Puisi Presiden Masuk Kakbah | Daan Yahya/Republika

Sastra

Presiden Masuk Ka'bah

Puisi-puisi Supadilah Iskandar

Oleh SUPADILAH ISKANDAR

Presiden Masuk Ka'bah

 

Puluhan tahun aku berjuang bersama rakyat marjinal,

mereka yang terpojok dan terpinggirkan.

Ribuan kata dan kalimat telah ku goreskan

dalam bait-bait puisi indah nan menawan

hingga rakyat terpesona saat aku tampil di permukaan,

berorasi dan membacakan sajak-sajak gubahanku

yang ditulis dari terang sinar mentari hingga larut malam

laksana syair-syair yang menggugah

untuk melawan kesewenangan dan ketidakadilan

oleh Sang Penguasa yang kafir dan zalim.

Namun tak lama kemudian,

puluhan tahun perjuanganku seakan sia-sia melawan kezaliman

setelah siaran televisi menayangkan Sang Presiden

memutuskan berangkat haji ke Mekah,

serta disambut sumringah oleh para Penguasa Arab Saudi

yang memandu Sang Presiden memasuki pintu Ka’bah.

 

***

 

TVRI Mengedit

 

Seorang elit politik merasa kewalahan

karena ditantang debat oleh seorang seniman kawakan

yang selama puluhan tahun menjadi idola rakyat jelata.

Sang elit menyadari dirinya lamban berpikir,

sebagian rakyat menjulukinya dungu dan bodoh.

Tantangan debat lagi-lagi dilayangkan sang seniman.

Acara harus disiarkan secara langsung pada pukul 17.00 sore,

hingga terdengar oleh penasehat elit politik Amerika

nun jauh di sana.

Sang penasehat mengabarkan bahwa dirinya

sanggup membuat elit politik Indonesia lebih pintar

dari seniman manapun dengan syarat,

biarkan dirinya terlibat dalam proses editing,

dengan tetap menampilkan logo LIVE siaran langsung

namun acara debat justru ditayangkan secara sentral

dari pusat ibukota Jakarta pada pukul 19.00 petang

sekitar dua jam proses akal-akalan mengedit.

Setelah penayangan acara selesai

sang seniman yang tadinya merasa riang gembira

tiba-tiba terjatuh pingsan

persis di delapan layar TV murah miliknya.

 

***

 

Tobat Sang Penyair

 

Apa yang harus kutuliskan

setelah puluhan tahu melanglang buana dengan kata

berkeluh kesah menulis bait-bait puisi

tentang para penguasa yang dungu dan serakah.

Apa pula yang harus kukatakan

ketika donatur yang memerintahkan aku menerima hadiah

pada akhirnya bekerjasama dengan penguasa zalim

yang selama ini menjadi alasan

dari tiap kata dan kalimatku terus mengalir.

Ketika kezaliman dan kesewenangan merajai dunia

justru di situlah nyawa dan ruhku mewujud

melalui untaian kata dalam ribuan lembar kugoreskan.

Lalu, apa yang akan kutuliskan

ketika sang penyandang dana menyatakan dirinya bertobat

di hadapan mursyid sang juru selamat

hingga memasuki usia 80-an ia merasa mendapat pencerahan.

Lalu, apa yang harus kutuliskan ketika kezaliman dan kekafiran

menyatakan dirinya bertobat dan berserah diri pada Tuhan.

Ya, apalah kini yang harus kutuliskan

kecuali soal kepasrahan dan penyerahan diri,

sebab penyair juga sama-sama membutuhkan pertobatan

sebagai manusia biasa yang tak luput dari salah dan dosa-dosa.

 

***

 

Penyair Jadi Sufi

 

Penyiar itu duduk termenung

di rumahnya yang kecil dan sederhana,

ditemani segelas kopi dan sepiring pisang goreng di atas meja.

Dengan tatapan menerawang bait-bait puisi siap digoreskan

tak peduli apakah masih ada penggemar

yang mau membaca karya-karyanya.

Beberapa muridnya kini memutuskan jalan milenial

dengan perabot dan mobil mewah juga rumah nan megah,

bahkan ada yang merasa mendapat mukjizat

dengan membeli mesin-mesin terbang di angkasa.

Suatu sore, seorang muridnya melayang terbang di atas awan.

Sang penyair seketika memanggilnya,

“Marilah turun ke bawah sambil menikmati kopi dan pisang goreng.”

Namun, sang murid merasa kesulitan untuk mendarat,

ia menyesal dan merasa kesepian di angkasa

lantaran mesin terbang miliknya

hanya melayaninya untuk terbang.

“Ya sudahlah, barangkali itulah mukjizat yang kau impikan,

sedangkan mukjizat yang sesungguhnya,

ketika manusia masih menghirup udara segar,

berpikir lapang, serta menggoreskan bait-bait puisi,

yang semuanya harus disadari bahwa hakikat ilmu dan kecerdasan,

bahkan goresan pena yang dituliskan

pada hakikatnya adalah anugerah Allah semata.”

 

***

 

Doa Sang Penyair

 

Wahai Tuhanku,

maafkan jika aku telah berkarya

tidak sesuai dengan kehendak dan ridho-Mu.

Puisi-puisiku telah mengilhami banyak orang

pada kebaikan dan keburukan.

Tidak menutup kemungkinan karya-karyaku

banyak mengilhami pembaca di jalan kesesatan

bahkan menyusupi pikiran generasi muda di jalan kemaksiatan.

Cinta yang telah ku goreskan

bukanlah cinta dalam arti yang sebenarnya.

Sosok wanita cantik menawan berikut alam raya yang indah

pada hakikatnya hanyalah makhluk dan ciptaan-Mu.

Segala dunia dan seisinya yang selama ini menjadi sasaran

dan tujuan dari ending karya-karyaku

juga hanya ciptaan-Mu semata.

Maafkan aku, Tuhan...

bahwa sejatinya aku harus berkarya untuk mengagungkan

dan membesarkan nama-Mu.

Tetapi mengapa yang mereka sembah

hanyalah benda-benda fana ciptaan-Mu.

Maafkan aku, ya Tuhan...

jika Engkau berkenan aku ikhlaskan semua karyaku

Kau musnahkan atau dibakar saja kertas-kertas itu

ke dalam tungku api neraka,

jika Engkau menghendakinya.... 

 

***

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat