dan kebebasan.”

Dinasti lainnya yang juga merawat subur toleransi antarumat beragama adalah Mughal. Michael H Fisher dalam A Short History of the Mughal Empire mengungkapkan, kesultanan tersebut bertahan tiga abad lamanya dengan jumlah penduduk yang mencapai 150 juta jiwa.

Mereka bukan hanya umat Islam, melainkan juga umat agama-agama lain. Di era kejayaannya, Kesultanan Mughal sangat bineka dan kaya, sehingga mengendalikan hampir seperempat total nilai produksi dunia (gross domestic product/GDP).

photo
ILUSTRASI Pada masa jaya, Dinasti Mughal menguasai porsi besar GDP dunia . EPA/OMER SALEEM *** Local Caption *** 51084272siluet menara masjid ; sunset - (EPA)

Pendiri Dinasti Mughal adalah Zahiruddin Muhammad bin Omar Syekh alias Sultan Babur. Saat pertama kali menaklukkan Hindustan (India), komunitas Muslim adalah minoritas, sedangkan mayoritasnya memeluk Hindu. Sebagai informasi, Islam tersebar di Anak Benua India antara lain berkat dakwah para sufi dan kaum pedagang asal Arab Selatan.

Fisher menjelaskan, Sultan Babur tidak menganggap kaum Hindu sebagai musuh. Bagi sang penakluk itu, status mereka dapat disetarakan dengan ahl al-kitab, yakni kaum Kristen dan Yahudi. Oleh karena itu, mereka dilindungi dan berhak mengadakan pemerintahan otonom sembari setia membayar pajak jizya.

Posisi sosial kaum itu juga naik lantaran beberapa keturunan Sultan Babur memperistri kalangan rajput yang beragama Hindu. Sepeninggalan Babur, para penguasa Mughal justru lebih longgar dalam memberlakukan aturan. Sebagai contoh, negara tidak lagi menarik jizya dari rakyatnya yang non-Muslim.

photo
Sultan Akbar I, seorang raja dari Dinasti Mughal - (DOK WIKIPEDIA)

Pemimpin berikutnya yang terkenal akan sikap tolerannya adalah Abul Fatah Jalaluddin Muhammad alias Sultan Akbar. Selama 50 tahun dia berkuasa, wilayah Kerajaan Mughal meliputi hampir seluruh Anak Benua India.

Sultan Akbar mengenal betul karakteristik masyarakat India yang berbineka. Untuk menjamin ketentraman rakyat dan stabilitas negara, dia merangkul kelompok-kelompok rajput Hindu. Pada 1579, dihapusnya aturan pajak atas kafir dzimmi.

Sultan Akbar juga menjalankan sistem birokrasi yang lebih menghargai kemampuan dan prestasi individual, alih-alih identitas suku dan agama. Maka dari itu, banyak penasihat kerajaan yang berasal dari kalangan Hindu serta non-Muslim lainnya.

Kebijakannya di tengah rakyat pun sarat nilai toleransi. Misalnya, orang-orang yang berperkara akan diadili sesuai dengan kitab suci agama mereka masing-masing.

Sastra Aceh, Sastra Perjuangan

Bagi orang Aceh, karya-karya sastra menjadi bagian dari sejarah panjang perjuangan.

SELENGKAPNYA

Mengenal Abu Nawas, Sufi Jenaka dari Abbasiyah

Abu Nawas berkawan baik dengan sultan Abbasiyah, Harun al-Rasyid.

SELENGKAPNYA

Ketika Mimpi Dibalas Mimpi

Dengan dalih disuruh perintah lewat mimpi, Abu Nawas menyuruh para muridnya hancurkan rumah kadi.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya