
Kisah
Sang Ajudan Rasulullah
Qais bin Sa’ad dijuluki sebagai ajudan Nabi Muhammad SAW.
Sejak belia, Qais tumbuh dalam keluarga yang mengutamakan akhlak. Ia merupakan putra pemimpin Suku Khazraj di Madinah, Sa’ad bin ‘Ubadah. Sahabat Nabi Muhammad SAW ini menjadi seorang Muslim ketika masih berusia anak-anak.
Waktu itu, ayahnya memperkenalkannya ke hadapan Rasulullah SAW. Sebuah riwayat menyebutkan, Nabi SAW terkesan dengan Qais. Sejak saat itu, kedekatan lelaki ini dengan Rasulullah SAW terbina baik. Salah seorang sahabat, Anas bin Malik pernah mengungkapkan, “Kedudukan Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah di sisi Nabi SAW tidak ubahnya seperti seorang ajudan.”
Baik sebelum maupun setelah masuk Islam, Qais terkenal sebagai pribadi yang dermawan tetapi juga berakal panjang. Hal inilah yang membuat kebanyakan masyarakat Madinah gentar terhadapnya. Setelah keimanan menetap dalam hatinya, Qais mengubah kepiawaiannya dalam mengakali orang-orang dengan kejujuran.
Ia memang termasuk orang yang piawai dalam berbahasa diplomatis. Alhasil, lawan bicaranya dapat saja menuruti kemauan Qais. Pernah suatu ketika lelaki Anshar ini berkata kepada kawan-kawannya, “Kalaulah bukan lantaran Islam, sudah kubuat tipu muslihat yang tak akan dapat ditandingi sekalian bangsa Arab.”
Baginya, Islam merupakan jalan menuju rahmat Allah. Oleh karena itu, Qais lebih konsisten mengamalkan sifat kedermawanan, sebagaimana didikan dari keluarga besarnya. Secara turun-temurun, Ibnu ‘Ubadah termasuk keluarga yang ringan hati dalam membantu masyarakat Madinah. Bahkan, Rasulullah SAW pernah berkata, “Kedermawanan merupakan tabiat anggota keluarga ini (Bani ‘Ubadah).”
Sebagai contoh, di muka rumah keluarga Sa’ad bin ‘Ubadah kerap ada beberapa penjaga. Mereka memantau dari tempat yang tinggi untuk kemudian menyerukan kepada beberapa musafir yang kebetulan lewat. Tujuannya mengajak para pelintas itu untuk ikut makan bersama keluarga Sa’ad.
Kedermawanan merupakan tabiat anggota keluarga ini (tempat Qais bin Sa'ad berasal).Rasulullah SAW
Ujaran yang cukup mahsyur di kalangan Anshar, “Barangsiapa yang ingin memakan lemak dan daging, silakan mampir ke dalam benteng perkampungan Dulaim bin Haritsah!” Dulaim bin Haritsah merupakan kakek buyut Qais bin Sa’ad. Demikian seperti dikutip dari buku Yang Merangkak ke Surga
Perubahan yang cukup drastis dari pribadi Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah membuat orang-orang Madinah semakin respek terhadapnya. Meskipun begitu, perawakan Qais betul-betul lebih muda bahkan ketimbang kawan-kawan sebayanya.
Misalnya, ia berwajah licin alias tidak memiliki janggut. Akan tetapi, penampilan bukanlah soal bagi pribadi yang terkenal konsisten berbuat baik terhadap kaumnya. Walaupun berusia muda, kaum Anshar memandang Qais sebagai seorang pemimpin.
Pada suatu hari, Qais bin Sa’ad bersedia memberikan pinjaman kepada seorang kawannya yang sedang terlilit kesulitan. Beberapa lama berselang, temannya ini mendapatkan kemudahan rezeki sehingga bisa membayar kewajibannya.
Namun, Qais dengan halus menolaknya. “Kami tidak hendak menerima kembali apa-apa yang telah diberikan,” katanya.
Selain sifat pemurah dan kecerdasannya, Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah terkenal bermental juang yang tinggi. Sewaktu Rasulullah SAW masih hidup, tidak ada satu pun medan jihad yang di dalamnya Qais absen.
Bila lisannya piawai dalam berdiplomasi, maka langkah kaki dan ayunan pedangnya juga tak kenal ragu dalam menghantam musuh-musuh Allah. Dia selalu bersedia menerima setiap tugas dengan hati yang lapang.
Pascawafatnya Nabi
Namun, sejarah mencatat namanya terutama dalam medan Pertempuran Shiffin, yang merupakan “perang saudara” pertama di antara sesama Muslim setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Dalam peperangan ini, Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah memihak kepada ‘Ali bin Abi Thalib yang berkontra terhadap Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Awalnya, Qais sempat berupaya merancang upaya konspirasi untuk menjebak orang-orang pendukung Mu’awiyah. Akan tetapi, tiba-tiba ia teringat salah satu firman Allah SWT di dalam Alquran yang memperingatkan bahwa dampak tipu daya jahat akan berpulang ke pelakunya sendiri. Oleh karena itu, Qais pun mengurungkan niatnya. Kemudian, ia beristighfar kepada Alllah SWT.

“Demi Allah, seandainya Mu’awiyah dapat mengalahkan kita nanti, maka kemenangannya itu bukanlah karena kepintarannya, tetapi hanyalah karena kesalehan dan ketakwaan kita,” seru Qais kepada pasukannya.
Adapun keberpihakannya kepada kubu ‘Ali bin Abi Thalib bukanlah fanatisme buta. Sebab, sebelumnya Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah telah menyelidiki sendiri siapa yang sesungguhnya meneguhkan kebenaran. Keberanian yang benar lahir dari pribadi yang jujur dan mendukung kebenaran secara tulus, bukan lantaran keuntungan materiil atau kekuasaan.
Sebelum pecah Pertempuran Shiffin, Qais mendapatkan amanah sebagai gubernur Mesir. Ia diangkat oleh Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib. Namun, sejak lama Mu’awiyah mengincar perluasan kekuasaannya ke Mesir.
Terpilihnya Qais menjadi gubernur Mesir membuat Mu’awiyah dan para pendukungnya cemas. Tidak kurang dari Mu’awiyah sendiri yang merencanakan tipu daya demi memusuhi ‘Ali bin Abi Thalib dan mendegradasi kepemimpinannya di mata kaum Muslim.
Sampailah ketika ‘Ali bin Abi Thalib memanggil pulang Qais dari Mesir. Selang beberapa waktu, akhirnya Qais sendiri menyatakan dukungan terbukanya kepada Khalifah ‘Ali. Padahal, Mu’awiyah telah berupaya keras membujuk Qais agar menyeberang dari kubu ‘Ali.

Sebabnya antara lain, Qais tidak merasa Khalifah ‘Ali memecatnya dari jabatan gubernur di Mesir. Jabatan hanyalah amanah yang bersifat sementara. Di sini kita tahu bahwa Qais tidak berambisi pada kekuasaan pribadi, melainkan profesionalisme.
Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah mengalami masa setelah Khalifah ‘Ali gugur dan putranya, Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, dibaiat menjadi pemimpin. Qais memandang cucu Rasulullah SAW itu sebagai sosok yang mampu memimpin umat.
Akan tetapi, bahaya sudah di ambang mata. Pihak-pihak yang membenci Hasan sudah menggelorakan pelbagai fitnah sehingga menyulut konflik terbuka. Bagaimanapun, Qais tetap teguh di pihak Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib.
Qais lantas memimpin pasukan yang terdiri atas lima ribu prajurit untuk melawan pasukan Mu’awiyah. Dalam pada itu, Hasan meminta para pendukungnya untuk berhenti mengangkat senjata dan mulai berunding dengan kubu Mu’awiyah. Lantas, baiat dilangsungkan terhadap Mu’awiyah.
Di sinilah Qais mulai merenungkan lagi kepelikan konflik internal antarumat Islam itu. Dia tahu dan meyakini betul bahwa Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib berada dalam pihak yang benar. Oleh karena itu, Qais berpidato di hadapan ribuan pasukannya.
Jika kalian menginginkan perang, aku akan tabah berjuang bersama kalian sampai salah satu di antara kita diambil maut terlebih dahulu! Tapi, jika kalian memilih perdamaian, maka aku akan mengambil langkah-langkah untuk itu.Qais bin Sa'ad
Ternyata, mayoritas pasukannya memilih jalan perdamaian serta menghendaki keamanan dari Mu’awiyah yang baru saja dibaiat. Untuk itu, Qais menyepakatinya.
Beberapa tahun kemudian, Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah menemui masa akhir kehidupannya. Ia wafat pada tahun 59 Hijriah di Madinah. Namanya akan selalu dikenang sebagai pribadi yang pemberani, jujur, dan penuh kedermawanan.
Percik Pemikiran Mukti Ali
Prof Abdul Mukti Ali kerap disebut sebagai Bapak Kerukunan Antarumat Agama.
SELENGKAPNYABiografi Mukti Ali, Tokoh Kerukunan Umat Beragama
Sebagai seorang menteri agama, Mukti Ali mengonsep dan menerapkan gagasan kerukunan.
SELENGKAPNYASetia dan Kebijaksanaan Sahabat Nabi
Miqdad bin Amr menjadi contoh betapa setia para sahabat mendampingi perjuangan Nabi SAW.
SELENGKAPNYA