Penelusuran Sungai Cigenter. | Repubilka/Tahta Aidilla

Safari

Berkano di Sungai Cigenter

Ular dan elang laut di atas pohon mengawasi orang yang melintasi sungai di bawahnya.

Hujan mengiringi perjalanan menuju Taman Nasional Ujung Kulon, Banten. Cuaca satu hari itu sempat membuat saya khawatir ketika akan menyebrang ke Pulau Handeuleum. Tapi, kekhawatiran itu tidak terjadi.

Bulat besar berwarna jingga di langit memancarkan panasnya ketika saya naik ke kapal yang akan mengantar ke pulau terbesar di Semenanjung Ujung Kulon ini. Tidak menunggu terlalu lama, kapal terbuat dari kayu berkapasitas 30 orang itu bergerak menjauhi Pantai Ciputih, tempat saya menginap.

Kapal bergerak ke arah utara, membelah laut yang arusnya tidak terlalu kencang pagi itu. Angin berembus membuat panas dari matahari tidak terlalu terasa menyengat. Menolehkan pandangan ke belakang, lereng-lereng Gunung Honje—habitat owa Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon—perlahan menghilang dan bergantikan perairan.

Setelah satu jam, awak kapal menurunkan ban-ban yang tertambat di pinggir kapal. Kemudian, perahu kayu itu berhenti di sebuah dermaga. Di sisi kirinya tertulis: Pulau Handeuleum. Melongok ke arah perairan di bawah, ratusan ikan julu-julu berenang menjauhi perahu kayu yang berlabuh.

photo
Penelusuran Sungai Cigenter. - (Repubilka/Tahta Aidilla)

Perjalanan saya ternyata belum berhenti di Pulau Handeuleum. Perahu kayu hanya singgah untuk menjemput lima buah kano. Mesin perahu kayu bertuliskan “Bangkit Jaya” itu kembali menyala dan membawa kami ke arah barat.

Pulau Handeuleum mulai menghilang. Tapi, ada beberapa pulau lain di semenanjung ini yang menemani perjalanan saya di atas kapal. Tidak sampai 15 menit, kapal kembali berhenti. Tapi, kali ini tidak ada dermaga di dekat kapal berhenti.

Beberapa meter di depan pemberhentian perahu kayu, tampak daratan yang dipenuhi dengan pohon-pohon bakau. Dari daratan itu juga tampak muara sungai kecil. Saya pun memahami mengapa kami harus menjemput kano beserta pengayuhnya di Pulau Handaleum.

Kemudian, saya beserta rombongan yang berjumlah sekitar 30 orang berpindah ke kano untuk menyusuri Sungai Cigenter yang sudah berada di dalam Pulau Jawa. Saya langsung memikirkan asyiknya mendayung menyusuri sungai yang membelah hutan di Cigenter.

photo
Penelusuran Sungai Cigenter. - (Republika/ Tahta Aidilla)

Saya pun langsung mengambil dayung di bawah kaki saya dan mulai menggerakkannya di dalam air di sisi kiri perahu nelayan itu. Saat lelah, dayung ini saya serahkan ke seorang teman yang duduk di bagian depan kano.

Mengawasi

Kano yang memuat lima orang melaju perlahan melintasi muara sungai. Debur ombak perlahan menghilang dan digantikan dengan aliran sungai yang tenang. Laut yang jernih juga beralih menjadi air sungai yang keruh dan kecokelatan karena lumpur. Pohon-pohon bakau menyambut kami.

Ada berbagai macam bakau di sini, tapi yang paling dominan adalah nipah. Mangrove dari jenis palem ini berdiri berjajar di tepi kanan-kiri sungai selayaknya pasukan penjaga hutan. Bakau dari keluarga Rhizophoraceae, seperti bruguiera dan rhizophora, juga mudah ditemui di bagian depan sungai.

Masuk semakin ke dalam, telinga saya dimanjakan dengan suara kicauan burung dan satwa lainnya. Selama perjalanan, sese kali lima buah kano yang membawa saya dan rombongan ini harus berjalan beriringan karena ada batang kayu melintang di badan sungai. Begitu pula ketika ada akar pohon yang menjulur ke dalam sungai.

Memasuki area hutan inti, jejeran pohon nipah dan bakau mulai berkurang. Sebagai gantinya, pohon nipah, lampeni, dan jenis palem berjajar di pinggir sungai. Batang-batang pohon di masing-masing sungai menjulur, bertemu di bagian tengah atas sungai. Ini membuat suasana di sungai menjadi lebih rindang. Sinar matahari yang menyilaukan hanya sesekali mengintip dari balik dedaunan.

photo
Habitat Rusa di Pulau Hadueleum. - (Repubilka/Tahta Aidilla)

Sebelum menyusuri sungai, saya sudah diingatkan untuk tak lupa menengok ke atas batang-batang pohon yang menjulur di atas sungai. Ternyata, dahan itu menjadi tempat tinggal satwa-satwa hutan, seperti ular dan elang laut.

Setidaknya ada dua ular yang melilit di batang pohon dalam perjalanan saya menyusuri sungai selebar enam meter ini. Seekor ular berwarna putih tampak di dahan pohon bakau, tidak jauh dari pantai. Matanya tampak awas mengawasi saya dan rombongan yang melintas di bawahnya.

Ular kedua berkulit gelap melilit kuat di dahan pohon ketika memasuki hutan inti. Di sisi lain, tidak jauh dari ular itu, seekor elang laut tampak bertengger di atas pohon. Sedangkan, di atas lumpur-lumpur sungai, kepiting-kepiting kecil asyik mencari makanan. Tak terlihat binatang besar.

Buaya yang disebut sebagai penghuni Sungai Cigenter juga tidak menampakkan moncongnya. Hanya dua jejak badak yang terlihat di pinggir Sungai Cigenter. Sungai Cigenter memang termasuk dalam Wilayah II Pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon yang diperkirakan habitat dengan jumlah badak Jawa terbanyak. Tapi, jangan berharap terlalu banyak bertemu badak.

photo
Dermaga Pulau Handeuleum. - (Republika/ Tahta Aidilla)

Anda harus membuat rumah di atas pohon dan menginap lebih dari satu pekan untuk bisa menyaksikan secara langsung hewan yang sudah mulai punah ini beraktivitas.

Sedianya Padang Penggembalaan

Taman Nasional Ujung Kulon tidak hanya rumah bagi badak Jawa. Beberapa satwa juga hidup di kawasan ini, seperti banteng (Bos javanicus). Agar tidak terjadi persaingan antara dua hewan herbivora itu, pengelola Taman Nasional Ujung Kulon membuka beberapa lahan hutan dan menjadikannya padang penggembalaan.

Padang penggembalaan yang dapat ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon, di antaranya berada di pinggir Sungai Cigenter. Seusai menyusuri Sungai Cigenter, saya dan rombongan menyempatkan diri menengok padang ini.

Setelah berjalan sekitar 300 meter dari pinggir sungai, tempat menambatkan kano, padang seluas sembilan hektare terhampar di depan mata. Sayangnya, tidak terlihat satu pun banteng di lokasi itu.

Kami memang tiba ketika matahari sudah di atas puncak kepala, waktunya banteng-banteng beristirahat setelah memamah rumput pada pagi hari.

Selain soal waktu, kondisi padang rumput yang tidak terawat juga dinilai menjadi penyebab banteng tidak muncul. Semak-semak belukar setinggi pinggang tumbuh tidak beraturan menutupi rumput yang seharusnya menjadi tempat makan para banteng ini. Batas antara padang rumput dan hutan pun semakin tidak terlihat.

photo
Habitat Rusa di Pulau Hadueleum. - (Republika/ Tahta Aidilla)

Di ujung sisi kiri padang berdiri sebuah menara pandang. Tapi, menara pandang untuk mengamati banteng-banteng ini tampak lusuh. Kayunya sepertinya tidak kuat lagi menahan beban. Besi-besi penyangganya sudah mulai berkarat.

Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan. Banteng yang berjumlah sekitar 50 ekor di Cigenter dapat mengancam eksistensi badak dengan jumlah yang lebih sedikit di lokasi yang sama.

Tertutupinya rumput dapat membuat banteng tidak lagi mengandalkan pasokan makanan di padang penggembalaan, tapi di dalam hutan. Kalau harus masuk ke hutan maka puluhan banteng ini memakan daun-daun yang seharusnya menjadi konsumsi badak.

Masuknya banteng ke dalam hutan tidak hanya berpengaruh pada kompetisi pakan, tapi juga ruang untuk badak Jawa.

Wawan Ridwan dari WWF Indonesia mengatakan, pihak pengelola sudah berjanji akan kembali menganggarkan dana untuk perawatan padang penggembalaan Cigenter.

“Pentingnya perawatan agar tidak ada persaingan makanan. Kalau ada padang rumput, banteng tidak perlu masuk ke dalam dan makan makanan badak,” kata dia. 

Disadur dari Harian Republika edisi 10 Juni 2012 dengan reportase oleh Ratna Puspita.

Fenomena Jamaah Lansia Minta Pulang Bisa Diantisipasi

Setibanya di Madinah, Saida menangis dan meminta dipulangkan ke kampung halamannya.

SELENGKAPNYA

Jejak Cinta yang Terluka

Cerpen Irwansyah

SELENGKAPNYA

Hutan Ditulis Ulang

Puisi-puisi Rudiana Ade Ginanjar.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya