
Mujadid
Percik Pemikiran Mukti Ali
Prof Abdul Mukti Ali kerap disebut sebagai Bapak Kerukunan Antarumat Agama.
Pada zaman Orde Baru, Prof Abdul Mukti Ali dipercaya menjadi menteri agama. Jabatan ini diembannya selama dua periode, yakni sejak 1971 hingga 1978. Mulai tanggal 11 September 1971, lelaki kelahiran Blora, Jawa Tengah, ini mulai menggantikan KH M Dachlan dalam menakhodai Departemen Agama era Kabinet Pembangunan I.
Pada saat menjabat menteri agama, Abdul Mukti semakin giat menerapkan berbagai konsep dan pemikirannya. Misalnya, ia menggagas model kerukunan antarumat beragama dengan tujuan menciptakan harmoni kehidupan nasional.
Model yang digagas Abdul Mukti dilandasi prinsip keadilan Islam. Ajaran agama ini menekankan tiga hal penting, yaitu kebebasan hati nurani secara mutlak, persamaan kemanusiaan secara sempurna, dan solidaritas dalam pergaulan yang kokoh.
Gagasan dan pemikirannya ini tetap diteruskan oleh penggantinya di lingkungan Departemen Agama (kini Kementerian Agama). Bahkan, ide Abdul Mukti kemudian dikembangkan menjadi konsep Trilogi Kerukunan, yang meliputi kerukunan internal umat beragama, kerukunan antarumat beragama, serta kerukunan antara umat beragama dan pemerintah.

Dalam membicarakan kerukunan antarumat beragama, Abdul Mukti memakai beberapa konsep dalam Ilmu Perbandingan Agama, seperti agree in disagreemment dan dialog. Bagaimanapun, sebagai seorang Muslim, semangat yang diusungnya ialah Islam dengan komitmen menebar rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin).
Dalam kiprahnya, Mukti Ali mempelopori dialog yang mengarusutamakan corak moderat, dialogis dan menghargai kemajemukan. Dia juga mengampanyekan perdamaian, saling pengertian, dan saling menghormati dalam bingkai persatuan dan kesatuan bangsa.
Agree in disagreement
Prof Abdul Mukti Ali merupakan seorang cendekiawan Muslim yang berperan secara nasional. Kiprahnya terutama dalam menguatkan harmoni antarumat beragama serta antara masyarakat dan pemerintah. Konsepnya yang paling menonjol ialah agree in disagreement. Artinya, ‘setuju dalam perbedaan pandangan.’
Konsep ini pertama kali dikemukakannya dalam forum simposium di Goethe Institute Jakarta beberapa bulan sebelum dirinya menjabat sebagai menteri. Konsep inilah yang kemudian dikembangkannya lebih lanjut menjadi kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia.
Abdul Mukti berpandangan, perbedaan macam-macam pemikiran, agama, ras, suku, bahasa dan budaya semestinya menjadi pedoman untuk menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Di tengah berbagai perbedaan, semua kalangan harus menghargai dan menerima kemajemukan sebagai realitas sosial.
Berdasarkan argumentasi tersebut, Abdul Mukti Ali secara intensif mengembangkan Ilmu Perbandingan Agama di Tanah Air. Hal ini dilakukannya untuk memajukan sarana keilmuan yang dapat mengajak publik agar bersikap terbuka, sesuai semangat agree in disagreement.
Kontribusi pemikiran Abdul Mukti dalam menjaga kerukunan di Indonesia tak hanya meliputi aspek keilmuan, tetapi juga relasi sosial. Dia dengan penuh semangat membudayakan dialog antarumat beragama. Forum-forum pertemuan para tokoh lintas agama diharapkan mampu memantapkan harmoni sosial.
Abdul Mukti dikenal sangat peduli dengan problem kerukunan hidup antarumat beragama. Dalam perjalanan sejarah, bangsa Indonesia tak jarang diwarnai konflik-konflik. Untuk mengantisipasinya, menurut dia, perlu adanya pemahaman terkait agree in disagreement di tengah kemajemukan.
Makna prinsip tersebut sesungguhnya dilandasi rasa saling menghargai dan menghormati perbedaan yang ada. Prinsip ini sepenuhnya membiarkan masing-masing komunitas agama yang berbeda secara sunguh-sungguh melaksanakan ajaran agamanya.
Tidak ada pemaksaan. Tidak ada intervensi. Hal ini senafas dengan pernyataan dalam Alquran, Lakum diinukum waliyadin, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.”
Dalam buku berjudul Prof Dr H A Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru, Ali Munhanif menjelaskan, metode agree in disagreement mengajarkan, setiap orang percaya agama yang dianutnya adalah yang paling baik dan benar.
Namun, kepercayaan itu tidak untuk dibenturkan satu sama lain. Yang perlu ditemukan ialah persamaan persepsi antarpemeluk agama-agama, yakni sebagai sesama manusia. Pada intinya, setiap orang ingin hidup dalam rasa aman, tenteram, dan dihormati imannya.
Akhir hayat
Saat usianya mulai menua, Prof Abdul Mukti Ali sempat mengalami gangguan kesehatan. Sebelum wafat, dia dirawat di Rumah Sakit Umum Dr Sardjito, Yogyakarta. Pada 5 Mei 2004, dia berpulang ke rahmatullah.
Jenazah sang guru besar itu kemudian dikebumikan di kompleks permakaman keluarga besar IAIN Sunan Kalijaga, tepatnya di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sepanjang hayatnya Abdul Mukti Ali dikenal sebagai seorang pemikir Islam yang gigih mendaratkan dan memperjuangkan kerukunan hidup antarumat beragama di Indonesia. Tak ayal, namanya dikenal, khususnya di lingkungan Kementerian Agama, sebagai Bapak Kerukunan Nasional.

Para Penyair di Zaman Nabi
Sejumlah sahabat memanfaatkan kemampuan mereka menggubah sajak untuk membela Nabi SAW.
SELENGKAPNYAMerawat dan Menghidupkan Lagi Aset-Aset Bersejarah
Aset-aset BUMN didorong untuk ramah UMKM dan menjadi pusat industri kreatif.
SELENGKAPNYABiografi Mukti Ali, Tokoh Kerukunan Umat Beragama
Sebagai seorang menteri agama, Mukti Ali mengonsep dan menerapkan gagasan kerukunan.
SELENGKAPNYA