Jejak Cinta yang Terluka | Daan Yahya/Republika

Sastra

Jejak Cinta yang Terluka

Cerpen Irwansyah

Oleh IRWANSYAH

Hujan masih turun sejak azan magrib tadi. Aroma air dari langit yang tercurah menguasai liang hidung. Suara gemeretaknya di atap seng bersimfoni dengan desau angin yang melewati lubang angin di atas bingkai jendela.

Gorden pada pintu kamar bergerak-gerak malas. Dahulu, pada bingkai pintu kamar itu, Mamak mengikatkan tali setelah membaginya menjadi dua sama panjang. Pada dua ujung tali yang menjuntai, diikatkan selembar kain sarung. Jadilah kain itu sebuah ayunan.

“Kau tengok bekas gesekan tali itu, Pilar?” Bapak menyeret pandanganku ke arah yang ditunjuk. “Di situlah mamakmu menidurkanmu, di dalam ayunan.”

Garis-garis di kening Bapak berjejak, betapa dalam ia telah meletakkan potongan-potongan kisah. Matanya menyipit ketika berusaha mengunduh kenangan yang mungkin tidak pernah terpikirkan akan diceritakan lagi.

Di dekat ayunan, Mamak mendendangkan bait-bait lagu dari tanah Melayu. Terkadang, Mamak mengajakku bercerita, apa saja, seakan-akan aku adalah laki-laki dewasa yang sudah bisa berbicara dan memahami apa yang sedang diceritakan.

 
Bapak hanya tersenyum memandangi kebahagiaan Mamak manakala aku menjawab cerita-cerita itu dengan tawa.
 
 

Bapak hanya tersenyum memandangi kebahagiaan Mamak manakala aku menjawab cerita-cerita itu dengan tawa.

“Eh, macam paham pulak bayi kita sama ceritamu, Dek.”

“Pahamlah, Bang. Kalau tak paham, manalah mungkin dia mau ketawa.”

Bapak begitu fasih mengucapkan kembali dialog yang pernah terjadi antara dirinya dengan wanita terkasihnya. Lekukan suara Mamak dan ekspresi wajahnya sempurna direka ulang oleh Bapak.

Kata Bapak, kehadiranku dalam kehidupan mereka adalah penyempurna kebahagiaan. Terutama Mamak, tidak henti-hentinya ia melekatkan doa-doa dan harapan agar menyertaiku, begitu pula ketika nama Pilar disematkan untukku.

“Kenapa Pilar?” Bapak kembali mengucapkan pertanyaan yang pernah ditujukan kepada Mamak.

“Abang pernah tengok rumah orang-orang kaya di tipi, kan? Tanpa pilar-pilar yang kuat itu, rumah-rumah mereka tak akan tahan lama.” Pertanyaan itu pun dijawab sendiri oleh Bapak serupa dengan yang pernah diucapkan Mamak.

Dengan nama itu, Mamak berharap kelak aku akan menjadi laki-laki yang kuat, tangguh, dan bertanggung jawab. Mamak ingin agar aku menjadi sosok yang menopang tubuhnya ketika tidak sanggup lagi berdiri karena dimakan usia.

Bapak tidak membantah, baginya nama itu dan filosofinya, adalah ungkapan perasaan dari seorang ibu terhadap anaknya.

 
Dengan nama itu, Mamak berharap kelak aku akan menjadi laki-laki yang kuat, tangguh, dan bertanggung jawab.
 
 

*****

Rumah tanpa langit-langit ini tidak mampu meredam gemeretak air yang berjatuhan di atas atap. Telinga semakin pekak ketika rinai menderas. Padahal, langit-langit bak pakaian yang menutupi apa yang seharusnya tidak diperlihatkan. Namun, di rumah ini tanpa malu-malu semua bagian kerangka dipertontonkan, dibiarkan setiap mata yang datang menjelajahi lekukan-lekukannya.

“Dulu, Bapak pernah berencana memasang langit-langit di rumah ini.” Sosok laki-laki dengan puncak kepala yang mulai bertaburan helaian-helaian putih di hadapanku ini berusaha membuat lengkungan manis pada sepasang kelopak bibirnya.

Ketika itu, Bapak sedang berada di ladang. Seorang warga tergopoh-gopoh mendatangi Bapak dan mengabarkan kondisiku yang kejang-kejang karena demam panas yang semakin tinggi.

Bapak mendapati Mamak di rumah mantri kampung dengan kaki tanpa alas. Ibu jari kaki Mamak tidak henti-henti mengeluarkan darah, kukunya merekah, nyaris terlepas. Entah batu atau kayu di jalanan yang membuatnya seperti itu. Mamak tidak menghiraukan apa yang terjadi dengan dirinya. Dalam pikiran wanita bermata sayu itu hanyalah bagaimana cara menyelamatkan aku.

Kecemasan tidak bisa dinafikan dari wajah Mamak. Air mata seakan-akan beradu deras dengan darah pada ibu jari ketika Mamak melihatku terus kejang-kejang dengan mata terbuka lebar. Mamak tidak mau ambil risiko, akhirnya aku dirujuk ke rumah sakit.

Sakitku telah berhasil menguras tabungan orang tuaku. Memiliki langit-langit di rumah ini tidak lebih hanya sebuah mimpi.

“Setiap kali melihat kerangka atap itu, Bapak teringat sama mamakmu yang terus menyalahkan dirinya sendiri atas sakitmu.”

 
Bapak mendapati Mamak di rumah mantri kampung dengan kaki tanpa alas.
 
 

Aku merasakan bahwa di setiap kayu yang menjadi penyangga atap di rumah ini, padanya pernah disampirkan sebagian kisah keluarga kami.

***

Di puncak atap, air hujan memaksa masuk melewati rabung, lalu jatuh menghunjam lantai semen. Percik air mengenai api berasap pekat dari lampu teplok tanpa semprong kaca di sudut ruangan. Ada desis serupa dengan suara kentut yang tertahan.

Di kampung ini, tanpa hujan dan angin pun listrik tidak perlu permisi untuk padam. Sesukanya. Berapa lama? Sesukanya. Sampai gayung plastik bertangkai menyentuh dasar bak di kamar mandi pun listrik belum kunjung menyala.

Ketika aku SMP, dalam keremangan yang sama seperti sekarang, Bapak kerap menyampaikan petuahnya kepadaku. Bapak menganggapku sebagai sosok laki-laki yang mulai tumbuh dewasa, tidak seperti dahulu yang hanya bisa tertawa menanggapi cerita Mamak saat berada di dalam buaian.

“Kau tahu, Nak ... ada banyak orang yang berusaha mati-matian mengejar surga. Tapi sayangnya, mereka melupakan surga yang ada di hadapannya, yaitu ibu mereka.”

Aku menangkap pembicaraan Bapak dengan sangat serius. Setiap kata yang keluar dari lisannya penuh dengan makna.

“Surga, Nak, surga. Cuma itu balasan terbaik untuk anak yang memuliakan ibunya.” Tatapan Bapak begitu lekat ke arahku. Ia berusaha memastikan bahwa aku memahami maksudnya. Kalimat tersebut terus diulangi sebelum aku mengangguk tanpa ragu.

 
Aku menangkap pembicaraan Bapak dengan sangat serius. Setiap kata yang keluar dari lisannya penuh dengan makna.
 
 

Dalam keremangan itu pula, tidak jauh dariku, Mamak duduk menekuri mushaf Alquran di atas rehal yang terbuat dari papan bekas yang tidak diketam. Bersisian dengan rehal, satu lampu teplok lainnya diletakkan di atas kaleng bekas biskuit agar posisinya lebih tinggi.

Wajah Mamak begitu teduh ketika bibirnya yang berwarna merah muda basah oleh ayat-ayat nan agung. Lisannya pula yang pertama kali mengajarkan aku membaca kitab yang sama. Dengan menggunakan bambu yang telah diserut menyerupai pensil, jari-jari Mamak telaten menunjuk satu per satu huruf yang masih asing buatku.

Salah satu yang aku sukai dari wajah wanita yang telah melahirkanku adalah sepasang ceruk di pipinya. Ketika Mamak tersenyum, semakin dalam dan kentara lesungnya.

Kata Bapak, tanda di pipi Mamak mengalahkan manisnya martabak bangka yang dijual di pasar. Lesung pipi itu pula yang menjadi salah satu alasan Bapak menikahi Mamak. 

Di balik wajah cantiknya, ada hal lain yang membuatku nyeri. Aku melihat lubang kecil pada telinga Mamak tanpa bandul berkilau yang menghiasi.

“Oh, ini ... lubangnya sudah Mamak kasih lidi biar tak tertutup.”

Ada desir yang menjalari tubuhku ketika meraba lubang itu. Aku bisa merasakan lidi nyata ada di sana menggantikan anting-anting.

 
Ada desir yang menjalari tubuhku ketika meraba lubang itu. Aku bisa merasakan lidi nyata ada di sana menggantikan anting-anting.
 
 

Rasa bersalah menggayuti. Sepekan sebelumnya, aku mengadukan kondisi sepatu sekolahku yang tanpa malu mempertontonkan jari-jari kaki yang terbungkus kaus kaki putih. Sol pun serupa kuda nil yang menguap di dalam kubangan.

Kuat dugaanku bahwa anting-anting Mamak dijual untuk membeli sepatu baruku. Sejak itu, aku bertekad akan membelikan anting-anting yang lebih indah dari yang pernah dimiliki Mamak, kelak ketika aku sudah bekerja. Pun dengan dasternya yang sudah memiliki banyak lubang, aku ingin menggantinya dengan yang baru.

***

Dinding rumah ini terbuat dari papan. Bilah-bilahnya disusun bertumpuk serupa sisik ikan. Papan yang tidak diketam memamerkan serat kayu yang berserabutan. 

Cat putih yang terbuat dari bubuk batu kapur dikuaskan untuk menghadirkan kesan indah pada bilah-bilah papan. Ya, setidaknya warna putih itu bisa untuk mengelabui mata, betapa kasarnya dinding kayu rumah kami. Namun sayang, warna putih kapur akan melekat pada pakaian berwarna hitam setelah punggung bersandar.

Pada dinding bagian atas, air hujan meninggalkan bekas berwarna kecokelatan mirip peta buta. Bekasnya tidak memudar meski berbilang waktu terlewati.

“Sejak kau menolak keras permintaan mamakmu, Bapak lebih sering melihatnya melamun.” Bapak meraih cangkir kaleng bermotif lurik hijau berisi kopi di depannya, kemudian menyeruput. Terasa begitu dalam suara yang menyertai saat minuman panas itu mulai bersentuhan dengan bibir Bapak.

 
Kopi dan cangkir lurik hijau, bukanlah sekadar tentang ritual menghangatkan tubuh.
 
 

Kopi dan cangkir lurik hijau, bukanlah sekadar tentang ritual menghangatkan tubuh. Pada cangkir kaleng berukuran besar itu melekat cinta seorang wanita. Bukan pula tentang pahit dan manis yang bercampur menjadi satu dalam kepekatan air berwarna hitam, tetapi tentang rasa yang terikat dari dua hati anak manusia.

“Kalau bukan karena bantuan uwakmu, rasa-rasanya tak mungkin kami bisa menguliahkanmu, Pilar.”

Dengan berat hati, aku harus mendengar kembali penjelasan itu.

Bekerja sebagai seorang petani dengan sepetak kebun, Bapak sudah sangat bersyukur bisa menghadirkan makanan untuk kami. Ketika SMP, tidak jarang aku harus menangguhkan pembayaran uang sekolah. Namun, mengherankan Bapak dan Mamak begitu bersemangat agar aku melanjutkan sekolah ke kota, berikutnya kuliah.

Saat aku menanyakan dari mana mereka akan mendapatkan uang, aku hanya menemukan jawaban bahwa semua biaya biarlah menjadi urusan mereka. Bapak dan Mamak hanya memintaku agar fokus belajar.

Setelah semua terlewati, kemudian aku pun mendapatkan pekerjaan yang baik, barulah Mamak menyampaikan keinginannya. Permintaan Mamak berawal dari kerabat jauh kami yang biasa aku sebut dengan panggilan "Uwak". Uwak berniat menjodohkan aku dengan putrinya. Mamak menyambut permintaan Uwak dengan sukacita. Mungkin dengan cara itu Mamak bisa membalas kebaikan mereka.

“Kenapa Mamak tak tanya dulu ke Pilar?!” ucapku ketika itu dengan meninggikan suara. “Pilar mau fokus kerja dulu, Mak. Jangan paksa Pilar!”

 
Aku bisa melihat dua ceruk di wajah Mamak tenggelam seketika setelah mendengar jawabanku.
 
 

Aku bisa melihat dua ceruk di wajah Mamak tenggelam seketika setelah mendengar jawabanku. Mamak tertunduk seperti seorang anak kecil yang sedang dimarahi. Dari sudut matanya, ada bulatan bening yang perlahan jatuh, meninggalkan bekas seperti garis tidak lurus mengikuti bentuk pipi.

Saat itu, sesungguhnya aku menyadari telah melakukan satu kesalahan besar dalam hidup. Bahkan, ketika air mata Mamak masih tergenang di sudut mata.

Aku telah membagi cintaku dengan porsi yang jauh lebih besar untuk wanita lain. Cinta yang dibumbui janji-janji telah mengaburkan mata dan kewarasan dengan embel-embel kesetiaan. Seorang wanita yang kukenal ketika kuliah telah membuatku lupa kepada sosok yang pertama kali mengenalkanku dengan bahasa cinta, yaitu Mamak.

Apa yang telah aku ucapkan kepada Mamak tidak lebih hanyalah alasan semata.

***

Tepat di bawah pintu depan, lantai semen serupa dengan kerak nasi di dalam periuk yang terendam air. Batu-batu kerikil berlomba-lomba memperlihatkan rupa, mungkin mereka lelah selama ini tertimbun di bawah. Sejak aku meninggalkan rumah lebih dari satu tahun yang lalu, lantai itu belum juga diperbaiki.

Sama halnya dengan lantai itu, langit-langit, dinding papan, dan anting-anting Mamak yang pernah aku janjikan sampai detik ini tidak terwujud. Begitu pula dengan daster, tidak ada selembar pun yang sanggup aku hadiahkan untuk Mamak. Semua kalimat manis tentang gaji pertama yang akan aku persembahkan untuk orang tua menguap tidak bersisa. 

Dengan meminjam handphone tetangga, Mamak masih berusaha membujukku. Mamak berharap dengan suara yang mengiba dari jauh bisa meluluhkan hati anaknya. Namun, permohonannya membuatku semakin mantap untuk menjauh.

Lebih dari satu tahun aku tidak mempunyai keinginan untuk pulang dan menginjakkan kaki di rumah ini. Bagiku, semua tetap terasa indah bersama sosok yang didambakan akan menjadi teman hidup. Seharusnya, wanita itulah yang menginjakkan kakinya di lantai rumah ini, lalu mencium tangan Mamak saat aku mengenalkannya. Rasa berutang budi Mamak telah menguburkan mimpi-mimpiku.

 
Lebih dari satu tahun aku tidak mempunyai keinginan untuk pulang dan menginjakkan kaki di rumah ini.
 
 

“Pulanglah, Nak, Mamak rindu.” Bahkan, saat kalimat itu diucapkan dengan suara yang lemah dan bergetar sebulan yang lalu, aku hanya membisu. Bujukan Mamak sudah sangat sering, meskipun kali ini terdengar berbeda. Aku pun berharap Mamak segera menutup handphone dan menyudahi pembicaraan.

Sepekan yang lalu, aku harus menerima kenyataan pahit. Dia, wanita yang aku gadang-gadang akan menjadi pendampingku, yang padanya kusematkan berbagai sanjungan dan pujian, harus mengalami hal yang sama denganku dulu. Dia dijodohkan. Namun, ada yang membuatnya berbeda, wanita itu menerima permintaan orang tuanya.

“Cukuplah satu orang ibu yang menangis karena kita, Bang. Jangan sampai seorang ibu yang lainnya terluka. Kita sudah banyak berdosa.”

Alasan yang aku dengar darinya sangat menohok, menyakitkan, tetapi juga menyadarkanku dari suatu kesalahan. Seharusnya aku menguatkan genggaman atas cinta yang sudah didapatkan sejak kecil. Kehadiran seorang wanita lain dalam hidupku semestinya semakin membuat cintaku kepada wanita yang telah melahirkanku bertambah, bukan berkurang, atau bahkan menghilang. 

Aku pun kembali ke rumah ini, berharap bisa kembali memeluk wanita yang menjadi cinta pertamaku dan mengobati luka yang pernah kutorehkan.

“Andai saja kau pulang sewaktu mamakmu memintanya, mungkin kau masih bisa bertemu dengannya, Nak.” Bapak kembali menyeruput kopi di dalam cangkir kaleng itu.

Tepat saat adzan magrib tadi, aku tiba di rumah ini. Namun, aku tidak lagi mencium wangi dari wanita yang menjadi pintu surgaku. Mamak telah pergi beberapa hari setelah memintaku kembali terakhir kalinya. Tidak ada yang mengabariku tentang itu.

Aku terlambat mengakui dosa di hadapan Mamak. Aku telah mengorbankan cinta dari seorang wanita yang berdarah-darah demi hidupku, hanya untuk seorang wanita yang akhirnya juga meninggalkanku.

Pada akhirnya, aku pun memahami bahwa cinta tidaklah melulu tentang pengorbanan dan kesetiaan, tetapi cinta juga bercerita tentang atas dasar apa ia tumbuh hingga layak diperjuangkan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat