Petani mengayak gabah di lahan persawahan di Cisaranten Kidul, Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (16/3/2023). | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Dialektika

Beras dan Ketahanan Pangan Petani

Budidaya tanaman padi telah menjadi kultur yang melekat kuat di banyak masyarakat perdesaan.

YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; ASKAR MUHAMMAD, Peneliti IDEAS

Sebagai bahan makanan pokok, budidaya tanaman padi telah menjadi kultur yang melekat kuat di banyak masyarakat perdesaan, dan bercocok tanam padi sawah telah menjadi pekerjaan turun temurun bagi banyak petani.

Bagi petani, hasil budidaya padi digunakan untuk memenuhi konsumsi keluarga dan sekaligus untuk pendapatan dengan menjual hasil produksi ke pasar. Dengan demikian, produktivitas dan keberlanjutan usaha tani padi sawah tidak hanya penting bagi pendapatan petani, tapi juga krusial bagi ketahanan pangan keluarga mereka.

Sektor pertanian dan perdesaan bernilai tambah rendah umum dicirikan dengan kemiskinan yang ekstensif. Kemiskinan petani berakar pada tingkat upah riil pertanian yang rendah, ketiadaan lahan bagi petani, dan ketergantungan petani pada upah sebagai buruh.

photo
Petani memetik cabai yang masih layak di Parangtritis, Bantul, Yogyakarta, Selasa (18/10/2022). - (Republika/Wihdan Hidayat)

Profil petani dan penduduk desa umumnya digambarkan sebagai komunita kecil yang homogen dan hidup secara tradisional, serta sebagai produsen pertanian skala kecil yang berbasis pekerja keluarga. Namun faktanya adalah terdapat kesenjangan yang sangat lebar dalam kepemilikan lahan pertanian, terutama di Jawa, yang sebagian besar petani tidak memiliki lahan.

Mereka pun menggantungkan kesejahteraannya pada upah sebagai buruh tani. Tenaga kerja perdesaan karenanya memiliki mobilitas yang tinggi dan beragam antar desa.

Profil umum petani yang lemah tidak banyak berubah hingga kini. Pada Maret 2022, diketahui profil utama 56,8 juta penduduk di sektor pertanian tanaman padi dan palawija adalah berikut.

(1) Sebagian besar berlokasi di Jawa, yaitu 58,3 persen, diikuti Sumatra 16,1 persen, Bali – Nusa Tenggara 9,2 persen dan Sulawesi 8,6 persen, (2) Sebagian besar yaitu 57,8 persen merupakan kelas ekonomi lemah, yaitu termasuk 40 persen kelompok terendah, dan (3) Penguasaan lahan adalah rendah, yang terlihat dari banyaknya penduduk di sektor pertanian tanaman padi-palawija dengan status pekerjaan sebagai buruh, pekerja bebas, dan pekerja keluarga.

photo
Ringkih Petani Negeri. Profil petani tanaman padi palawija Indonesia 2022. Data diolah IDEAS. - (IDEAS Dialektika Republika)
 

Zakat fitrah dan ketahanan pangan

Salah satu ibadah material terpenting dari Ramadhan yang baru saja kita lalui adalah menunaikan zakat fitrah. Zakat fitrah adalah transfer konsumsi, yaitu berupa bahan makanan pokok, dari kelompok kaya ke miskin, sehingga proporsi si miskin dalam konsumsi pangan secara agregat akan meningkat.

Distribusi konsumsi pangan yang lebih merata akan menekan masalah-masalah sosial di masyarakat yang berasal dari rendahnya konsumsi pangan si miskin seperti kelaparan ekstrem, kurang gizi dan gizi buruk, hingga stunting.

Secara singkat, zakat fitrah adalah ritual tahunan yang seharusnya menjadi pengingat bangsa Muslim terbesar di dunia ini akan pentingnya ketahanan pangan setiap penduduk.

Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar sedunia, potensi zakat fitrah di Indonesia adalah signifikan. Dengan estimasi jumlah penduduk Muslim adalah 240,2 juta orang, kami memperkirakan penduduk Muslim yang wajib menunaikan zakat fitrah berjumlah 192,3 juta – 216,1 juta orang atau sekitar 80,1 – 90,0 persen dari total penduduk Muslim.

photo
Potensi Zakat Fitrah 2023. Estimasi muzaki dan potensi zakat fitrah Indonesia 2023. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Dengan estimasi ini, kami memperkirakan potensi zakat fitrah pada 2023 berada di kisaran 481 ribu – 540 ribu ton beras atau setara Rp 4,32 – 4,74 triliun. Temuan ini berimplikasi bahwa penduduk Muslim yang berhak menerima zakat fitrah berjumlah antara 24,1 juta – 47,9 juta orang atau sekitar 10,0 – 19,9 persen dari total penduduk Muslim.

Ketahanan pangan tertinggi, terutama di komoditas beras, seharusnya ada di kelompok petani padi sebagai produsen. Namun rendahnya kesejahteraan petani membuat potensi zakat fitrah dari petani Muslim secara umum lebih rendah dari rata-rata penduduk Muslim.

Dengan estimasi jumlah petani padi-palawija Muslim adalah 48,6 juta orang, kami memperkirakan petani Muslim yang wajib menunaikan zakat fitrah berjumlah antara 32,9 juta – 40,2 juta orang atau sekitar 67,7 – 82,7 persen dari total petani Muslim.

Temuan ini berimplikasi bahwa petani Muslim yang berhak menerima zakat fitrah berjumlah antara 8,4 juta – 15,7 juta orang atau sekitar 17,3 – 32,3 persen dari total petani Muslim.

Meski merupakan produsen beras, secara ironis kerawanan pangan banyak terjadi di pedesaan dan rumah tangga petani padi. Sebagai produsen beras, ketahanan pangan keluarga petani seharusnya lebih baik karena akses pangan mereka terutama dipenuhi oleh produksi sendiri, selain masih dapat melakukan pembelian atau menerima pemberian dan bantuan pangan. Namun perbedaan status pekerjaan, yang banyak terkait dengan perbedaan dalam kepemilikan lahan dan kapital, membuat ketahanan pangan keluarga petani menjadi sangat berbeda-beda.

Akses ke pangan dalam jumlah dan kualitas yang baik umumnya hanya ditemui pada rumah tangga petani pemilik lahan dan petani penggarap. Sedangkan bagi petani gurem dan terlebih buruh tani, akses pangan mereka relatif terbatas yang menyebabkan tingginya insiden kerawanan pangan, terutama di keluarga buruh tani.

Ketahanan pangan petani

Kerawanan pangan menjadi krisis paling serius yang dihadapi 58,6 juta penduduk di sektor padi dan palawija. Kerawanan pangan ringan (mild food insecurity) seperti pernah merasa khawatir tidak memiliki cukup makanan untuk dimakan, yang mengindikasikan individu tidak memiliki cukup persediaan pangan, terkonfirmasi di 21,86 persen dari keluarga petani padi-palawija.

Sedangkan, kerawanan pangan moderat, di mana individu mulai mengurangi jumlah konsumsi pangan dan bahkan mulai tidak memiliki persediaan pangan, terkonfirmasi jauh lebih rendah, hanya 0,27 persen penduduk di sektor padi-palawija.

Sedangkan, kerawanan pangan parah (severe food insecurity) di mana individu telah mulai mengalami kondisi kelaparan (experiencing hunger), hanya terkonfirmasi 0,02 persen penduduk di sektor padi dan palawija.

Terdapat pola yang konsisten, yaitu kerawanan pangan keluarga petani padi-palawija di wilayah nonsentra padi jauh lebih tinggi dibandingkan kerawanan pangan serupa di wilayah sentra padi. Hal ini kemungkinan besar mengindikasikan perbedaan produktivitas petani di wilayah sentra padi yang jauh lebih tinggi dibandingkan di wilayah nonsentra padi.

photo
Petani merontokkan padi saat musim panen di Desa Imbanagara, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (1/2/2023). - ( ANTARA FOTO/Adeng Bustomi )

Salah satu alasan utama intervensi pemerintah melalui harga minimum gabah adalah untuk melindungi petani dan menurunkan kemiskinan perdesaan. Kebijakan ini didasarkan keyakinan bahwa petani akan diuntungkan dengan harga gabah yang lebih tinggi, dan membaiknya insentif bagi petani untuk memproduksi padi akan menguntungkan desa dan menurunkan kemiskinan.

Namun ketika sebagian besar petani mengkonsumsi beras lebih banyak dari yang mereka produksi, maka harga beras yang lebih tinggi justru akan merugikan mereka. Harga pangan yang lebih tinggi berdampak buruk pada mayoritas petani.

Dengan status sebagai petani gurem dan buruh tani, sebagian besar petani bukanlah produsen beras, melainkan konsumen beras. Sebagian besar kebutuhan beras harus mereka beli di pasar. Harga beras yang tinggi karenanya berimplikasi pada transfer pendapatan dari sebagian besar konsumen ke segelintir produsen.

Pada 2022 tercatat 56,8 juta penduduk di sektor padi dan palawija mengonsumsi 5,1 juta ton beras senilai Rp 48,9 triliun. Dengan demikian, konsumsi beras rata-rata penduduk di sektor padi dan palawija berkisar 89,7 kg per tahun dengan harga beli rata-rata Rp 9.594 per kg. Namun terlihat pola konsumsi yang berbeda antara wilayah sentra padi dan wilayah nonsentra padi.

Ironi Rawan Pangan Petani. Kerawanan pangan yang dialami keluarga petani padi palawija 2022. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

  ​

Penduduk sektor padi dan palawija di wilayah sentra padi terlihat memiliki akses ke beras yang lebih baik dibandingkan wilayah nonsentra padi. Pada 2022 tercatat konsumsi beras rata-rata dari 45,4 juta penduduk sektor padi dan palawija di wilayah sentra padi berkisar 90,1 kg per tahun dengan harga beli rata-rata Rp 9.132 per kg.

Pada waktu yang sama, konsumsi beras rata-rata dari 11,4 juta penduduk sektor padi dan palawija di wilayah nonsentra padi hanya di kisaran 88,2 kg per tahun dengan harga beli rata-rata Rp 11.470 per kg.

Terlihat bahwa keluarga petani di wilayah nonsentra padi menghadapi harga beras yang jauh lebih tinggi dibandingkan keluarga petani di wilayah sentra padi. Harga beras yang lebih rendah membuat konsumsi beras dan ketahanan pangan keluarga petani di wilayah sentra padi menjadi lebih tinggi dibandingkan keluarga petani di wilayah nonsentra padi.

Konsumsi beras dari hasil produksi pertanian terhadap konsumsi rumah tangga petani adalah krusial untuk ketahanan pangan rumah tangga petani. Namun sebagian besar konsumsi beras keluarga petani berasal dari pembelian.

Pada 2022 tercatat dari 5,1 juta ton konsumsi beras penduduk sektor padi dan palawija hanya sekitar 39,3 persen yang berasal dari produksi sendiri, sedangkan 60,7 persen sisanya berasal dari pembelian di pasar. Namun keluarga petani di wilayah sentra padi terlihat memiliki produktivitas lebih baik dari petani di wilayah nonsentra padi sehingga konsumsi beras dari produksi sendiri lebih tinggi.

Dari 4,1 juta ton konsumsi beras penduduk sektor padi dan palawija di wilayah sentra beras hanya 41,3 persen berasal dari produk sendiri, sedangkan 58,7 persen sisanya berasal dari pembelian di pasar.

Sedangkan dari 1,0 juta ton konsumsi beras penduduk sektor padi dan palawija di wilayah nonsentra beras hanya 30,8 persen berasal dari produk sendiri, sedangkan 69,2 persen sisanya berasal dari pembelian di pasar.

Petani Tapi Beli Nasi. Profil konsumsi beras petani Indonesia 2022. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

  ​



Meski secara rata-rata konsumsi beras dari hasil produksi sendiri memainkan peran yang lebih tinggi di rumah tangga petani padi-palawija di wilayah sentra padi, tapi terdapat kesenjangan yang tinggi di antara sesama wilayah sentra padi ini.

Sebagai misal, pada 2022, Kabuaten Jember dan Kabupaten Sukabumi memiliki jumlah penduduk sektor padi-palawija yang tidak jauh berbeda. Kabupaten Jember 836 ribu jiwa dan Kabupaten Sukabumi 781 ribu jiwa.

Namun rumah tangga petani padi-palawija Kabupaten Sukabumi hanya membeli 632 ton beras senilai Rp 5,5 miliar per pekan. Sedangkan di waktu yang sama, rumah tangga padi-palawija Kabupaten Jember membeli 1.188 ton beras senilai Rp 11,8 miliar per pekan.

Selain faktor produktivitas, luas kepemilikan lahan sawah yang menentukan status pekerjaan petani, sebagai buruh tani atau petani gurem, berpengaruh positif terhadap konsumsi beras dari hasil produksi sendiri.

Konsumsi beras dari hasil produksi sendiri memainkan peran penting dalam ketahanan pangan rumah tangga petani padi-palawija. Namun petani di banyak wilayah sentra padi terlihat masih memiliki ketahanan pangan yang rendah.

Pada 2022, penduduk sektor padi-palawija di Kabupaten Jember, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Karawang, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kabupaten Bone tercatat memiliki persentase rerata konsumsi beras dari pembelian yang jauh lebih tinggi dari rerata nasional, secara umum di atas 80 persen.

Secara menarik, rumah tangga petani padi-palawija di wilayah sentra padi dengan pembelian beras yang jauh lebih tinggi dari produksi sendiri ini memiliki rerata konsumsi beras per kapita yang lebih tinggi dari rerata nasional. Dengan lebih banyak bergantung pada pembelian beras di pasar untuk konsumsinya, rumah tangga petani padi-palawija di banyak wilayah sentra padi ini akan diuntungkan dengan harga beras yang rendah.

Sebagai misal, rerata konsumsi beras per kapita per pekan rumah tangga petani padi-palawija di Kabupaten Karawang mencapai 2,16 kg, lebih tinggi dari rerata nasional yang hanya 1,70 kg. Kenaikan harga beras akan memukul mereka.

Rerata harga beli beras di Kabupaten Karawang adalah Rp 8.655 per kg, lebih rendah dari rerata nasional Rp 10.675 per kg.

Kesenjangan Ketahanan Pangan Petani. Pembelian beras oleh rumah tangga petani padi palawija Maret 2022. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

  ​

Menyelamatkan sentra sawah

Ancaman terbesar bagi kedaulatan pangan datang dari rendahnya kesejahteraan petani, yang berakar dari rendahnya kepemilikan lahan. Ketimpangan kepemilikan lahan dan struktur biaya produksi yang tidak efisien menjadi hambatan terbesar dalam mendorong usaha pertanian.

Pada 2018, dari 27,7 juta rumah tangga usaha pertanian, sebesar 58,7 persen memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare dan 30,4 persen antara 0,5 – 1,9 hektare. Amanat UU No 56/1960 agar setiap keluarga petani memiliki lahan pertanian minimum 2 hektare, hingga kini gagal diwujudkan.

Dengan rendahnya hasil dari usaha pertanian, maka tekanan kompetisi dari sektor lain untuk pemanfaatan sumber daya pertanian pangan, sering berakhir dengan alih fungsi sumber daya, terutama lahan dan tenaga kerja.

Lahan pertanian pangan Indonesia, terutama sawah, sejak lama menghadapi tekanan alih fungsi lahan yang masif. Lahirnya UU No 41/2009 tentang Perlindungan LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan) tidak mampu menurunkan tekanan alih fungsi lahan ini.

photo
Petani memanen padi di area persawahan tadah hujan Kecamatan Batang, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Sabtu (27/5/2023). Petani setempat mengatakan musim panen tersebut diperkirakan menjadi musim panen padi terakhir tahun ini seiring masuknya musim kemarau di daerah itu karena area persawahan mereka merupakan sawah tadah hujan. - (Antara/Arnas Padda)

Sepanjang 2013-2019, lahan sawah nasional berkurang 287 ribu hektare, dari 7,75 juta hektare pada 2013 menjadi 7,46 juta hektare pada 2019. Kebijakan afirmatif untuk melindungi sawah adalah lemah.

Bahkan, kini alih fungsi lahan sawah di Jawa banyak disebabkan oleh proyek strategis nasional seperti pembangunan jalan tol Trans Jawa. Semakin menyusutnya luas lahan baku sawah ini menjelaskan mengapa produksi beras kita cenderung terus melemah dalam 5 tahun terakhir, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,5 juta ton pada 2022.

Pendekatan liberal yang dominan dalam kebijakan pangan saat ini, yang menitikberatkan pada peningkatan produksi pangan dengan memberi prioritas pada “food enterprises” dan akses ke pasar pangan global melalui impor pangan, telah mendorong hilangnya sawah dan pertanian skala kecil di Jawa dan berganti dengan sawah dengan pertanian skala besar ala “food estate” di luar Jawa.

Kebijakan ini salah arah dan berisiko tinggi terhadap ketahanan pangan nasional, kemiskinan, dan kesenjangan ekonomi. Arah kebijakan seharusnya adalah mempertahankan sawah dan pertanian skala kecil di Jawa, pengembangan usaha pertanian pangan berbasis keluarga (family farming), serta akses ke pangan segar dan terjangkau melalui lumbung pangan lokal, serta menjamin kelancaran arus distribusi pangan desa-kota.

BSI Terbitkan EBA Syariah Pertama di Indonesia

Instrumen ini diharapkan dapat memperkuat pembiayaan perumahan dengan skema syariah.

SELENGKAPNYA

Batas Anjlok Saham 15 Persen, Investor Harus Gimana?

Investor tetap bisa mengambil peluang dari ketentuan ARB 15 persen.

SELENGKAPNYA

Meski Inflasi Melandai, Harga Bahan Pokok Tetap Tinggi

Makanan dan minuman menjadi kelompok dengan inflasi tertinggi.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya