
Safari
Di Kaluppini, Perempuan Adat Menjaga Tradisi
Perempuan di Kaluppini tak sekadar mengurus rumah tangga.
Oleh NUR AINI
Di jantung pulau Sulawesi, sekitar tujuh jam perjalanan darat ke arah utara dari Makassar, desa sederhana itu berlokasi. Dihuni hanya seribu jiwa lebih sedikit, Desa Kaluppini dihimpit Gunung Pesse, sekitar 900 meter di atas permukaan laut tingginya.
Jalan masuk desa tersebut bisa dilintasi satu mobil semata. Kiri-kanannya semak dan hutan, masih jarang perumahan warga. Tak ada penerangan jalan saat matahari tenggelam.
Setelah berkendara dari Makassar dan berjalan kaki sebentar, Republika bersama rombongan wartawan tiba di Wilayah yang masuk Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan itu pada 27 Mei lalu.
Menemukan bahwa di desa itu tradisi tak hanya dikenang, namun dihidupi, ditenun tangan cekatan perempuan adat, dan dihangatkan oleh semangat generasi mudanya.
Di Kaluppini, denyut tradisi terasa kian nyata saat ritual-ritual dijalankan. Belum lama ini, desa kembali menggelar Metada Damban, sebuah ritual tolak bala yang memiliki makna.

Para ibu sigap menyiapkan "ala nota" yang terdiri dari sirih, pinang, dan kapur. Meski pemangku adat pria memimpin, perempuan adat menjadi garda terdepan. Mereka merawat, menguatkan, dan memastikan setiap helaan napas warisan leluhur tetap hidup, membantu mempersiapkan segala kebutuhan dalam setiap ritual adat.
Metada Damban muncul dari kegentingan, seperti saat beberapa belakang ini warga meninggal dunia dalam waktu berdekatan dan tergolong masih dalam usia muda. Ritual tolak bala ini dilakukan secara sederhana, masing-masing dari keluarga membawa pisang, nasi dan kelapa.
Pemangku adat memimpin berjalannya acara ritual, di akhir dengan doa dan memotong ayam. Setelah itu warga mengambil makanan yang telah tersedia dan makan secara bersama-sama di lapangan luas tempat ritual berlangsung. “Makanan tersebut tak boleh dibawa pulang, harus dihabiskan di sana, atau hanya boleh sampai kolong rumah,” ucap Imam salah satu pemangku adat Desa Kaluppini saat ditemui Republika di sela pelaksanaan ritual.
Selain Metada Damban, ada 13 ritual pertanian tahunan. Mulai dari meminta izin mengolah tanah (massima’ tanah) hingga pesta panen (maparatu ta’ka). Dalam setiap proses tersebut, perempuan memegang peran krusial dalam persiapan dan pelaksanaan, menunjukkan sentralnya mereka dalam menjaga keseimbangan alam.

Tiang Utama Adat
Di Kaluppini, perempuan tak sekadar mengurus rumah tangga. Mereka juga menjaga api tradisi, mengukir peradaban, dan aktif bersuara dalam pembangunan desa.
Ada Mama Patte (Haswisa) salah satu perempuan adat yang saat ini berusia 60 tahun, cekatan menyiapkan "Alan nota" dengan jari-jemarinya untuk keperluan ritual.
Ia juga seorang ponene’ (pendongeng) ulung yang merangkai kisah leluhur dalam bahasa Kaluppini, menjadi jembatan hidup antar generasi. Mama Patte sering kali menjalani peran itu di acara ritual atau terakhir di festival budaya desa Kaluppini.
Dalam ranah keluarga dan masyarakat, perempuan Kaluppini berperan sentral dalam pengambilan keputusan. Mama Hawi (70 tahun), misalnya, aktif dalam pertemuan desa, memberikan masukan konstruktif untuk setiap aspek pembangunan. Selain itu, ia juga bertani jagung dan padi.
Imam Abdul Halim, pemangku adat, menegaskan dominasi perempuan sangat terasa dalam setiap ritual. Meskipun laki-laki memimpin, partisipasi dan seluruh persiapan ritual tak lepas dari tangan mereka. Bahkan, dua rumah adat yang disakralkan pun dijaga oleh para perempuan adat.

Kisah Nenek Rasi (80) adalah cermin nyata pengabdian ini. Ia adalah penjaga setia salah satu dari dua rumah adat yang sakral, sebuah pengabdian ikhlas. Nenek Rasi, yang tak bisa melihat sejak lahir, bahkan menjadi maestro karumbing, alat musik tiup langka dari pelepah aren.
Nenek Rasi bersemangat mengajarkannya kepada pemuda desa Kaluppini. Baginya, kesabaran adalah kunci, dan adat adalah fondasi hidup yang diikat erat dengan iman. Masyarakat desa Kaluppini yang merantau jauh tak pernah lupa akan perannya, sering kali mereka mengirimkan uang kepada nenek rasi demi memenuhi kebutuhannya.
Nenek Rasi menyampaikan beberapa kalimat dalam bahasa Kaluppini yang diartikan sebagai berikut, “Jangan meminta secara langsung, demikian ia diajarkan. Cukup berikan hati dan amal baikmu, karena Yang Maha Kuasa akan memberikan tanpa diminta.
Ia meyakini bahwa kemarahan, khususnya kepada pelaku kejahatan, hanya akan menjauhkan kita dari kebaikan. Kesabaran adalah hal terpenting dalam hidup, dan tradisi adalah fondasi yang harus senantiasa dipertahankan.”

Inovasi Berbasis Adat
Komitmen Kaluppini untuk maju tampak dari kekokohan adat dan penguatan institusional. Sejak 2023, pemerintah desa mengesahkan Peraturan Desa (Perdes) tentang Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI).
Perdes ini adalah komitmen nyata untuk menjamin hak perempuan dan mencegah diskriminasi. Dampak paling signifikan adalah dalam perlindungan anak, di mana angka pernikahan dini di Kaluppini menurun drastis hingga mencapai nol. Ini menunjukkan bagaimana regulasi berbasis komunitas mampu menciptakan transformasi positif.
Di bidang ekonomi dan kearifan lokal, perempuan juga berinovasi melalui Kelompok Usaha Bersama (KUBE). KUBE Mabarakka Kaluppini memproduksi gula semut dari aren lokal yang telah dipasarkan melalui media sosial, menunjukkan kolaborasi lintas generasi. Inisiatif serupa datang dari ibu-ibu yang memproduksi sari jahe merah, kearifan lokal yang telah menembus pasar internasional. Peran perempuan adat sangat vital sebagai motor penggerak pembangunan desa yang berkelanjutan.
Semangat berinovasi ini turut disambut generasi muda. Selain mendukung KUBE, Komunitas Budaya Sa'pulo Tallu giat membuat arsip tanaman obat untuk warga desa. Arsip ini mempermudah akses pada pengobatan herbal dan menjaga pengetahuan tradisional agar tidak lekang oleh zaman.

Taufik, seorang pemuda Kaluppini, menyuarakan harapan mendalam akan kesadaran generasi muda untuk berkontribusi demi kemajuan masyarakat dan kebudayaannya, menekankan kesadaran kolektif sebagai modal awal membangun Kaluppini. “Entah nanti bagaimana nanti program-programnya, untuk saat ini harapan terdalamnya muncul kesadaran,” ucapnya.
Adat dan Negara
Di Kaluppini, peran pemerintah desa berperan sebagai "panitia" yang membantu administrasi negara dan menjaga kelancaran ritual adat. Lembaga adat adalah pusat, dengan aturan yang lengkap dan dijalankan. Ketika ada masalah, rujukan pertama adalah rumah adat.
Namun, tantangan besar masih membayangi. Upaya desa untuk mendapatkan pengakuan resmi sebagai masyarakat adat dari pemerintah masih terkendala. Surat keputusan (SK) pengakuan Desa Adat Kaluppini belum terbit, terutama karena adanya sengketa batas wilayah dengan masyarakat adat tetangga, Rangga. Solusinya adalah jalan damai: menyatukan peta versi masing-masing dan menjadikan daerah sengketa bukan medan konflik, melainkan batas yang disepakati bersama.
Kepala Desa Salata menyimpulkan Kaluppini sebagai potret desa yang terus berkembang, di mana beragam kebutuhan masyarakat disuarakan. Ia menyoroti semangat warga untuk terlibat. Ketika perempuan bersuara, ketika petani berbagi pengalaman, dan ketika generasi muda menyampaikan harapan—desa perlahan membentuk wajahnya sendiri.
Di Kaluppini, sinergi antara negara dan adat terjalin erat, dengan saling percaya dan menjaga. Mereka melangkah maju, membangun masa depan yang lebih adil dan responsif, dengan keyakinan penuh pada kekuatan adat dan semangat kebersamaan.
*Liputan ini hasil dari media visit dukungan Kemitraan bersama SCF melalui program Estungkara yang didukung oleh Inkusi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.