Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. | ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

Kronik

Bagaimana Penanganan Separatisme di Masa Megawati?

Operasi militer masa Megawati telan korban ribuan jiwa.

Oleh FLORI SIDEBANG, FITRIYAN ZAMZAMI

Konflik bersenjata di Tanah Papua mendapat sorotan dari Presiden ke-5 RI, Megawati Soekarnoputri. Ia mempertanyakan mengapa konflik tersebut tak kunjung selesai sembari menawarkan pandangannya soal penyelesaian konflik. 

"Rasanya saya sedih loh, ini boleh lah, kok urusan Papua saja menurut saya enggak selesai-selesai. Jadi saya sendiri terus bingung sendiri, terus saya sendiri mikir sendiri," kata Megawati saat peresmian Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Bung Karno-369 di Dermaga Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil), Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (1/6/2023).

Menurutnya, hal itu tak sulit karena pasukan separatis tidak lebih banyak dari jumlah TNI-Polri. "Saya kan mikir ini (jumlah separatis) hanya segitu. Lah, kok, dipateni (dibunuh) dal, del, dal, del, matek," kata dia.

Masa pemerintahan Megawati sepanjang pertengahan 2001 hingga 2004 sedianya juga diwarnai gerakan separatisme. Saat itu, gerakan separatis bersenjata yang paling kuat tantangannya beroperasi di Aceh. Runtuhnya Orde Baru yang banyak melakukan pelanggaran HAM di Aceh menguatkan sentimen prokemerdekaan di Aceh.

photo
Aktivis Solidaritas Persaudaraan Korban Pelanggaran Hak Azazi Manusia (SPKP HAM) Aceh bersama korban konflik Daerah Operasi Militer (DOM) menggelar aksi damai di depan gedung DPRA, Banda Aceh, Aceh, Senin (26/1/2015). - (ANTARA FOTO)

Belum berselang hari dari gagalnya perundingan di Tokyo, Megawati mengeluarkan Keppres No 28 Tahun 2003. Beleid itu diumumkan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), di kantornya lewat tengah malam pada 19 Mei 2003, alias 20 tahun silam.

Dijelaskan, Megawati sebagai presiden bertindak sebagai penguasa darurat militer pusat, sementara ketua badan pelaksana harian penguasa pusat dipegang SBY. Anggota terdiri atas sejumlah menteri negara.

"Presiden RI mengambil keputusan pada malam hari ini, untuk menetapkan Provinsi NAD dalam keadaan bahaya dengan status darurat militer," kata Yudhoyono dalam jumpa pers. "Operasi terpadu atau status darurat militer mulai berlaku pukul 00.00 tanggal 19 Mei 2003."

Operasi militer itu jadi yang terbesar setelah upaya pencaplokan Timor Leste pada 1975. Sekitar 28 ribu tentara dan 12 ribu polisi dikerahkan ke Aceh tersebut untuk melawan sekitar 5.000 pemberontak GAM dengan 2.000 senjata.

photo
Direktur Yayasan Adovokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin (kanan) bersama kelompok sipil bersenjata di pedalaman Kabupaten Aceh Timur, Jumat (10/10/2014). - (ANTARA FOTO)

Hanya dua hari setelah operasi militer, menurut investigasi Human Right Watch, langsung terjadi pelanggaran HAM. Pada 21 Mei 2003, tentara membunuh tujuh orang, termasuk dua anak laki-laki berusia di bawah empat belas tahun.

Komnas HAM mengonfirmasi bahwa anak-anak telah menjadi salah satu korban pembunuhan di luar hukum di Aceh.

Palang Merah Indonesia melaporkan temuan delapan puluh dua mayat dalam minggu pertama darurat militer. Kemudian 151 jenazah lagi pada akhir pekan ketiga operasi. Semuanya mengenakan pakaian sipil, meskipun organisasi tersebut mengatakan tidak dapat memastikan bahwa mereka bukan pejuang.

BBC melaporkan, pada pekan pertama operasi kamar mayat di rumah sakit utama Banda Aceh dilaporkan menerima rata-rata dari tiga jenazah per hari, kebanyakan dari mereka adalah pemuda dengan luka tembak. Di sekitar Lhokseumawe angkanya dilaporkan enam jenazah per hari.

Komnas HAM saat itu juga menyatakan tengah menyelidiki lebih dari dua puluh kasus dugaan pelanggaran HAM selama dua pekan pertama operasi militer. Diantaranya terkait pembunuhan, pelecehan seksual, pemerkosaan dan pemindahan paksa.

Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) mengungkapkan, selama 90 hari operasi terpadu (OT) di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), 685 anggota Gerakan Aceh merdeka (GAM) meninggal dalam kontak senjata dengan pasukan TNI/Polri di berbagai lokasi provinsi itu.

photo
Ketua Palang Merah Indonesia Propinsi Aceh, Teuku Alaidinsyah memperlihatkan sejumlah Kartu Tanda Penduduk (KTP) Merah Putih, korban meninggal bencana Gempa dan Tsunami Aceh 26 Desember 2004 di Banda Aceh, Senin (25/12/2017). Ruangan Inventaris Tsunami PMI Aceh itu, menyimpan sebanyak 450 lembar KTP Merah Putih, identitas yang berlaku saat Aceh Daerah Operasi Militer (DOM). - (ANTARA FOTO)

Pada November, seorang juru bicara militer melaporkan bahwa sedikitnya 395 warga sipil telah dibunuh sejak dimulainya darurat militer. Sebagian besar perkiraan mencatat korban sipil yang tinggi terutama di Aceh Utara dan Aceh Timur, dan tergantung pada sumber dan bentuk penganiayaan, Aceh Selatan, Bireun, dan Aceh Besar. 

Sedangkan Tim Pemantau Aceh Komnas HAM, menyebut selama darurat militer, korban sipil yang jatuh lebih dari 400 orang. Jumlah sebanyak itu sudah sangat besar untuk ukuran Aceh yang hanya berpenduduk sekitar empat juta jiwa.

Pemerintah Indonesia kerap menyalahkan GAM atas jatuhnya korban. Pemerintah Indonesia kemudian melaporkan lebih dari 1.100 anggota GAM telah dibunuh pada bulan Oktober. 

Korban yang sebegitu banyak membuat banyak pihak memprotes operasi militer yang diinstruksikan Megawati tersebut ketika operasi memasuki bulan keenam. Komnas HAM mendesak oeprasi dihentikan karena rupa-rupa pelanggaran HAM. Muhammadiyah juga mendesak operasi militer harus selesai sebelum Pemilu 2004.

photo
Mantan presiden Indonesia dan Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri memberi isyarat kepada para pendukung partainya selama kampanye pemilihan umum di Solo, Jawa Tengah, Indonesia, 2 April 2009. - (EPA/ALI LUTFI)

Meski begitu pemerintah bergeming. Pada 3 November 2003, Megawati Soekarnoputri, selaku penguasa Darurat Militer Nasional memutuskan untuk memperpanjang status darurat militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 

Human Rights Watch mencatat setidaknya 2.000 orang meninggal selama operasi militer tersebut. Operasi baru berakhir setelah Aceh didera gempa dan tsunami akbar pada Desember 2004, saat SBY sudah terpilih sebagai presiden. Operasi kemanusiaan Indonesia yang juga dilakukan TNI mengundang simpati warga Aceh dan membuka jalan untuk perundingan kembali. 

Perundingan yang digelar pada 2005 di Helsinki, Finlandia di bawah pengawasan mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari itu berhasil. Aceh tak lagi meminta merdeka denga sejumlah syarat otonomi khusus.

photo
Mantan wakil presiden Jusuf Kalla (tengah) memberikan keterangan kepada wartawan didampingi Gubernur Aceh Zaini Abdullah (kanan) dan Pemangku Wali Nanggroe Abdul Malik Mahmud seusai menggelar pertemuan tertutup membahas polemik lambang dan bendera Aceh di Jakarta, Sabtu (13/4/2013). - (ANTARAFOTO)

Bagaimana dengan Papua? Pada masa Megawati, konflik bersenjata di Papua juga sudah berjalan beberapa waktu. Namun sepanjang 1998 hingga 2003, yang lebih mengemuka adalah permintaan merdeka denga jalur-jalur damai melalui rapat rakyat. 

Megawati mencoba memecah konsolidasi itu dengan pemekaran. Pada Januari 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri secara tiba-tiba mengeluarkan Inpres Nomor 1/2003 yang menginstruksikan percepatan penerapan UU Nomor 45/1999. Menkopolhukam saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono bahkan mengklaim tak mengetahui langkah tersebut.

Yang diatur dalam UU 45/1999 adalah pembagian Papua ke dalam tiga wilayah. yakni Irian Jaya, Irian Jaya Tengah (Irjateng), dan Irian Jaya Barat (Irjabar). Regulasi itu sempat mendapat penolakan keras pada 1999 sehingga tak kunjung diimplementasikan. Banyak pihak di Papua melihat UU 45/1999 sebagai upaya adu domba pusat menghadapi tuntutan merdeka saat itu.

Banyak hal yang membuat banyak pihak menolak Inpres 1/2003 tersebut. Pertama, ia menegaskan UU 45/1999 yang ditolak tersebut. Kedua, ia mengembalikan nama Irian Jaya yang sudah diubah menjadi Papua sejak 2001.

Ketiga, ia menerabas aturan dalam UU Otsus bahwa pemekaran harus dilakukan melalui pembahasan di DPRD yang kemudian mendapat persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP). Pemekaran juga dianggap sebagai jalan memuluskan migrasi pendatang yang bakal mengancam keberadaan orang asli Papua.

Aksi menolak pemekaran Papua di Paniai, Senin (14/3/2022). - (Dok Republika)  ​

Penolakan sedianya sudah disuarakan banyak tokoh sejak inpres dikeluarkan. Aksi unjuk rasa di Papua dan Jakarta dilakukan menolak regulasi itu. Pemerintah bergeming. Hingga akhirnya, pada 23 Agustus 2003, Andreas Anggaibak, ketua DPRD Mimika, mendeklarasikan pembentukan Provinsi Irjateng di Timika.

Pendeklarasian itu jadi pemicu perang di Timika. Para pendukung pemekaran datang diangkut dengan truk ke kantor DPRD Mimika untuk menyokong deklarasi, berhadap-hadapan dengan para penolak yang sudah berunjuk rasa sejak sehari sebelumnya sudah berkumpul di tempat yang sama.

Kala itu, tak seperti biasanya, demarkasi kesukuan diterabas. Sebagian anggota suku Amungme dan suku Dani bergabung menyerang sesama anggota suku. Yang biasanya tinggal sama-sama di rumah bujang terbelah kubu.

Kondisi Tiga DOB Papua - (Republika)  ​

Sepanjang 23 Agustus hingga 1 September 2003 itu, sedikitnya 11 berpulang dari kedua kubu yang bertikai. Puluhan lainnya terluka. Bangunan-bangunan habis dibakar.

Pada akhirnya, bentrokan berdarah di Timika memaksa pusat menunda Inpres 1/2003 dan UU 45/1999. Mahkamah Konstitusi juga kemudian membatalkan pembentukan Irjateng dalam undang-undang tersebut, meski tetap mengabulkan pembentukan Irjabar yang kini menjadi Papua Barat. 

Artinya, selama masa Megawati jadi presiden, konflik di Aceh dan Papua sedianya juga tak terselesaikan. Konflik Aceh justru selesai bukan dengan perang namun perundingan pada masa SBY, sementara Papua sampai saat ini masih bergolak.

Sumber: Pemberitaan Republika sepanjang 2003

Tokoh Agama Bantu Selamatkan Sandera di Papua

Aparat akan menemui para korban penyanderaan untuk menghimpun informasi.

SELENGKAPNYA

Separatis Kembali Sandera Warga di Papua

Tebusan disebu tmencapai Rp 500 juta.

SELENGKAPNYA

Aparat Jual Senjata ke Separatis Papua Makin Marak

Panglima TNI ungkap makin maraknya penjualan senjata api oleh oknum TNI.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya