Ibnu Athaillah as-Sakandari, penulis kitab Al-Hikam. | DOK Arabic calligraphy generator

Mujadid

Perjalanan Hayat Sang Penulis Al-Hikam

Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari sempat membenci tasawuf sebelum duduk di majelis Syekh al-Mursi.

Dunia Islam mengenal Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari—sering pula ditulis: al-Iskandary—melalui karyanya yang masyhur, Al-Hikam. Namun, sepanjang hayatnya salik dari Mesir itu tidak hanya mengarang kitab tersebut.

Figur dari zaman Kesultanan Mamluk ini juga menulis Latha’if al-Minan (Lembutnya Anugrah), Taj al-‘Arus (Mahkota Pengantin), Miftah al-Falah (Kunci Kebahagiaan), dan lain-lain.

Pemilik nama asli Ahmad bin ‘Atha’illah ini lahir di Iskandariah (Alexandria), Mesir, pada 658 hijriah. Tahun kelahirannya masih diperdebatkan para sejarawan. Yang jelas, di kota tempat kelahirannya itu Ibnu ‘Atha’illah menimba ilmu-ilmu agama.

Keluarga Ibnu ‘Atha’illah berasal dari kalangan terpelajar. Ayahnya merupakan ahli fikih mazhab Maliki. Demikian pula dengan kakeknya, ‘Abdul Karim.

Secara nasab, keluarga besarnya adalah keturunan Bani al-Judzami, suku bangsa dari Jazirah Arab. Leluhurnya pindah ke Mesir ketika pengaruh Islam mula-mula melakukan ekspansi ke barat. Demikian dicatat Victor Danner dalam buku Mistisisme Ibnu ‘Atha’illah.

photo
Kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah telah ditinjau banyak pensyarah. - (DOK NU)

Oleh kedua orang tuanya, Ibnu ‘Atha’illah sejak kecil diarahkan agar menjadi pakar mazhab Maliki. Mereka menyediakan segala yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu. Guru-guru dalam bidang tata bahasa Arab, hadis, tafsir Alquran, dan fikih diperuntukkan baginya.

Dari para syekh itu, Ibnu ‘Atha’illah menimba ilmu pengetahuan dan mempertajam kecerdasannya. Orang-orang membayangkan anak ini kelak akan melampaui kakeknya yang seorang ahli fikih termasyhur di Iskandariah.

Hampir separuh usia Ibnu ‘Atha’illah dihabiskan di Mesir. Sewaktu ia dewasa, negeri tempatnya berdiam sedang dikuasai Kesultanan Mamluk.

Sementara itu, Baghdad—pusat Dunia Islam di timur—runtuh akibat serbuan balatentara Mongol pada 656 hijriah. Karena itu, sultan-sultan Mamluk mendayagunakan kekuasaan mereka untuk berjaga-jaga terhadap potensi serangan dari Mongol.

Dalam keadaan waspada pun, Kesultanan Mamluk tetap bisa memberikan sumbangsih bagi perkembangan peradaban Islam. Negara memberikan fasilitas serta gaji yang lebih dari memadai untuk lembaga-lembaga ilmu. Para ilmuwan pun diberikan tempat tinggal yang nyaman di kompleks khanaqah-khanaqah.

 

 
Ibnu ‘Atha’illah tumbuh dalam era ketika di Dunia Islam marak munculnya tarekat-tarekat.
   

Ibnu ‘Atha’illah tumbuh dalam era ketika di Dunia Islam marak munculnya tarekat-tarekat sufi. Beberapa tarekat di antaranya adalah Maulawiyah, Ahmadiyah, Chisytiyah, Kubrawiyah, dan Syadziliyah. Tarekat yang disebut belakangan itu akhirnya menjadi dominan. Ketika dewasa, Ibnu ‘Atha’illah merupakan salah seorang guru tarekat Syadziliyah.

Para sejarawan merawikan, ayahanda Ibnu ‘Atha’illah pernah bertemu langsung dengan Syekh asy-Syadzili. Sebelum meninggal dunia, Syekh asy-Syadzili telah menunjuk Syekh Abu al-Abbas al-Mursi (wafat 686 hijriah) sebagai penggantinya. Al-Mursi merupakan murid Syekh asy-Syadzili sejak ketika masih di Tunis.

Berbeda dengan sang guru, Syekh Abu al-Abbas al-Mursi lebih berjarak terhadap penguasa. Pada zaman itu, para salik biasa mengembara dari satu wilayah ke wilayah lain. Bagaimanapun, Syekh al-Mursi tidak pernah meninggalkan Iskandariah.

photo
ILUSTRASI Syekh Abu al-Abbas al-Mursi berperan besar dalam memengaruhi Ibnu 'Atha'illah untuk mendekat  pada tasawuf. - (DOK REPRO BUKU Abu Zayd al-Balkhis Sustenance)

Sempat membenci

Di masa mudanya, Ibnu ‘Atha’illah begitu tekun dan fokus pada soal fikih. Bahkan, ia kemudian begitu membenci tasawuf. Dalam Latha’if al-Minan, karya yang juga dimaksudkan sebagai autobiografinya, Ibnu ‘Atha’illah muda menyasar kebencian kepada Syekh Abu al-Abbas al-Mursi.

“Tidak ada yang benar kecuali hanya ahli ilmu zahir, sedangkan mereka para sufi itu mengajarkan sesuatu yang tampak hebat dan mulia. Padahal, ditolak oleh syariat dan agama,” kata Ibnu ‘Atha’illah kepada salah seorang pengikut syekh tersebut. Demikian dikutip dari Sepintas Sastra Sufi Tokoh dan Pemikirannya karya Fudoli Zaini.

Lama-kelamaan, daya intelektualnya sendiri justru membuatnya skeptis. Apakah benar ilmu zahir lebih utama? Mengapa tidak menyelidiki terlebih dahulu? Ibnu ‘Atha’illah ingin adil sejak dalam pikiran.

Untuk itu, ia berencana mengunjungi majelis Syekh Abu al-Abbas al-Mursi. Ia datang lebih sebagai pengamat, alih-alih berniat selaku murid. Saat itu, sang syekh sedang mengajar ihwal tahap-tahap yang mesti ditempuh para salik dalam mendekati Sang Pencipta.

Kemudian, pembahasan berlanjut pada soal iman, Islam, dan ihsan. Saat sang syekh menjelaskan tentang pelaksanaan syariat dengan penghayatan hakikat, di sinilah Ibnu ‘Atha’illah mulai tertarik. Ia mengakui, itulah pertama kalinya merasa perlunya beragama secara indah, alih-alih kaku.

 

 
Maka dengan serta-merta Allah SWT melenyapkan keingkaran dan kebencianku kepada tasawuf dan para sufi.
Ibnu ‘Atha’illah
 

Sejak saat itu, ia selalu menghadiri kajian yang digelar Syekh Abu al-Abbas al-Mursi bertahun-tahun lamanya. Pada 686 hijriah, sang syekh wafat. Ketika itu, Ibnu ‘Atha’illah sudah menjadi murid yang paling terkemuka. Ia juga sempat melanjutkan kajian-kajian yang disampaikan almarhum gurunya.

Beberapa waktu kemudian, Ibnu ‘Atha’illah harus pindah ke Kairo lantaran diminta mengajar di Universitas al-Azhar. Pemikiran Syekh Abu al-Abbas tetap mewarnai pengajarannya selama bertugas di kampus terkemuka itu. Ia lantas diamanahi menjadi guru besar Universitas al-Azhar.

Praksis tasawuf dengan karya

Dalam lingkup para salik, Ibnu ‘Atha’illah merupakan guru ketiga tarekat Syadziliyah sekaligus pakar mazhab Maliki. Melalui karya-karyanya, Ibnu ‘Atha’illah hendak menyajikan pandangan-pandangan sufistik yang berdasarkan pada Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW. Para sufi pada umumnya memandang, tarekat sesungguhnya tak jauh beda dengan syariat. Sebab, keduanya dapat ditarik sumbernya dari Rasulullah SAW.

Tidak seperti gurunya, Syekh Abu al-Abbas al-Mursi, Ibnu ‘Atha’illah tidak mengambil jarak dengan lingkungan istana. Ia pernah menjadi penasihat bagi Sultan al-Malik al-Manshur Lajin (wafat 698 hijriah).

Kendati begitu, ia tetap menjaga independensi keilmuan. Ibnu ‘Atha’illah banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar dan menulis. Selain di Universitas al-Azhar, ia juga bertugas di sejumlah madrasah di kompleks Manshuriah.

 
Ibnu ‘Atha’illah lebih sebagai fukaha, tetapi pada saat yang sama juga seorang salik
   

Di dunia akademis, Ibnu ‘Atha’illah lebih sebagai fukaha, tetapi pada saat yang sama  juga seorang salik. Karena itu, ia merasa tidak nyaman dengan kecenderungan puritan kaum teolog Hanbali dan ahli fikih Ibnu Taimiyah (wafat 728 hijriah). Alih-alih saling meniadakan, pertentangan tersebut malah meruangkan dialog yang bernilai historis.

Ibnu ‘Atha’illah sebagai pembela Ibn ‘Arabi pernah berdebat dengan Ibnu Taimiyah pada sekitar 700 hijriah di Kairo. Ibnu Taimiyah memang acapkali “menyerang” pandangan-pandangan Ibn ‘Arabi.

Beberapa tahun usai momentum historis itu, Ibnu ‘Atha’illah wafat dalam usia 50 tahun di Kairo pada 13 Jumadil Akhir 709 hijriah/1309 masehi. Sang sufi, penyair, pakar fikih ini menghembuskan napas terakhirnya saat sedang mengajar ihwal hukum mazhab Maliki di madrasah Mansuriah. Pemakamannya dihadiri lautan manusia yang bersedih hati dengan kepergiannya.

Dunia Islam sekali lagi kehilangan sosok ilmuwan sekaligus sastrawan besar. Sampai hari ini, makamnya di Qarafa, Kairo, masih marak dikunjungi para peziarah. Di sebelah liang lahatnya, ada kuburan seorang sufi terkemuka tarekat Syadziliah lainnya, yakni Syekh ‘Ali Abul Wafa’ (wafat 807 hijriah).

Di Masjid Al-Jin, Rasulullah Membaiat Jin

Salah satu masjid bersejarah di Makkah adalah Masjid Jin.

SELENGKAPNYA

Mengenal al-Bakri, Penggubah Tasliyat al-Ahzan

Melalui karyanya itu, sufi kelahiran Syam ini memaparkan seluk beluk cinta Illahi.

SELENGKAPNYA

Sumber Mutiara Itu Bernama Al-Hikam

Ibnu ‘Atha’illah menyajikan Al-Hikam sebagai jalan perenungan untuk Muslimin.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya