Prof Abdul Mukti Ali | DOK WIKIPEDIA

Mujadid

Biografi Mukti Ali, Tokoh Kerukunan Umat Beragama

Sebagai seorang menteri agama, Mukti Ali mengonsep dan menerapkan gagasan kerukunan.

Prof KH Abdul Mukti Ali lahir di Cepu, Jawa Timur, pada 23 Agustus 1923. Putra pasangan Abu Ali dan Khadijah ini awalnya diberi nama Boedjono. Ia merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara.

Saat masih kecil, dirinya mendapatkan pendidikan agama langsung dari orang tua. Selain itu, pengajian Alquran di surau yang tak jauh dari rumah juga diikutinya.

Setelah berumur delapan tahun, Abdul Mukti Ali mengenyam pendidikan formal di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Cepu yang setara sekolah dasar zaman sekarang. Menginjak usia 17 tahun, ia meneruskan belajar di Pondok Pesantren Termas, Kediri, Jawa Timur. Lembaga tersebut ketika itu diasuh KH Hamid Dimyathi.

Saat mondok di pesantren inilah Abdul Mukti Ali mulai melepaskan nama Boedjono. Dalam buku Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial Politik dijelaskan, nama Abdul Mukti merupakan pemberian dari Kiai Hamid. Adapun sebutan Ali ditambahkan oleh orang tuanya.

Sebagai seorang santri, komitmen keislaman Abdul Mukti tentu tidak perlu diragukan lagi. Selain nyantri di Pesantren Tremas, dia juga mengaji ke sejumlah pesantren lain. Salah satunya adalah lembaga yang didirikan Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang. Saat masa revolusi mulai meletus pada 1945, dia sempat menghentikan proses belajarnya sebagai santri.

Mulai tertarik pada dunia politik pergerakan, pada 1946, Abdul Mukti sempat menjadi anggota Dewan Wakil Rakyat Blora. Setelah itu, dia meneruskan studinya ke Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta, yang kini sudah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).

Namun, agresi militer Belanda pecah pada akhir 1948. Kegiatan perkuliahan pun terhenti. Para mahasiswa, termasuk Abdul Mukti, ikut berjuang bersama dengan tentara angkatan perang sabil yang dipimpin Kiai Abdurrahman dari Kedungbanteng.

 
Para mahasiswa, termasuk Abdul Mukti, ikut berjuang bersama dengan tentara.
   

Setelah Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda, masa perang berakhir. Situasi umum di Tanah Air mulai kondusif. Dengan kemampuan akademiknya, Abdul Mukti berkesempatan melanjutkan kuliah ke Fakultas Bahasa Arab, Universitas Karachi, Pakistan. Dengan kerja keras, dia pun berhasil meraih gelar doktor sejarah Islam pada 1955.

Atas saran seorang aktivis Masyumi, Anwar Harijono, dia pun melanjutkan lagi pendidikan tinggi ke Kanada. Abdul Mukti pun masuk ke McGill University di Montreal. Gelar Master of Arts (MA) dalam bidang perbandingan agama berhasil diraihnya pada 1957.

Saat belajar di Kanada, Abdul Mukti mendalami metode studi agama-agama. Dia juga menjalin pertemanan dengan sejumlah profesor, terutama yang fokus pada kajian Islam. Dia mulai mengkaji pula teologi Islam. Salah seorang pengajar yang memperkenalkannya pada pendekatan komparatif dalam mempelajari agama ini ialah Prof Wilfred Cantwell Smith.

Setelah menyelesaikan studinya di Kanada, dia kembali ke Tanah Air. Dia diterima bekerja pada bagian Pendidikan Agama di Departemen Agama (kini Kementerian Agama). Di samping itu, dia juga mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Yogyakarta, IAIN Jakarta, dan sejumlah perguruan tinggi lain di Indonesia.

Sebagai dosen, dia terutama mengampu matakuliah Ilmu Perbandingan Agama. Pada saat itu, ilmu itu tergolong baru bagi umumnya sivitas akademika. Kendati demikian, banyak mahasiswa yang berminat mendalami kajian ini.

 
Salah satu komitmennya mempersiapkan pembukaan jurusan Perbandingan Agama.
   

Pada 1961, Abdul Mukti mendapatkan amanah sebagai dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta. Salah satu komitmennya mempersiapkan pembukaan jurusan Perbandingan Agama. Dia ditunjuk pihak Departemen Agama untuk memimpin program tersebut dan merumuskan kurikulumnya. Sampai saat ini, jurusan Perbandingan Agama ini masih terus berkembang di kampus-kampus keislaman di Tanah Air.

Di luar dunia akademik, Abdul Mukti juga aktif di organisasi, baik dalam maupun luar negeri. Pengalaman keorganisasiannya macam-macam. Misalnya, dia pernah menjadi anggota Komite Kebudayaan Islam yang berpusat di Paris, Prancis. Ia juga tercatat sebagai anggota Dewan Penasihat Pembentukan Parlemen Agama-agama Sedunia di New York, Amerika Serikat.

Organisasi-organisasi yang diikutinya menjadi arena bagi Abdul Mukti untuk menyampaikan gagasannya, termasuk dalam hal menata hubungan antarumat beragama. Dia selalu mencita-citakan terwujudnya kehidupan yang harmonis antarelemen masyarakat.

photo
Gedung Kemenag yang berada di Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta Pusat, Rabu (17/9). - (Republika/Raisan Al Farisi)

Tidak mengherankan bila pandangan demikian diterapkannya ketika dirinya masuk jajaran pemerintahan. Ia selalu berpegang pada prinsip, negara seharusnya mengayomi seluruh umat berbagai agama di Tanah Air. Hal itulah yang ditunjukkannya kala mengabdi kepada Indonesia sebagai seorang menteri agama, yakni pada periode 1971-1978.

Dalam kapasitasnya itu, Abdul Mukti tidak hanya menggagas konsep kerukunan umat beragama. Menteri pada era Kabinet Pembangunan II ini juga menginisiasi lahirnya jurusan Perbandingan Agama di lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama (Kemenag).

Setia dan Kebijaksanaan Sahabat Nabi

Miqdad bin Amr menjadi contoh betapa setia para sahabat mendampingi perjuangan Nabi SAW.

SELENGKAPNYA

Kesabaran Khabbab bin Arats

Khabbab bin Arats adalah seorang sahabat Nabi yang pernah alami siksaan dahsyat dari kafir Quraisy.

SELENGKAPNYA

Ukraina-Rusia Saling Tuding Soal Jebolnya Bendungan

Ribuan warga dievakuasi selepas jebolnya Bendungan Nova Kakhovka

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya