
Dunia Islam
Dari Laut ke Udara: Riwayat Haji Indonesia
Sejak 1950-an, orang Indonesia yang naik haji dapat memilih moda transportasi udara.
Konon, jamaah haji Indonesia sudah menunaikan perjalanan ke Tanah Suci untuk beribadah haji sejak abad ke-16 M. Umumnya, mereka berasal dari kelompok kelas atas, seperti utusan sultan, pedagang, ataupun para musafir dan penuntut ilmu.
Bahkan, hingga awal tahun 1970-an, mereka yang berangkat masih menggunakan kapal laut, bukan dengan pesawat terbang seperti sekarang. Waktu yang ditempuh dari kepulauan nusantara hingga ke Tanah Suci sekitar tiga bulan perjalanan.
Sekarang, dengan menggunakan pesawat terbang, perjalanan dari Indonesia ke Jeddah memakan waktu sekitar sembilan jam. Perbedaan waktu yang sangat mencolok.
Cendekiawan Muslim Indonesia, Azyumardi Azra, dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad 17 dan 18, mengungkapkan bahwa terdapat banyak umat Islam yang menunaikan ibadah haji. Hal ini tak lepas dari hubungan pelayaran yang terjalin antara masyarakat kepulauan nusantara dan pedagang dari Jazirah Arabia.
Umumnya, pelayaran itu dilakukan melalui Selat Malaka, Samudera Pasai, dan Pidie. Wilayah ini sudah terkenal sejak dahulu kala sebagai pusat perdagangan internasional. Menurut Azyumardi, pada permulaan abad ke-16, telah dijumpai pribumi nusantara di Makkah yang kemungkinan besar adalah pedagang yang datang dengan kapalnya sendiri.
Begitu besar antusiasme orang Indonesia demi bisa memenuhi panggilan berhaji, itu tampak pada catatan-catatan pada zaman penjajahan. Berdasarkan laporan resmi Pemerintah Hindia Belanda yang dikeluarkan pada 1941, pada 1878 (dengan kapal layar) jamaah haji Indonesia tercatat sekitar 5.331 orang. Setahun kemudian atau pada 1880, jumlah itu menjadi 9.542 jamaah. Artinya, naik hampir dua kali lipat.
Perbandingannya dengan jamaah dari negeri-negeri lain juga terbilang besar. Pada 1921, ada sebanyak 28.795 jamaah haji asal Hindia Belanda. Itu setara 47,3 persen dari total jamaah haji seluruh dunia pada tahun itu, yakni sebanyak 60.786 orang.
Bahkan, saat resesi ekonomi pada 1928 jamaah haji Nusantara justru meningkat menjadi 28.952 dari 52.412 orang jamaah seluruh dunia. Hingga 1930-an, jamaah haji Indonesia berjumlah di atas 39 ribu orang.

Pada zaman Jepang, tak diketahui secara pasti jumlah jamaah haji Indonesia. Apalagi, pada zaman mempertahankan kemerdekaan, periode 1945-1948. Perang menjadi alasan tiadanya statistik yang memadai untuk mencatat mobilitas penyelenggaraan haji.
Henri Chamber-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam mengatakan, segera setelah pengakuan kedaulatan, pemerintah Republik Indonesia pun mulai membenahi berbagai macam urusan dalam negerinya, termasuk terkait soal keagamaan. Kementerian Agama (Kemenag) ketika dinakhodai KH Abdul Wahid Hasyim meletakkan beberapa dasar kebijakan di bidang perhajian.
Pada Desember 1949, Muktamar Kongres Muslimin Indonesia diikuti delegasi dari 156 organisasi Islam di Yogyakarta. Salah satu hasil forum itu ialah pembentukan Yayasan Panitia Haji Indonesia (PHI) yang akhirnya resmi didirikan pada awal 1951. Yayasan itulah yang kemudian ditunjuk Kemenag sebagai pengatur, penyelenggara, sekaligus pengawas perjalanan jamaah haji—di samping adanya peranan pemerintah pusat.
Waktu itu, negara baru saja keluar dari perang mempertahankan kemerdekaan. Alhasil, devisa cukup terbatas. Untuk mencegah keluarnya devisa secara besar-besaran, maka jumlah jamaah haji pun dibatasi, yakni tak boleh melampaui 10 ribu orang. Pendaftaran haji pun diatur dengan sangat ketat.
Menurut Prof Budi Sulistiono dalam artikel “Ibadah Haji dan Tradisi Budaya Sosial” (2018), kapal laut masih menjadi alat transportasi andalan untuk memberangkatkan jamaah haji Indonesia. Bahkan, kondisi itu tetap bertahan meskipun moda pesawat terbang sudah mulai dipakai sejak 1952 demi melayani jamaah haji Indonesia.

Memang, calon jamaah mesti mengeluarkan biaya lebih mahal untuk dapat menumpangi “burung besi.” Waktu itu, ongkosnya mencapai sekitar Rp 17 ribu per orang. Besaran tersebut lebih dari dua kali lipat tarif kapal laut kala itu, yakni Rp 7.500. Wajar bila jalur laut masih menjadi primadona.
Pada 1952, calon jamaah haji asal Indonesia yang menggunakan kapal laut tercatat sebanyak 14.031 orang, sedangkan via pesawat terbang sebanyak 293 orang.
Padahal, perjalanan laut bisa memakan waktu tiga bulan lamanya. Tak jarang pula ada calon jamaah yang wafat di atas kapal, sebelum tiba di Tanah Suci.
“Pengalaman ini tak dirasakan oleh jamaah haji setelah tahun 1979. Sebab, kapal-kapal pengangkut calon jamaah haji dari Indonesia terakhir kali beroperasi pada tahun itu,” tulis guru besar ilmu sejarah kebudayaan Islam itu.
Catatan Rihlah Haji di Masa Lalu
Perjalanan haji yang dilakukan Muslimin Nusantara di masa lalu menghadapi banyak tantangan.
SELENGKAPNYASepuluh Ribu Hari Ayah Hebat
Tentu saja bumi menyimpan tak terhingga profil ayah inspiratif.
SELENGKAPNYAPaylater, Bolehkah?
Dari aspek syariah, ketentuan paylater bisa dibedakan sebagai berikut.
SELENGKAPNYA