
Refleksi
Alumni Tanah Suci
Capres dan cawapres biasanya alumni Tanah Suci.
Oleh AHMAD SYAFII MAARIF
Pada saat dunia politik kita sibuk dengan perbincangan tentang capres-cawapres dalam rangka menghadapi 5 Juli bulan depan, satu hal yang luput dari perhatian publik adalah bahwa mereka semua adalah alumni Tanah Suci. Sebagian mereka berhaji entah sudah berapa kali, belum lagi yang melakukan haji kecil (umrah) berkali-kali.
Dalam perspektif kerohanian, bila dihayati secara dalam dan benar, siapapun di antara mereka yang terpilih nanti sebagai presiden/wakil presiden, tentu mereka tidak akan pernah melupakan bahwa mereka adalah alumni Tanah Suci yang akan terlihat nanti dalam cara mereka menangani kekuasaan.
Ini penting saya kemukakan, sebab sudah hampir 60 tahun kita merdeka, semua presiden/wakilnya yang terdahulu, kecuali Sri Sultan Hamengku Buwono IX, juga adalah para haji, sementara negeri ini tak kunjung usai dari berbagai masalah berat, karena faktor kepemimpinan.
Sebagian mereka berhaji entah sudah berapa kali, belum lagi yang melakukan haji kecil (umrah) berkali-kali.
Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa sebuah bangsa Muslim terbesar di muka bumi dengan pimpinan nasional puncak tergenggam di tangan alumni Tanah Suci juga dikenal sebagai sebuah bangsa korup dan sebagian politisinya yang tak tahu diri?
Bahkan, ada di antara politisi itu yang harus berurusan dengan polisi, jaksa, dan hakim karena kelakuan mereka yang menyimpang dari ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku.
Pertanyaan ini menjadi sangat relevan dengan situasi demokrasi kita sekarang yang mulai menggairahkan berkat Tap MPR tentang pemilihan presiden/wakilnya secara langsung. Ibadah haji mendidik orang untuk senantiasa menyebut nama Allah agar jalan hidupnya dibimbing oleh nilai-nilai spiritual yang agung dan luhur, agar mereka tidak main-main dengan amanah yang dipikulkan di pundak mereka serta berupaya membebaskan rakyat dari kesengsaraan dan kefakiran.
Jabatan presiden/wakilnya menurut konstitusi kita adalah jabatan tertinggi yang tidak boleh dikhianati secara sembunyi atau terang-terangan. Mari kita kutip Alquran surat al-Hajj: 27-28, "Dan serulah manusia untuk menunaikan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu [Ibrahim atau Muhammad] dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus [lantaran jauh dan sulitnya perjalanan waktu itu] yang datang dari segenap penjuru yang jauh. Agar mereka menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka dan mereka menyebut nama Allah selama beberapa hari tertentu, atas rezeki yang diberikan-Nya kepada mereka berupa binatang-binatang ternak. Maka, makanlah sebagian daripadanya dan berilah makan mereka yang sengsara lagi fakir."
Dari dua ayat ini saja sudah tergambar bahwa pekerjaan menunaikan haji itu bukanlah pekerjaan enteng, dari dulu sampai sekarang.
Ibadah haji mendidik orang untuk senantiasa menyebut nama Allah agar jalan hidupnya dibimbing oleh nilai-nilai spiritual yang agung dan luhur.
Tetapi, pendidikan batin dan manfaat yang didapat dari padanya sungguh dahsyat, bila benar-benar dihayati secara jujur dan dengan hati yang tulus. Di ujung ayat 28 terbaca pula perintah, "Berilah makan mereka yang sengsara lagi fakir."
Sangat sesuai dengan kondisi Indonesia sekarang ini, dengan tingkat kelaparan sudah mendekati 40 juta rakyat kita, terutama mereka yang tak beruntung karena ditindas oleh sistem kapitalisme semu kita selama ini, di samping juga karena kemalasan mereka.
Maka, dengan demikian para alumni Tanah Suci yang kini sedang berlomba untuk menduduki posisi presiden/wakilnya diharapkan untuk mau membaca kembali ayat-ayat di atas di samping puluhan ayat lain yang menegaskan pemihakan Islam kepada orang sengsara tetapi sekaligus menyatakan perang terhadap kemiskinan.
Jadi, betapa besar tanggung jawab mereka yang terpilih nanti di depan Allah.
Sekiranya para alumni di atas selalu ingat kepada pengalaman mereka di Tanah Suci, semoga bukan karena alasan politik, tentu mereka tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan seluruh masa jabatannya untuk memperbaiki bangsa ini, memulihkan martabat dan harga dirinya yang selama ini telah dipermainkan pihak luar, melalui agen-agen domestiknya yang mungkin sebagian juga alumni Tanah Suci.
Jadi, betapa besar tanggung jawab mereka yang terpilih nanti di depan Allah dan di depan sejarah bangsa sebagai presiden/wakilnya untuk lima tahun yang akan datang. Jika bangsa ini belum juga menemukan pemimpin yang tepat yang betul-betul mau merasakan jeritan rakyat banyak, maka hari depan kita tidak saja akan kelabu, tetapi muram dan semakin tidak menentu.
Kita memerlukan perubahan yang mendasar, demi nasib kita semua sebagai bangsa dengan alamnya yang elok dan memukau ini.
Tulisan ini disadur dari Harian Republika edisi 15 Juni 2004. Buya Ahmad Syafii Maarif (1935–2022) adalah ketua umum PP Muhammadiyah pada periode 1998-2005.
Dari Laut ke Udara: Riwayat Haji Indonesia
Sejak 1950-an, orang Indonesia yang naik haji dapat memilih moda transportasi udara.
SELENGKAPNYACatatan Rihlah Haji di Masa Lalu
Perjalanan haji yang dilakukan Muslimin Nusantara di masa lalu menghadapi banyak tantangan.
SELENGKAPNYA