ILUSTRASI Masjidil Haram, Makkah, pada berabad silam. | DOK WIKIPEDIA

Dunia Islam

Catatan Rihlah Haji di Masa Lalu

Perjalanan haji yang dilakukan Muslimin Nusantara di masa lalu menghadapi banyak tantangan.

Sebagai negeri berpenduduk mayoritas Muslim, Indonesia mengirimkan banyak jamaah dalam setiap musim haji. Tidak seperti masa kini, rihlah untuk menunaikan rukun Islam kelima pada zaman dahulu tidak selalu tercatat dengan baik.

Hingga abad ke-15 Masehi, belum banyak catatan mengenai perjalanan Muslimin Nusantara yang berziarah ke Tanah Suci. Barulah sekira 100 tahun kemudian, rekaman rihlah tersebut mulai mengemuka.

M Shaleh Putuhena dalam buku Historiografi Haji Indonesia menjelaskan, pada kurun abad tersebut semakin banyak pedagang dari Nusantara yang turut serta dalam pelayaran ke Asia barat.

Pada saat yang sama, kerajaan-kerajaan Islam di kepulauan Asia tenggara ini mulai mengirimkan delegasi ke Tanah Suci, antara lain, dengan motif memperoleh pengakuan simbolis dari pemimpin (syarif) Makkah.

Tidak ketinggalan pula, para pencari ilmu dari Jawa, Aceh, Kalimantan, dan sebagainya turut merantau ke luar negeri. Banyak dari mereka yang berguru pada ulama-ulama besar di Haramain.

Jamaah haji Nusantara pada abad ke-17 umumnya menumpangi kapal-kapal dagang miliki orang Arab atau India.

M Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial menerangkan, jamaah haji Nusantara pada abad ke-17 umumnya menumpangi kapal-kapal dagang miliki orang Arab atau India. Kebanyakan armada itu berlabuh di Temasek (Singapura) atau Penang sehingga mereka harus menuju ke sana terlebih dahulu. Di kedua tempat itu, sudah terdapat kapal-kapal khusus semacam embarkasi bagi jamaah haji.

Jangan bayangkan durasi yang instan seperti halnya zaman sekarang. Secara keseluruhan, perjalanan haji pada masa itu bisa memakan waktu tiga hingga empat tahun. Memang, pelayaran yang normal dari Asia Tenggara ke Jeddah membutuhkan waktu “hanya” lima atau enam bulan.

Akan tetapi, calon jamaah kerap menghabiskan waktu di daerah sekitar embarkasi untuk menambah uang dan bekal. Tak sedikit dari mereka yang bersedia menjadi pekerja perkebunan di Singapura dan Penang, baik sebelum ataupun sepulangnya dari menunaikan rukun Islam kelima itu.

photo
Suasana kapal laut pengangkut jamaah haji pada abad ke-20. - (Deck of a pilgrim steamer at Jedda, F.G. Clem)

Bisnis perjalanan haji

Sejak abad ke-18, dominasi Belanda kian menguat di seluruh wilayah Nusantara. Calon jamaah haji dipersulit dengan adanya berbagai peraturan (besluit) sepihak yang dilancarkan Kompeni. Misalnya, aturan tertanggal 4 Agustus 1716 yang melarang kapal-kapal Belanda untuk mengangkut jamaah haji.

Alhasil, para calon tamu Allah itu harus menumpangi banyak kapal dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya hingga berhasil keluar dari wilayah Hindia Belanda. Untuk selanjutnya, mereka menuju Jeddah dengan melalui beberapa pelabuhan di pesisir India atau Hadramaut (Yaman).

Pada permulaan abad ke-19, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC/Kompeni) dinyatakan bangkrut. Nusantara pun mulai dikuasai secara langsung oleh Negeri Belanda. Namun, pelayaran haji sempat terbebas dari kendali langsung Belanda.

Sebagai contoh, pada 1825 untuk pertama kalinya Muslimin Nusantara menggunakan kapal khusus pengangkut jamaah haji. Kapal itu disediakan seorang saudagar Melayu bernama Syekh Umar Bugis. Sejak saat itu, musim haji dianggap sebagai momen bisnis yang menguntungkan.

Inilah untuk pertama kalinya Muslimin Indonesia berangkat haji dengan menumpangi kapal uap.

Inggris pun tertarik untuk ikut menarik keuntungan dari bisnis haji. Pada 1858, perusahaan Britania Raya menggunakan kapal uap untuk mengangkut jamaah haji Nusantara dari Batavia (Jakarta). Inilah untuk pertama kalinya Muslimin Indonesia berangkat haji dengan menumpangi kapal uap.

Waktu tempuh dari Nusantara ke Arab pun menjadi lebih ringkas ketimbang dengan kapal layar. “Hanya” perlu 20 atau 25 hari untuk bisa sampai di Jeddah.

Sebagai perbandingan, dahulu ketika kapal layar masih menjadi andalan, jamaah haji Nusantara tidak bisa langsung sampai di Arab, tetapi harus singgah terlebih dahulu di banyak lokasi.

Katakanlah, mereka berangkat dari Aceh, maka mesti berlabuh di India. Dari India, mereka kemudian mencari kapal lain yang hendak berlayar menuju Hadramaut (Yaman) atau Jeddah. Semua itu tentunya memakan waktu berbulan-bulan.

Langkah korporasi Inggris itu diikuti berbagai pebisnis lainnya dari India, Singapura, atau Arab. Pesatnya persaingan bisnis itu membuat orang-orang yang hendak berhaji mencari celah agar dapat berhemat.

Untuk mengurangi biaya transportasi, sekelompok keturunan Arab di Batavia menggalang dana bersama. Mereka kemudian membeli kapal dari Basier en Jonkheim. Armada tersebut dapat membawa 400 orang jamaah haji sekali jalan dari Batavia, ke Padang, hingga Jeddah.

photo
Terusan Suez di Mesir pada awal abad ke-20. - (DOK WIKIPEDIA)

Imbas Suez

Terusan Suez dibuka pada 1869. Sejak saat itu, bisnis pelayaran menjadi begitu bergairah. Pemerintah kolonial Belanda pun ikut-ikutan dalam usaha transportasi perjalanan haji Nusantara.

Setahun setelah Konsulat Belanda berdiri di Jeddah pada 1872, Belanda mengadakan perjanjian kontrak dengan tiga perusahaan pelayaran, yaitu Rotterdamasche Llyod, Mij Nederland, dan Mij Oceaan. Korporasi-korporasi itu belakangan dikenal sebagai Kongsi Tiga.

Bagaimanapun, jamaah haji Nusantara cenderung bersikap dingin terhadap Belanda. Apalagi, rezim kolonial itu kerap mengeluarkan berbagai aturan yang menyulitkan perjalanan haji. Alhasil, banyak calon tamu Allah itu yang lebih memilih Singapura atau Malaya sebagai embarkasi haji, alih-alih Batavia.

Mulanya pada 18 Oktober 1825. Itulah untuk pertama kalinya, pemerintah kolonial Belanda menerapkan kebijakan terhadap haji. Beleid itu termuat dalam surat rahasia yang diedarkan kepada para pejabat kolonial hingga level perdesaan.

Isinya, mengharuskan tiap calon jamaah haji untuk memiliki paspor ibadah haji. Selain itu, ongkos naik haji juga ditetapkan sebesar f 110. Bila menghindar, seorang haji akan dikenakan denda dua kali lipat begitu kembali ke Tanah Air.

Putuhena menjelaskan, aturan tersebut didasari kekhawatiran Belanda terhadap kian bertambahnya jumlah jamaah haji asal Nusantara dari tahun ke tahun. Mereka cemas bila para haji membawa gagasan Pan-Islamisme sepulangnya dari Makkah, untuk kemudian menginspirasi gerakan perlawan terhadap rust en orde atau tatanan kolonial.

 

Agar tak dituding memetik untung dari haji, pemerintah berdalih bahwa dana sebesar f 110 itu diperuntukkan bagi kepentingan masjid.

Agar tak dituding memetik untung dari haji, pemerintah berdalih bahwa dana sebesar f 110 itu diperuntukkan bagi kepentingan masjid wilayah masing-masing. Namun, rakyat umumnya merasa terganggu dengan adanya peraturan demikian. Dua tahun kemudian, Belanda meringankan peraturan itu. Anak-anak di bawah usia 12 tahun dibebaskan dari membayar. Namun, respons publik tetap saja dingin.

Erlita Tantri dalam artikelnya, “Hajj Transportation of Netherlands East Indies 1910-1940” menjelaskan, para calon jamaah haji Nusantara pada zaman kolonial dapat menentukan dari titik mana mereka akan memulai perjalanan ibadahnya. Setidaknya, ada tiga pilihan utama.

Pertama, mereka dapat menggunakan kapal-kapal milik perusahaan Belanda yang berangkat dari pelabuhan-pelabuhan besar Nusantara, seperti Batavia. Kedua, mereka pergi terlebih dahulu ke Singapura, Penang, atau Malaya karena di ketiga tempat itulah terdapat embarkasi haji yang terbuka bagi orang luar koloni Inggris.

Selanjutnya, mereka menaiki kapal milik perusahaan Britania Raya. Ketiga, mereka menumpangi kapal laut jarak jauh yang menuju Bombay atau Suez. Dari sana, barulah mereka berlayar ke Jeddah, untuk selanjutnya Madinah dan Makkah.

photo
ILUSTRASI Jamaah haji asal Aceh pada abad ke-18. Orang-orang Indonesia di Tanah Suci membentuk komunitas Jawi. - (DOK IST)

Azan Terakhir

Bilal bin Rabah mengumandangkan azan shalat Subuh dari atas rumah Sahl, wanita bani Najjar.

SELENGKAPNYA

Dari Laut ke Udara: Riwayat Haji Indonesia

Sejak 1950-an, orang Indonesia yang naik haji dapat memilih moda transportasi udara.

SELENGKAPNYA

Sepuluh Ribu Hari Ayah Hebat

Tentu saja bumi menyimpan tak terhingga profil ayah inspiratif.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya